Meningkatnya sektor perekonomian yang terjadi akibat meningkatnya perjalanan wisata dan aktivitas kepariwisataan di destinasi pariwisata di Indonesia saat ini dirasakan hanya dinikmati oleh para pengusaha atau pelaku industri kepariwisataan. Komunitas lokal seringkali hanya menjadi obyek dan sedikit sekali mendapat manfaat dari aktivitas kepariwisataan. Hal-hal seperti ini seringkali menimbulkan konflik secara horisontal di tengah masyarakat. Para operator kepariwisataan dengan manfaat yang diperoleh melalui aktivitas kepariwisataan seharusnya juga turut memikul tanggung jawab dalam mengelola dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas wisata serta implikasi negatif lain yang belum menjadi perhatian para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolalan usaha-usaha pariwisata di Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri sejauh mana tanggung jawab sosial industri pariwisata dalam pemberdayaan komunitas lokal melalui corporate social responsibility (CSR) dalam mengelola dampak dari aktivitas kepariwisataan yang dijalaninya.

1. PENDAHULUAN
Kecenderungan sektor industri kepariwisataan dalam mementingkan operasional dan keuntungan perusahaan ketimbang melayani kepentingan publik atau komunitas saat ini menjadi kajian yang menarik secara akademik. Munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mewakili dan mengadvokasi kelompok masyarakat tertentu dapat dijadikan sebagai sebuah tolok ukur dalam melihat berbagai dampak yang ditimbulkan oleh berbagai perusahaan. “ Perusahaan dianggap bertanggung jawab secara social jika perusahaan dapat menciptakan nilai yang baik dengan komunitas sama baiknya dengan para stakeholder seperti konsumen, pemasok, pegawai dan komunitas dalam cakupan yang lebih luas (Koestoer, 2007). Perusahaan dianggap memiliki tanggung jawab secara sosial jika memberi dampak terhadap lingkungan dan komunitas sekitar. Dalam konteks kepariwisataan, perusahaan atau industri yang terlibat dalam aktivitas kepariwisataan justru lebih rentan terhadap isu-isu sosial mengingat kepariwisataan bersentuhan dengan komunitas/masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Shaw dan Williams: “Tourism are deeply entangled with a socially-constructed nature” (Shaw dan Williams, 2004). Dengan demikian aktivitas kepariwisataan yang berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi sering menimbulkan konflik antar masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Prinsip “before-profit obligation” (Freeman, 2010 dan Kang,1995) menjadi isu sentral tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis atau istilah yang sering dikenal dengan corporate social responsibility (CSR) dalam mengelola dampak yang mungkin ditimbulkan akibat adanya kontak antara wisatawan dengan komunitas yang dikunjunginya.

Terdapat berbagai definisi tentang CSR yang dikemukakan. Hopkins mendefinisikan “corporate social responsibility is concerned with treating the key stakeholders of a company or institution ethically or in a responsible manner” (Hopkins, 1998). Berperilaku secara etik mengacu pada norma yang berlaku baik secara universal maupun yang berlaku berdasarkan adat, kebiasaan maupun budaya setempat dimana para stakeholder kepariwisataan menjalankan aktivitas mereka. Di negara-negara berkembang isu mengenai CSR menjadi perdebatan yang panjang.

Dalam konteks kekinian dan kepariwisataan, isu eksploitasi sumber daya pariwisata terutama yang bersinggungan dengan kepentingan komunitas lokal menjadi salah satu yang perlu diatur dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang lebih bertanggung jawab, beretika secara moral berdasarkan nilai dan norma yang berlaku baik secara universal maupun yang bersifat lokal.

2. KOMUNITAS DALAM KONTEKS KEPARIWISATAAN
Terdapat berbagai definisi dalam mengartikan makna komunitas dalam kepariwisataan. Berbagai pendapat dikemukakan oleh para ahli dalam memaknai komunitas dalam konteks kepariwisataaan. Ashley dalam Community Development through Tourism menyebutkan komunitas dalam kepariwisataan sebagai pengelola, wirausaha, pekerja, pembuat keputusan dan pelestari lahan (Ashley n.d.). Sedangkan Murphy (1980) menyebutkan komunitas sebagai sumber daya (kepariwisataan) menjualnya sebagai produk dan dalam prosesnya mempengaruhi kehidupan setiap orang: Namun dalam konteks yang lebih halus komunitas dalam kepariwisataan dimaknai sebagai “tourism that involves and benefits local communities” (Mann, 2000:26). Namun dalam konteks kepariwisataan komunitas mempunyai makna yang sangat luas mengingat komunitas terbentuk berdasarkan beberapa hal. Komunitas dalam kepariwisataan dapat terbentuk karena (Hillery, 1955):

