PENDAHULUAN

Pariwisata adalah industri terbesar dan paling cepat berkembang di dunia dewasa ini, dan ‘pariwisata pusaka’ (heritage tourism) merupakan segmen yang semakin populer dan semakin banyak diminati.

Menurut Pedersen, beberapa tren pariwisata di masa mendatang mencakup meluasnya minat terhadap pariwisata budaya, semakin menginginkannya wisatawan akan pengalaman nyata dengan budaya dan gaya hidup lain, sertasemakin dicarinya liburan yang bersifat aktif dan mengandung unsur edukasi oleh konsumen (UNESCO, 2002).

Di banyak negara, terutama negara-negara maju, ‘pariwisata pusaka’ telah berkembang dengan sedemikian pesatnya, sehingga tidak saja mampu berkontribusi terhadap pelestarian situs-situs pusaka itu sendiri namun juga memberi manfaat nyata bagi warga, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan, estetika, dan lain-lain. Negara-negara di Eropa Barat, terutama Inggris, mulai menangkap fenomena ini sejak dekade 1980-an, disusul negara-negara di Amerika Utara, terutama Amerika Serikat, pada dekade 1990-an.

Apakah yang dimaksud dengan ‘pariwisata pusaka’ dan mengapa memiliki daya tarik begitu besar sehingga banyak negara saat ini mengembangkannya? Bagaimana dengan potensi dan tantangan pengembangannya di Kota Bandung, yang juga memiliki kekayaan dan keberagaman pusaka?

Makalah ini akan mengurai secara singkat ‘pariwisata pusaka’ dan perencanaannya di Kota Bandung, diawali dengan pengantar tentang ‘pariwisata pusaka’ secara umum, serta tinjauan dan asumsi tantangan dalam perencanaan ‘pariwisata pusaka’ di Kota Bandung.

PARIWISATA PUSAKA

Definisi Pusaka

Sebelum Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) menetapkan istilah ‘pusaka’ sebagai padanan bagi ‘heritage’ di tahun 2004, terdapat beberapa kata yang berkembang di masyarakat untuk menyatakan maksud yang sama; ‘benda cagar budaya’ pada tataran formal dan ‘warisan’ pada tataran awam. Di Inggris, pendefinisian yang sederhana untuk ‘heritage’ adalah ‘apa yang atau mungkin diwariskan’ – dapat mencakup tradisi, nilai, event historis, mesin industri dari masa lalu, rumah historis, koleksi seni, kegiatan kultural, dan kekayaan alam seperti pantai, pegunungan, flora dan fauna (Drummond, 2001).

Di Indonesia sendiri, pada tataran yang lebih formal, terdapat undang-undang tentang pusaka yang diistilahkan sebagai ‘benda cagar budaya’, dan dijabarkan sebagai berikut :

”(1) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan” (UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya).

Dilihat dari jenisnya, ’pusaka’ terdiri dari tiga; budaya, alam, dan saujana. Pusaka budaya berhubungan dengan hasil pemikiran dan karya manusia di masa lalu; pusaka alam merupakan bentukan alam yang unik sehingga harus dilestarikan; sedangkan pusaka saujana merupakan gabungan dari pusaka budaya dan pusaka alam. Dilihat dari bentuknya, terdapat pusaka berwujud (tangible), contohnya arsitektur, dan pusaka tidak berwujud (intangible), seperti tari-tarian.

Definisi Pariwisata Pusaka dan Manfaat Pengembangannya

Terdapat banyak definisi tentang ‘pariwisata pusaka’. Definisi berikut mengacu pada The National Trust for Historic Preservation di Amerika Serikat, negara yang mengalami perkembangan ‘pariwisata pusaka’ demikian pesat sejak pertengahan 1990-an. Menurut Hargrove (2002), Pariwisata Pusaka adalah “perjalanan yang dirancang untuk mengalami tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan yang asli mewakili cerita dan orang-orang di masa lalu dan masa kini”.

