Geliat kepariwisataan Indonesia dapat dikatakan dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1969 tentang Pedoman Pembinaan Pengembangan Kepariwisataan Nasional. Usaha-usaha yang dilakukan sesuai dengan pasal 4 Inpres No. 9 Tahun 1969 adalah:

  1. Memelihara/membina keindahan dan kekayaan alam serta kebudayaan masyarakat Indonesia sebagai daya tarik kepariwisataan;
  2. Menyediakan/membina fasilitas-fasilitas transportasi, akomodasi, entertainment dan pelayanan pariwisata lainnya yang diperlukan, termasuk pendidikan kader;
  3. Menyelenggarakan promosi kepariwisataan secara aktif dan efektif di dalam maupun di luar negeri
  4. Mengusahakan kelancaran formalitas-formalitas perjalanan dan lalu-lintas para wisatawan dan demikian menghilangkan unsur-unsur yang menghambatnya;
  5. Mengarahkan kebijaksanaan dan kegiatan perhubungan, khususnya perhubungan udara, sebagai sarana utama guna memperbesar jumlah dan melancarkan arus wisatawan.

Pada tahun 1969 jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia telah mencapai 86.000 wisatawan[1]. Hal ini kemudian disikapi dengan membuat perencanaan induk pengembangan pariwisata untuk pertama kalinya di Indonesia dengan membentuk Bali Tourist Development Corporation (BTDC) pada tahun 1970. Bali menjadi pilot project pengembangan pariwisata Indonesia pada saat itu tidak terlepas dari publikasi jurnalis dari Amerika Hickman Powell dalam bukunya The Last Paradise: An American’sDiscovery’ of Bali in the 1920s yang diterbitkan pada tahun 1930, dan karena publikasi tersebut jumlah wisatawan yang datang ke Bali berangsur-angsur meningkat dari 11,278[2] pada tahun 1969 hingga mencapai 2.114.991[3] pada tahun 2008. Momen inilah yang kemudian menjadi titik awal perkembangan kepariwisataan di Indonesia.Pada saat itu ikon pemasaran pariwasata Indonesia memanfaatkan alam dan budaya Bali sebagai daya tarik utamanya.

Indonesia sejak tahun 1970an hingga sekarang telah mengalami berbagai macam metamorfosis dalam upayanya menarik wisatawan untuk datang berkunjung ke Indonesia. Jika kita menelaah kembali media masa di sekitar tahun 1970 hingga 1980 berbagai “tagline” promosi pariwisata Indonesia telah dikumandangkan. “Indonesia, there is more to it than Bali”, “Indonesia, Bali and Beyond”, serta “Indonesia, Bali plus Nine” yang dihembuskan seiring dengan pembentukan 10 daerah tujuan wisata (DTW) dalam Rencana Pembangungan Lima Tahun (Pelita) III Pariwisata Indonesia.

Pada tahun 1980an Indonesia untuk pertama kali mengkuti World Tourism Market (WTM) menandai dimulainya era promosi pariwisata secara internasional, seiring dengan lahirnya 7 kebijakan strategi pokok pariwisata dalam Pelita V yakni 1) Promosi pariwisata yang konsisten 2) Penambahan aksesibilitas, 3) Mempertinggi kualitas pelayanan dan produk pariwisata, 4) Pengembangan DTW, 5) Promosi daya tarik alam, satwa dan wisata bahari, 6) Mempertinggi kualitas SDM, 7) Melaksanakan kampanye sadar wisata melalui Sapta Pesona. Pada tahun 1992 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 60 tahun 1992 ditetapkanlah Dekade Kunjungan Wisata (Dekuni) sebagai bagian kampanye pariwisata Indonesia dengan mengambil tema berbeda setiap tahunnya.

Hal yang menarik adalah pemerintah pada saat itu telah menyadari potensi sumber daya alam dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia untuk dijadikan daya tarik utama pariwisata Indonesia. Hal ini terbukti setelah 41 tahun potensi ini belum berubah berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF). Hal lain yang menarik adalah selama masa itu pariwisata Indonesia belum beranjak dari bayang-bayang Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia.

Kampanye promosi pariwisata Indonesia secara formal ditandai dengan dicanangkannya “Visit Indonesia Year (VIY)” pertama kali pada tahun 1991 seiring dengan dikeluarkannya Undang-undang Pariwisata No. 9 tahun 1990, yang dilanjutkan dengan Visit Indonesia Year 1992, 2008, 2009 dan 2010.

Pada 1991 kampanye pariwisata Indonesia pada saat itu masih dalam tahap membangunkan kesadaran (awareness) masyarakat terhadap kegiatan kepariwisataan melalui program Sapta Pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, kenyamanan, keindahan, keramahan dan kenangan). Logo atau maskot kampanye pariwisata pada saat itu mengetengahkan hewan yang dilindungi yakni badak bercula 1 yang habitatnya berada di daerah Ujung Kulon Banten.