Lokasi spesifik (a specific topographical location)
Komunitas dapat terbentuk karena kesamaan lokasi tempat tinggal baik secara geografis,        maupun karena adanya batas-batas administrasi tertentu.

Sistem nilai sosial tertentu (a particular local social system)
Dalam suatu wilayah yang luas, masyarakat dikelompokan berdasarkan sistem nilai sosial tertentu atau dalam konteks etnografi masyarakat dikelompokan berdasarkan etnis, budaya, atau suku yang memiliki sistem nilai yang berlaku dalam komunitas tersebut.

Faktor kebersamaan (a feeling of ‘communitas’ or togetherness)
Faktor kebersamaan dalam hal tertentu seringkali mendorong individu-individu menjadi terikat atas perasaan atau memiliki kepentingan yang sama terhadap hal tertentu.

Menganut faham atau ideologi tertentu (an ideology)
Hal ini hampir sama dengan paham kebersamaan namun, komunitas terbentuk karena adanya kesamaaan terhadap faham tertentu, misalnya faham eco-tourism dan sejenisnya.

Saat ini manfaat dari aktivitas kepariwisataan di Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pelaku industri atau pengusaha sektor kepariwisataan. Sebagai contoh di Bandung, banyak pelaku usaha yang mendapatkan manfaat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bandung namun kurang berkontribusi terhadap dampak yang ditimbulkan pada komunitas lokal. Pemerintah sebagai regulator seharusnya memperkuat peraturan dan penegakan hukum terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan oleh adanya aktivitas kepariwisataan meskipun di Indonesia terdapat kecenderungan pengusaha (perusahaan) enggan bekerja sama dengan pihak pemerintah (IBL, 2006) dan lebih cenderung kooperatif dengan pihak LSM. Hal ini mungkin disebabkan dalam banyak hal beberapa LSM cenderung menciptakan tekanan melalui pembentukan opini publik yang dapat merusak citra dan reputasi perusahaan (Koestoer, 2007).

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1, 7 juta anak yang menjadi pekerja (Survei BPS dan ILO, 2009). Di Jawa Barat sendiri terdapat sekitar 351.189 pekerja anak (LPA Jabar, 2010). Kondisi ini cukup dapat dikatakan cukup memprihatinkan jika dikaitkan dengan sektor kepariwisataaan. Pemerintah kota Bandung mencatat pada tahun 2010 pendapatan sektor kepariwisataan mencapai Rp. 176 miliar . Dengan jumlah pendapatan yang sebesar itu masih terdapat simpul-simpul kemiskinan yang terjadi dimana banyak pengusaha sektor kepariwisataan mendapatkan manfaat dari aktivitas kepariwisataan namun tidak cukup banyak berkontribusi terhadap komunitas lokal. Seringkali dalam sebuah daya tarik wisata dapat dilihat secara kasat mata pemanfaatan anak dalam menjajakan suvenir, makanan dan sejenisnya. Seringkali hal ini dianggap sebagai salah satu manfaat atau keuntungan dari sektor kepariwisataan berupa kesempatan usaha dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Dalam konteks yang lain seperti yang dikemukakan oleh Murphy (1980), di Indonesia komunitas sering menjadi objek daya tarik wisata atau dengan kata lain komunitas dijadikan sebagai sumber daya keuntungan secara ekonomi oleh operator kepariwisataan. Sebut saja beberapa komunitas masyarakat tradisional yang dijadikan sebagai daya tarik wisata dan menimbulkan dampak yang negatif di dalam komunitas tersebut. Selama ini masalah serta dilematika etika kepariwistaan muncul dari bagaimana para stakeholder kepariwisataan memanfaatkan sumber daya kepariwisatan secara berlebihan. Hal ini tidak saja berlaku bagi pengusaha, masyarakat lokal tetapi juga oleh wisatawan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Wisatawan seperti contoh yang terjadi di Ngadha Nusa Tenggara Timur. Penggunaan sumber daya yang berlebihan (uang) terhadap komunitas lokal terutama pemberian oleh-oleh menimbulkan konflik di antara masyarakat lokal. Pengunjung yang datang ke Ngadha pada umumnya seringkali memberi oleh-oleh kepada masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan norma adat masyarakat setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini hal tersebut menjadi dapat lebih diterima dan hal ini menimbulkan masalah baru karena menjadi kebiasaan di kalangan anak-anak untuk mengejar “hadiah” karena dianggap sebagai mengemis. Seiring dengan hal-hal tersebut muncul konflik ketika adat tradisional dipertemukan dengan modernitas. Selain itu juga muncul kritik ketika rumah-rumah adat dikomersialisasikan (dijual) kepada pengunjung. Menurut kaum wanita Ngadha, menjual sesuatu kepada orang luar menghilangkan nilai sakral dan status rumah (Cole, 2008). Untuk menghindari munculnya dampak-dampak negatif peran operator kepariwisataan (industri) dalam memberdayakan masyarakat lokal menjadi isu penting dalam upaya menciptakan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.