Lebih lanjut, the National Trust memaparkan manfaat pengembangan pariwisata pusaka yang sukses, mencakup :

· Menarik investasi baru

· Menciptakan lapangan pekerjaan baru

· Revitalisasi pusat perkotaan dan lingkungan

· Membangun kebanggaan masyarakat dan berwarganegara

· Mendidik anak-anak tentang pusaka mereka

Evolusi Pariwisata Pusaka

Istilah heritage (pusaka) mulai masuk ke dalam industri pariwisata internasional sejak dekade 1970-an, walau sebetulnya sudah dikenal sejak masa pre-modern tourism di Babylonia dan Mesir Kuno. Pada masa-masa itu, festival-festival keagamaan telah menarik banyak orang untuk datang sambil menyaksikan bangunan-bangunan terkenal dan karya seni di perkotaan (Drummond, 2001).

Cikal bakal pariwisata pusaka modern, seperti pariwisata modern secara umum, dapat ditelusuri di Eropa pertengahan abad ke-16, ketika Grand Tour mulai populer. Istilah Grand Tour digunakan untuk menjelaskan perjalanan yang dilakukan oleh kaum muda dari golongan bangsawan Inggris Raya dan negara-negara Eropa Utara lainnya ke Benua Eropa kontinental untuk tujuan pendidikan dan budaya (Towner 1996). Kota-kota tujuan utama mencakup Paris (Perancis) dan Florence, Roma, Naples, dan Venice (Italia). Kunjungan ke pusat-pusat budaya ini menjadi prasyarat penting bagi siapapun yang menginginkan bergabung dengan golongan elit saat itu. Perjalanan kembali ke tempat asal di Eropa Utara biasanya melalui Pegunungan Alpen (Swis), Jerman, dan negara-negara Benelux.

Grand Tour berlangsung selama beberapa abad berikutnya hingga pertengahan abad ke-19. Sejak masa itu, kegiatan tersebut tidak lagi menjadi monopoli kaum elit muda saja, tetapi juga mulai menyentuh golongan-golongan lainnya. Begitu juga dengan cakupan geografi asal pelakunya, mulai merambah ke masyarakat di Dunia Baru (baca: Amerika Serikat), yang juga melakukan perjalanan ke Benua Eropa untuk melihat dan menikmati bangunan-bangunan klasik serta karya seni di Dunia Lama.

Pariwisata Pusaka Dewasa Ini

Perkembangan daya tarik wisata berbasis pusaka telah menjadi hal yang fenomenal selama tahun 1980an dan 1990an. Di banyak negara, pariwisata pusaka mendapat perhatian khusus untuk dikembangkan karena manfaat ekonomisnya.

Perancis, negara dengan kekayaan pusakanya, menempati urutan pertama negara tujuan wisata dunia pada tahun 2005 dengan 76 juta wisatawan mancanegara dan penerimaan sebesar 42,276 juta Dollar AS (World Tourism Organization).

aGambar 1 Salah satu pusaka di Paris, Perancis : Katedral Notre-Dame (foto: TAP)

Di Amerika Serikat, berkunjung ke situs-situs sejarah dan budaya merupakan kegiatan yang (semakin) banyak diminati dewasa ini. Wisata pusaka menduduki peringkat kedua setelah wisata belanja. Pada tahun 2002, 81% wisatawan domestik berusia dewasa di negeri Paman Sam (atau 118 juta orang) tergolong pelaku wisata pusaka. Dari jumlah itu, 30% menyatakan pilihannya dipengaruhi oleh event atau kegiatan sejarah atau budaya. Sementara, 1 dari 3 wisatawan mancanegara di sana melakukan kunjungan ke tempat-tempat historis dan budaya (The Historic/Cultural Traveler, 2003).

Pelaku wisata pusaka di AS biasanya tinggal lebih lama dan berbelanja lebih banyak dari pelaku wisata jenis lainnya, yaitu rata-rata menginap 4,7 malam dibanding 3,4 malam untuk wisatawan umumnya, dan mengeluarkan $ 631 dalam setiap perjalanannya dibandingkan $ 457 untuk wisatawan lainnya. Sekedar tambahan, AS merupakan negara tujuan wisatawan mancanegara ketiga di dunia dengan 46,1 juta wisatawan dan penerimaan sebesar $ 74,547 juta Dollar AS tahun 2004.

Di Inggris, ’pariwisata pusaka’ telah meningkatkan volume pariwisata sebesar 5% dan nilai keuntungan sebesar 10% setiap tahunnya. Angka-angka itu menunjukkan peningkatan 50% jumlah pengunjung sejak 1980 dan menghasilkan keuntungan 3 juta Poundsterling.

PARIWISATA PUSAKA DI KOTA BANDUNG

Kota Bandung terletak di ketinggian 768 m dpl, di Dataran Tinggi Parahyangan yang merupakan jantung Jawa bagian Barat. Secara administratf, kota berpenduduk 2,5 juta jiwa ini adalah pusat pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya Propinsi Jawa Barat. Dewasa ini beberapa sektor ekonomi secara menonjol menopang Kota Bandung, mencakup industri (utamanya tekstil), perdagangan, pendidikan, dan jasa secara umum. Dari sisi pariwisata, Bandung merupakan daerah tujuan wisata bagi warga Jakarta dan wisatawan mancanegara asal Malaysia, yang datang untuk berbelanja produk-produk khas Bandung (tekstil dan garmen) dan kuliner.

Walau Kota Bandung mewarisi banyak pusaka binaan dari sejarahnya yang genap berusia 200 tahun pada tahun 2010 ini, perencanaan ‘pariwisata pusaka’ di kota ini tampaknya tidak diawali dengan perencanaan yang khusus dan terfokus. Pusaka binaan khas Kota Bandung mencakup arsitektur bergaya lokal, kolonial (Belanda), dan Tionghoa, serta lansekap kota bergaya kolonial – sebagian memiliki nilai dalam skala nasional dan internasional, seperti bangunan historis Gedung Sate dan Gedung Merdeka. Pada tahun 2001, the Globetrotter bahkan menempatkan Bandung di urutan ke-9 dari 10 World’s Great Art Deco Cities – hal ini sebetulnya bisa menjadi keunikan dan marketing brand untuk Kota Bandung. Pada tahun 2007, Bandung Heritage menginventaris sekitar 630 bangunan pusaka yang terdapat di Kota Bandung.

Cikal bakal ‘pariwisata pusaka’ di Kota Bandung dapat ditelusuri dari pembentukan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung, atau Bandung Heritage, pada tahun 1987. Kegiatan organisasi non-pemerintah yang didirikan oleh sejumlah warga yang peduli akan kelestarian budaya Kota Bandung ini mencakup pendataan bangunan pusaka, pengklasifikasian kelas-kelasnya, serta advokasi dalam hal pelestarian pusaka baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, walau bukan menjadi kegiatan utama, organisasi ini juga menyediakan jasa tur pusaka bagi pengunjung di Kota Bandung. Selain itu, masih dalam frekuensi yang sangat minim, organisasi ini juga melakukan kegiatan tur ‘pusaka’ bagi para anggotanya. Kehadiran Bandung Heritage sedikit banyak telah menyadarkan warga akan keberadaan pusaka Kota Bandung dan pentingnya pelestariannya.

Pada tahun 2003, muncul sebuah komunitas kecil yang memfokuskan kegiatannya pada eksplorasi bangunan pusaka di Kota Bandung melalui jalan kaki (walking tour). Komunitas bernama Bandung Trails ini menyelenggarakan heritage walk pertamanya di bulan Oktober 2003 dengan melibatkan 16 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang di masyarakat. Pada bulan Desember di tahun yang sama, komunitas ini kembali menyelenggarakan heritage walk – kali ini dengan publikasi yang lebih gencar dan luas sehingga berhasil menjaring jumlah peserta yang lebih besar, yaitu 150 orang. Peserta bukan hanya terdiri dari warga Bandung namun juga pengunjung kota ini, seperti dari daerah Jabodetabek dan lain-lain.