3. CSR DAN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS
Cara perusahaan mengelola berbagai isu sosial seringkali disebut dengan istilah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility – CSR) sebagaimana yang diungkapkan oleh Davies: “Respect for the values of ecological balance, human rights, business ethics and more sustainable and equitable development are at the heart of strategies for progress on corporate responsibility throughout the world” (2006).
Tanggung jawab sosial di Indonesia sering dijadikan sebagai sebuah strategi dalam mencari legitimasi dalam menjaga eksistensi perusahaan. Namun dalam isu besarnya tanggung jawab secara etika belum mencapai tahap yang signifikan. Salah satu agenda di belakang CSR dalam bidang kepariwisataan adalah untuk meyakinkan manfaat dari kepariwisataan baik secara ekonomi dan sosial dapat menjangkau dan dinikmati oleh komunitas dalam arti luas. Selain itu dalam kepariwisataan seringkali terjadi eksploitasi sumber daya kepariwisataan itu sendiri, mulai dari sumber daya alam hingga manusianya sendiri seperti pemanfaatan tenaga kerja anak di bawah umur seperti yang terjadi di banyak negara-negara berkembang termasuk di Indonesia
Fennell dan Malloy (2007) mengemukakan terdapat beberapa pertimbangan terhadap kebutuhan adanya tanggung jawab sosial operator kepariwisataan antara lain:

1) Pengurangan angka kemiskinan
Kepariwisataan dianggap sebagai alat atau media dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pengembangan ekonomi terutama dalam masyarakat lokal. Sektor kepariwisataan diharapkan tidak saja dapat memberi kontribusi dalam mensejahterakan masyarakat lokal tetapi juga akses terhadap suplai air, sanitasi, telekomunikasi dan transportasi melalui peran serta pemerintah dan pengusaha kepariwisataan
2) Meningkatkan manfaat positif kepariwisataan secara ekonomi, sosial dan budaya
Dengan adanya akses terhadap infrastruktur yang dibangun untuk menunjang aktivitas kepariwisataan, diharapkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dapat meningkat, secara sosial masyarakat akan mudah mengakses kesehatan, pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya.
3) Meminimalisir dampak negatif secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan
Dengan adanya aturan main yang jelas dalam kepariwisataan dampak negatif yang ditimbulkan akibat terjadi interaksi para stakeholder kepariwisataan dapat dihindari
4) Mengembangkan perilaku budaya berwisata secara bertanggung jawab
Dalam dunia yang semakin tak berbatas, proses pertemuan berbagai macam budaya dalam wadah aktivitas kepariwisataan seringkali terjadi kesalapahaman dalam memahami budaya orang lain. Apabila hal ini pahami dan dilaksanakan dengan baik akan menjadi khasanah berwisata yang berkualitas. “When practiced with an open mind, it is an irreplaceable factor of self education, mutual tolerance and for learning about the legitimate differences between peoples and cultures and their diversity” (UNWTO)
5) Mengembangkan solidaritas dalam kepariwisataan dalam kasus-kasus tertentu seperti bencana alam, wabah penyakit termasuk di dalamnya perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi, serta pemberdayaan kaum wanita melalui kepariwisataan
6) Perlindungan terhadap sumber daya
Eksploitasi sumber daya seringkali menjadi isu yang sering muncul dalam kepariwisataan. Tidak saja eksploitasi terhadap berbagai sumber daya yang dijadikan sebagai daya tarik, tetapi juga sumber daya manusia yang digunakan dalam mengelola usaha kepariwisataan. Selain itu juga perilaku komunitas lokal juga berkontribusi terhadap berbagai eksploitasi sumber daya yang biasanya dimanfaatkan sebagai suvenir kepariwisataan.
7) Perubahan iklim
Pemanfaatan bahan-bahan yang dapat berkontribusi terhadap iklim dalam aktivitas kepariwisataan perlu diatur sedemikian rupa sehingga aktivitas wisata tetap dapat dilaksanakan dalam lingkungan yang sehat dan bersih.