Promosi informal dari mulut ke mulut akhirnya menjaring banyak peserta baru serta menciptakan permintaan akan event-event serupa. Dalam beberapa tahun berikutnya, Bandung Trails menyelenggarakan tur-tur pusaka secara periodik, 3-5 kali per tahun. Kemunculan organisasi seperti Bandung Trails akhirnya memicu kelahiran kegiatan-kegiatan serupa yang dimotori komunitas-komunitas baru lain. Terlepas dari motifnya, baik nirlaba atau bisnis, kehadiran komunitas-komunitas ini sedikit banyak semakin menyadarkan masyarakat akan kekayaan dan keberagaman pusaka Kota Bandung. Hal ini juga sempat menarik perhatian pemerintah daerah, melalui Dinas Pariwisata Kota Bandung.

bGambar 2 Heritage walk tidak saja menarik warga lokal dan wisatawan nusantara, tetapi juga wisatawan mancanegara (foto: AD)

Walau begitu, ketenaran event-event semacam heritage walk belum menyentuh sebagian besar warga Bandung. Dan secara esensi, pusaka belum menyentuh benak dan minat sebagian besar warga. Sejumlah kecil masyarakat masih menggemari pusaka dalam kaitannya dengan kegiatan yang bersifat edukatif maupun rekreatif. Oleh karenanya, penghancuran dan pengalihfungsian bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Bandung masih terus berlangsung. Padahal melalui pariwisata diharapkan dapat membantu upaya pelestarian.

TINJAUAN PARIWISATA PUSAKA DI KOTA BANDUNG DAN ASUMSI TANTANGAN PERENCANAAN PENGEMBANGANNYA

Apa yang menjadi teori, belum tentu mudah untuk dipraktikkan. Demikian pula halnya dengan kondisi yang berlaku di satu negara, belum tentu cocok diterapkan di negara lainnya mengingat masing-masing memiliki latar belakang dan kompleksitas kondisi yang berbeda-beda. Dalam meninjau perkembangan ‘pariwisata pusaka’ dan perencanaannya di Kota Bandung, tentunya akan lebih bijaksana apabila investigasi terhadap akar permasalahan dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan faktor-faktor lokal.

‘Pariwisata pusaka’ di Kota Bandung, seperti kota-kota lain di Indonesia, merupakan fenomena baru yang umumnya berkembang di awal milenium. Perkembangannya secara umum bukan merupakan hasil daripada perencanaan yang disengaja dan matang, namun lebih bersifat sporadis oleh komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi tertentu. Komunitas atau organisasi ini pada umumnya digagasi dan dimotori oleh para peminat pusaka di kota-kota besar di Indonesia dan bersifat nirlaba. Berkat kiprah dan kegiatannya, yang berhasil mengangkat pamor pusaka secara massal melalui pengemasan kegiatannya yang bersifat populer (edukatif dan rekreatif), akhirnya menaikkan keyakinan pemerintah daerah dan industri untuk mulai melirik dan menaruh perhatian terhadap ‘pariwisata pusaka’ dalam beberapa tahun terkahir ini.

Namun begitu, terutama bagi pemerintah, kendala klasik tetap menjadi tantangan dalam perencanaan dan pengembangan ‘pariwisata pusaka’. Keterbatasan finansial dan sumber daya manusia yang kompeten di bidang ‘pariwisata pusaka’ masih dihadapi. Agaknya pemerintah masih mengambil sikap hati-hati dalam bertindak, serta mengatur skala prioritas terhadap perencanaan dan pengembangan sumber daya pariwisata yang dianggap dan terbukti telah lebih menjanjikan dalam hal menghasilkan pendapatan bagi daerah, contohnya shopping dan kuliner untuk Kota Bandung.