Dalam kepariwisataan, obligasi perusahaan kepada komunitas sebagai tanggung jawab sosial atas pemanfaatan sumber daya yang digunakan bersama perlu diatur sedemikian rupa. Dasar atau aturan main CSR ini dibuat dengan tujuan: (1) Meletakan nilai dasar moralitas yang berlaku dan dipahami bersama oleh para stakeholder kepariwisataan dalam bertanggung jawab secara social, (2) Membentuk perilaku bertanggung jawab terhadap segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan dampak atau akibat baik secara positif maupun negatif.
Mengapa pemberdayaan komunitas dalam kepariwisataan menjadi hal yang penting, hal ini disebabakan oleh beberapa makna penting komunitas dalam kepariwisataan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Komunitas dalam kepariwisataan menurut oleh Richard dan Hall (2000) adalah:

a) Merupakan sumber daya utama dimana pariwisata tergantung kepadanya.
b) Komunitas merupakan alasan wisatawan melakukan perjalanan, sebuah cara mengalami cara hidup dan produk dari komunitas yang berbeda
c) Membentuk lanskap budaya yang dikonsumsi wisatawan
d) Sebagai sumber wisatawan itu sendiri

Pendapat tersebut di atas juga masih menempatkan komunitas sebagai sumber daya tarik wisata bukan sebagai aktor utama dalam pembangunan kepariwisataan tetapi sebagai objek semata. Di sinilah dituntut peran pelaku industri kepariwisataan dalam melakukan pemberdayaan terhadap komunitas lokal agar mereka dapat mengembangkan diri secara ekonomi dan turut mendapatkan manfaat secara signifikan dari sektor kepariwisataan melalui berbagai upaya-upaya CSR. Dalam berbagai kesempatan, CSR di Indonesia masih dianggap sebagai bagian dari sekedar memberi bantuan kepada komunitas-komunitas tertentu pada situasi tertentu seperti bencana alam, peluncuran produk baru. Namun demikian tidak sedikit juga perusahaan yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan komunitas melalui CSR berupa pemberian beasiswa penuh bagi siswa yang kurang mampu sehingga diharapkan ketika siswa tersebut telah menyelesaikan pendidikannya yang bersangkutan dapat kembali ke dalam komunitasnya serta memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pembangunan daerahnya. Dalam konteks kepariwisataan, isu CSR ini semakin menarik karena sering dikaitkan dengan pengembangan kepariwisataan yang pro-poor. Pro-poor tourism (PPT) didefinisikan sebagai: “tourism that generates net benefits for the poor” (PPT Partnership, 2004a). Penerapan PPT berangkat dari kepercayaan bahwa kepariwisataan dapat dan harus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kaum “marjinal”. PPT diharapkan mampu kaum marjinal ini secara aktif terlibat dan memperoleh keuntungan secara ekonomi (PPT Partnership,2004b:2). Para pengamat sering mengungkapkan kultur masyarakat Indonesia merupakan salah satu yang paling sulit dipahami dan dipenetrasi. Di satu sisi kultur masyarakat Indonesia merefleksikan modernitas, tapi pada sisi yang lain kultur dalam berbisnis, politik dan komunitas tetap dipengaruhi oleh tradisi yang diwarnai oleh otoritarianisme yang korup. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi penerimaan dan penerapan CSR di Indonesia (Kemp, 2001). Menurut Kemp penerapan CSR di Indonesia ibarat seperti menonton pertunjukan wayang kulit. Tokoh di balik layarlah mempunyai peran sentral bagaimana CSR dipresentasikan kepada publik. Sehingga seringkali pemberdayaan masyarakat melalui CSR tidak terimplentasi dengan baik.