Dalam artikelnya yang diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat, (2006), penulis mengajukan 3 asumsi tantangan dalam perencanaan dan pengembangan ‘pariwisata pusaka’ di Kota Bandung, yaitu :

1. Lemahnya law enforcement

Walau undang-undang tentang Benda Cagar Budaya sudah ada, ditambah peraturan-peraturan sejenis lainnya dalam skala yang lebih mikro, hal ini belum menjamin penerapannya, terutama oleh pihak pemerintah. Masih banyak dijumpai kendala di lapangan, seperti longgarnya penerapan peraturan dan penentuan skala prioritas pembangunan secara umum yang masih terkesan berpihak pada bisnis, yang sering pada akhirnya harus mengesampingkan aspek-aspek pelestarian ketika sumber daya lain dianggap memiliki prospek yang lebih menjanjikan (baca: secara ekonomi).

2. Masih lemahnya ekonomi sebagian besar warga

Sebagai bagian dari negara berkembang serta jumlah penduduk yang sangat besar dan distribusi ekonomi yang tidak merata, mengakibatkan munculnya keberagaman prioritas kebutuhan bagi warga Kota Bandung pada umumnya. Bagi sebagian warga, isunya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan yang bersifat dasar (fisik). Hubungannya dengan perencanaan kepariwisataan adalah penentuan skala prioritas, baik bagi pemerintah, warga, dan dunia usaha, dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan pengembangan jenis pariwisata. Seperti halnya asumsi pertama di atas, banyak bangunan dan lansekap pusaka yang dikorbankan untuk mendongkrak perekonomian.

3. Masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian warga

Walau belum dapat dibuktikan secara benar, terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan minat terhadap wisata yang bersifat edukatif. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Bandung Trails mulai 2003 hingga 2009, sekitar 78% peserta adalah mahasiswa dan hampir 100% memiliki latar belakang pendidikan minimum setara SLTA. Sebagai tambahan, di AS, ‘pariwisata pusaka’ mulai berkembang di era 90an, ketika generasi baby boomers yang dikenal dengan tingkat pendidikannya yang lebih baik dan cenderung sukses secara ekonomi mulai memasuki usia mapan. Hal ini mengasumsikan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang dengan kebutuhan akan wisata yang bersifat edukatif, seperti wisata pusaka – semakin tinggi tingkat pendidikan atau wawasan seseorang serta tingkat ekonominya, semakin tinggi kebutuhan akan wisata yang bersifat edukatif. Akhirnya, ini juga akan berpengaruh terhadap penawaran (demand) dalam konsep pemasaran.

Satu asumsi tambahan yang bisa disampaikan di sini adalah dari sisi ‘attachment’, atau keterkaitan emosi antara pemilik pusaka dengan objek pusakanya. Untuk kasus Indonesia, sebagian besar masyarakat merasa tidak memiliki attachment dengan pusakanya, terutama (karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam) yang berhubungan dengan pusaka Budha dan Hindu serta kolonial. Hal ini dapat berpengaruh terhadap sense of belonging masyarakat terhadap pusakanya. Lain halnya dengan negara-negara maju di Barat, yang telah melalui dan menikmati Jaman Keemasannya di era-era Renaissance dan industri, yang dibangun oleh para nenek moyangnya langsung.

Melalui asumsi-asumsi di atas, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa kondisi yang terjadi di Bandung (dan Indonesia pada umumnya) berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain. Konsekuensinya, perencanaan terhadap pengembangan ‘pariwisata pusaka’ di Bandung akan harus menerapkan prinsip-prinsip dasar yang sesuai. Seperti yang ditegaskan oleh Mason (2003), bahwa “Tourism planning and tourism management take place in the real world , where there are different individuals and groups, different value systems, varying and often conflicting interests and the processes of negotiation, compromise and choice all conspire to ensure that these activities are not necessarily rational or straightforward”.

Mason juga memaparkan bahwa ‘perencanaan kepariwisataan’ adalah :

· Penciptaan suatu mekanisme penyediaan sarana bagi wisatawan yang terstruktur dalam sebuah kawasan geografis yang cukup besar

· Pengkoordinasian elemen-elemen pariwisata (terutama akomodasi, transportasi, pemasaran, dan sumber daya manusia)

· Pelestarian sumber daya dan pemaksimalisasian manfaat bagi masyarakat lokal dalam upayanya mencapai keberlangsungan (biasanya melalui rencana pengembangan atau pengelolaan pariwisata)

· Pendistribusian kembali manfaat-manfaat pariwisata

Perencanaan kepariwisataan sangat terkait dengan gagasan akan kepariwisataan di masa mendatang dengan tujuan memaksimalkan manfaat dan meminimalisasikan dampak-dampak negatifnya. Implementasi dari perencanaannya adalah berupa kebijakan kepariwisataan, dan operasionalisasinya diwujudkan melalui pengelolaan kepariwisataan.