CSR di Indonesia dilakukan sebagai bentuk pencitraan baik dari tokoh yang berada dalam perusahaan maupun perusahaan itu sendiri seperti disebutkan di awal ibarat pertunjukan wayang, penonton hanya dapat menyaksikan pertunjukan tanpa terlibat dalam “pendalangan” tersebut. Dengan demikian peran CSR sebagai “socially responsible” terhadap komunitas mempunyai makna lebih besar dalam berbagi nilai dengan stakeholder mereka (konsumen, pekerja, dan komunitas itu sendiri). Idealnya menurut Buchholz (2004), para profesional (pelaku usaha) kepariwisataan dalam menjalankan bisnis harus dipandang memiliki legitimasi secara etika sebagai:

a) Kontrak sosial, sebagai bagian dari penyelenggaraan dari norma-norma dan nilai sosial, harapan dan tanggung jawab melalui sebuah tindakan sosial yang berarti para profesional (perusahaan) melaksanakan sebuah peran penting dalam masyarakat.
b) Altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain), sebagai motivasi dalam menjalankan bisnis, yang bermakna para profesional (perusahaan) bertanggung jawab atas tindakan mereka terhadap orang lain (komunitas dan wisatawan).

Kedua hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan CSR secara lebih beretika terutama dalam menjalankan bisnis dalam bidang kepariwisataaan. Meskipun demikian terdapat beberapa pelaku usaha kepariwisataan yang berkontribusi cukup besar dalam pemberdayaan masyarakat lokal melalui CSR, sebut saja Saung Angklung Udjo di Bandung. Kontribusi Saung Angklung Udjo (SAU) cukup besar terhadap komunitas sekitar. Pengelola SAU mengajak orang-orang di komunitasnya untuk memberikan kontribusi positif kepada kerajinan angklung dan seni pertunjukan permainan angklung serta pertunjukan tradisional kesenian Sunda. SAU merupakan sanggar seni sebagai tempat pertunjukkan seni, laboratorium pendidikan sekaligus sebagai obyek wisata budaya khas Jawa Barat, dengan mengandalkan semangat gotong royong antar sesama warga. Saat ini SAU mengembangkan cikal bakal konsep perusahaan berbasis masyarakat, dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam memproduksi angklung, mereka dijadikan pengrajin binaan. Perusahaan memodali dana dan bahan baku untuk pembuatan angklung di rumah sesuai dengan target permintaan, kemudian diserahkan kembali ke perusahaan. Sebagian artis pertunjukan musik angklungpun adalah anak-anak dan remaja di komunitas sekitar. Dan sebagian besar anak-anakpun dapat terus melanjutkan sekolahnya dari beasiswa SAU .

4. KESIMPULAN
Secara prinsipil tujuan dari penerapan CSR adalah demi tercapainya pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan serta dalam membentuk perilaku insan pariwisata ke arah yang lebih bertanggung jawab. Dalam konteks kepariwisataawan, berbagai aktivitas kepariwisataan sangat rentan terhadap isu-isu sosial mengingat kepariwisataan sangat bersentuhan dengan komunitas/masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Shaw dan Williams: “Tourism are deeply entangled with a socially-constructed nature” (Shaw dan Williams, 2004), Konflik-konflik sosial yang sering terjadi dalam masyarakat di sebuah destinasi dapat dihindari jika terdapat pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai serta norma yang berlaku di dalam masyarakat dalam sebuah destinasi pariwisata melalui pemberdayaan komunitas melalui CSR perusahaan yang mendapatkan manfaat dari aktivitas kepariwisataan dimana komunitas berada. Penerapan CSR sebagai salah satu bentuk manifestasi pemberdayaan masyarakat lokal di Indonesia masih memerlukan sebuah proses yang cukup panjang. Para stakeholder kepariwisataan di Indonesia masih harus duduk bersama dalam menerapkan standar good conducts dalam usaha-usaha pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas di Indonesia sehinggan penerapan CSR di Indonesia tidak dianggap bentuk tindakan reaktif dari situasi dan kondisi tertentu agar perusahaan tidak kehilangan citra dan reputasi di mata publik.