Perencanaan kepariwisataan tidak dapat dilepaskan dari unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dan kepentingannya masing-masing. Pemangku kepentingan dalam perencanaan kepariwisataan mencakup wisatawan, penduduk lokal, industri pariwisata, dan agen-agen pemerintah (baik lokal, regional, nasional, dan internasional).

cGambar 3 Jajaran bangunan toko bergaya Art Deco dapat dikembangkan sebagai salah satu daya tarik wisata Bandung (foto: TAP)

Dengan mengetahui kondisi yang sedang berkembang di Bandung, maka tugas berikutnya adalah membuktikan asumsi-asumsi di atas.

SIMPULAN

Walaupun Kota Bandung memiliki kekayaan dan keberagaman pusaka, perencanaan dan pengembangan ‘pariwisata pusaka’ di kota ini masih jauh dari kondisi ideal. Perkembangan ‘pariwisata pusaka’ di Bandung masih diawali dengan spontan dan sporadis, yang digagasi oleh organisasi non-pemerintah dan komunitas akar rumput, bukan melalui perencanaan yang terfokus dan terintegrasi. Dari sisi penawaran pun prosentasenya sangat kecil (karena wisata pusaka tergolong minat khusus dengan prosentase ‘pasar ceruk’ yang kecil) sehingga berdampak pada kurang berkembangnya industri pusaka di kota ini.

Sementara di banyak kota dan negara lain, khususnya negara-negara maju, ‘pariwisata pusaka’ sudah disadari dan dinikmati manfaatnya secara nyata sehingga menarik banyak pihak untuk merencanakannya secara terarah dan mengembangkannya secara berkelanjutan.

Beberapa asumsi untuk kendala pengembangan ‘pariwisata pusaka’ di Bandung muncul dengan mempertimbangkan kondisi lokal, seperti lemahnya law enforcement, lemahnya ekonomi lokal, dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar warga lokal. Ditambah dengan faktor attachment antara pewaris pusaka dengan pusakanya.

Oleh karena itu, hipotesis permasalahannya bukan terletak pada perencanaan pariwisata pusaka secara fisik, namun masih pada elemen yang bersifat software, yaitu pihak-pihak terkaitnya.

Tentu saja pelestarian dan pengembangan pariwisata pusaka bersifat pilihan – pihak terkait dapat memutuskan untuk mengembangkan atau tidak mengembangkannya. Namun sebelum memutuskan bahwa ini pilihan yang tepat atau tidak tepat, dibutuhkan studi lebih lanjut tentang persepsi pihak-pihak terkait dengan pengembangan ‘pariwisata pusaka’, khususnya di Kota Bandung.

 

Sumber Pustaka :

Drummond, S & Yeoman, I. 2001. ‘Quality Issues in Heritage Visitor Attractions’. Oxford, UK: Butterworth-Heinemann.

Hargrove, C. 2002. Article: ‘Heritage Tourism’. USA: The National Trust for Historic Preservation.

Judd & Fainstein. 1999. ‘Tourist City’. Boston, USA: Yale University Press.

Kunto, H. 2000. ‘Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung’. Bandung, Indonesia: PT Granesia.

Mason, P. 2003. ‘Tourism Impacts, Planning and Management’. Oxford, UK: Elsevier Butterworth-Heinemann.

UNESCO. 2002. ‘Managing Tourism at World Heritage Sites’.

UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Patria, T. 2006. Artikel: ‘Kembangkan Heritage Tourism’. Bandung, Indonesia: Pikiran Rakyat.

Weaver, D & Lawton, L. 2006. ‘Tourism Management’. Australia: John Wiley