REFERENSI:
Ashley, C. (n.d.). Community tourism in Southern Africa: guidelines for Practitioners dalam Beeton, Sue (2006) Community Development Through Tourism, Landlinks Press, Australia

Beeton, Sue (2006) Community Development Through Tourism, Landlinks Press, Australia

Buccholz , W.J. (2004) Deciphering Proffesional Codes of Ethics dalam Fennel, D.A. dan Malloy, D.C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practicem Theory, Synthesis, Cromwell Press, Great Britain, p. 23

Cole, Stroma (2008) Tourism, Culture and Development, Channel View Publication, Great Britain

Davies, Robert (2006) Emerging Trends and Challenges in Corporate Responsibility dalam Koestoer, Yanti T. (2007) Corporate Social Responsibility in Indonesia: Building Internal Corporate Values to Address Challenges in CSR Implementation, Paper is presented at the Seminar on Good Corporate and Social Governance in Promoting ASEAN’s Regional Integration, 17 January 2007, Asean Secretariat, Jakarta, Indonesia

Fennel, David A. dan Malloy David C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practice, Theory, Synthesis, Channel View Publication, Great Britain

Freeman, dkk . dan Kang, Young-Chul/Wood, Donna J. (1995): Before-Profit Social Responsibility: Turning the Economic Paradigm Upside Down dalam Conrady, Roland dan Buck, Martin (2011) Trends and Issues in Global Tourism 2011, Eds, Springer, Germany

Hillery, G. (1955) Definitions of Community- Areas of Agreement dalam Richards, Greg dan Hall, Derek (2000), Tourism and Sustainable Community Development, Editors, Routledge, London, p. 2

Hopkins, Michael (1998) A Planetary Bargain: Corporate Social Responsibility Comes of Age dalam Conrady, Roland dan Buck, Martin (2011) Trends and Issues in Global Tourism 2011, Eds, Springer, Germany

http://ethics.unwto.org/en/content/background-global-code-ethics-tourism

Indonesia Business Links (2006) Proceedings of the IBL’s Conference on CSR dalam Koestoer, Yanti T. (2007) Corporate Social Responsibility in Indonesia: Building Internal Corporate Values to Address Challenges in CSR Implementation, Paper is presented at the Seminar on Good Corporate and Social Governance in Promoting ASEAN’s Regional Integration, 17 January 2007, Asean Secretariat, Jakarta, Indonesia

Kemp, Melody (2001) Corporate Social Responsibility in Indonesia Quixotic Dream or Confident Expectation?, Technology, Business and Society Programme Paper Number 6 December 2001, United Nations Research Institute for Social Development

Koestoer, Yanti T. (2007) Corporate Social Responsibility in Indonesia: Building Internal Corporate Values to Address Challenges in CSR Implementation, Paper is presented at the Seminar on Good Corporate and Social Governance in Promoting ASEAN’s Regional Integration, 17 January 2007, Asean Secretariat, Jakarta, Indonesia

Mann, M. (2000) The Community Tourism Guide: Exciting Holidays for Responsible Travellers dalam Murphy, Peter E. dan Murphy, Ann E. (2004) Strategic Management for Tourism Communities, Channel View Publication, England

Murphy, P.E. (1980). Tourism management in host communities dalam Beeton, Sue (2006) Community Development Through Tourism, Landlinks Press, Australia

Parker, S (1999) Ecotourism, Environmental Policy and Development dalam Fennel, David A. dan Malloy David C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practice, Theory, Synthesis, Channel View Publication, Great Britain

Pro-Poor Tourism Partnership (PPT Partnership) (2005a) Pro-Poor Tourism: Annual Register 2005, Pro-Poor Tourism Partnership , London

Richards, Greg dan Hall, Derek (2000), Tourism and Sustainable Community Development, Editors, Routledge, London

Shaw, Gareth dan Williams, Allan M. (2004) Tourism and Tourism Spaces, Sage, Great Britain
UNWTO (_______) Responsible Tourist and Traveller, Responsible Tourist Brochure, UNWTO