Melalui VIY pada tahun 1991, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia sebesar 2,6 juta dengan jumlah devisa sebesar USD 2,5 milyar. Mencoba mengulang sukses tahun 1991, tahun 1992 kembali dicanangkan Tahun Kunjungan Indonesia dengan mengangkat tema “Let’s go Archipelago”. Pada tahun ini kebijakan pemasaran pariwisata sudah mencoba mengangkat potensi sumber daya (alam) yang dimiliki oleh Indonesia. Namun pada tahun ini meskipun kunjungan wisatawan internasional menurun akibat perang di Timur Tengah, pariwisata Indonesia mengalami kenaikan sebesar 23% dari tahun 1991 dengan Bali dan Jakarta mendominasi jumlah kunjungan masing-masing sebesar 1.024.231 dan 958.818 wisatawan[5].

Pada tahun 1993 pariwisata Indonesia mencoba mengangkat isu “mass tourism” dengan dengan merenovasi Bali Beach Bunker yang sekarang dikenal dengan Hotel Grand Bali Beach dimana tempat ini dikenal sebagai bunker pasukan sekutu pada perang dunia II. Setelah 1993, hampir dapat dikatakan promosi pariwisata Indonesia mengalami masa-masa suram akibat gejolak politik di dalam negeri. Beberapa peristiwa penting antara tahun 1995 hingga tahun 2000 yang mempengaruhi kunjungan wisatawan adalah gejolak politik di Timor Timur pada Desember 1996 serta peristiwa kejatuhan presiden kedua RI pada tahun 1998.

Pada tahun 2000 pariwisata Indonesia mencatat rekor tertinggi rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara yakni sebesar 12,26 hari dengan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 5,064,217[6]. Pada tahun 2002 pariwisata Indonesia kembali mengalami masa suram akibat peristiwa bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa ini menyebabkan penurunan wisatawan secara drastis di Bali dari 156.923 menjadi 86.901 dan mengurangi secara kumulatif jumlah kunjungan wisman ke Indonesia sebesar 0,21%[7].

Secara umum dinamika pariwisata Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

  • 1946, Pembentukan Hotel and Tourism/HONET (Departemen Perhubungan), dengan tugas mengelola hotel-hotel peninggalan Belanda
  • 1952, Keppres Pembentukan Panitia Inter -Depertemental Urusan Tourisme dengan tugas membentuk Daerah Tujuan Wisata (DTW)
  • 1953, Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme Indonesia (Sergahti) dengan tugas mengosongkan “penghuni tetap” hotel dan penetapan tarif hotel
  • 1955, Konferensi Asia Afrika, dibentuk PT. Natour (National Hotels and Tourism Corporation Ltd.) oleh Bapindo (Bank Pembangungan Indonesia) pada tahun 1993 bergabung dengan PT. HII (Hotel Indonesia International)
  • 1955, Dibentuk Direktorat Pariwisata di bawah Dephub
  • 1961, Dewan Pariwisata Indonesia (Depari)
  • 1989, Inpres No. 3 Tahun 1989 Tentang Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991, dan Kampanye Sadar Wisata (Kepmen No:KM.52/HM.601/MPPT-89).
  • 1990, Undang-undang Pariwisata Nomor: 9 Tahun 1990
  • 1991, Visit Indonesian Year, Sapta Pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, kenyamanan, keindahan, keramahan dan kenangan)
  • 1992, Visit Indonesia Year “Let’s go Archipelago” (Dekade Kunjungan Indonesia/Dekuni) Wisman Bali 1.024.231 dan Jakarta 958.818
  • 2008, Visit Indonesia Year, Kebangkitan Nasional, Unity in Diversity
  • 2009, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, Renstra Kemenbudpar (2010 – 2014),

Pada tahun 2008 merupakan titik balik kampanye pariwisata Indonesia dengan kembali digulirkannya Visit Indonesia Year 2008 dengan mengambil tema Kebangkitan Nasional. Pada tahun inilah slogan “Unity in Diversity” (Bhinneka Tunggal Ika) mulai digaungkan. Meskipun tema yang diangkat belum menggambarkan dengan jelas apa produk pariwisata Indonesa yang hendak dijual. Tahun-tahun ini juga menggambarkan tahun yang berat bagi pariwista Indonesia terutama dengan munculnya isu terorisme di Indonesia. Angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia belum beranjak dari angka “keramat” 6 juta wisatawan, bandingkan dengan Malaysia yang telah mencapai angka 23, 6 juta wisatawan.

Referensi:
  1. Jafari, J. (2000) Encyclopedia of Tourism, Routledge, USA, p. 305
  2. Yamashita, S. (2010) A 20-20 Vision of Tourism Research in Bali: Towards Reflexive Tourism Studies, Goodfellow – Oxford, p.3
  3. Kemenbudpar, 2010
  4. Crotts, John C. and Ryan, Chris A. (1997) Marketing Issues in Pacific Area Tourism, Haworth Press – USA, p.77
  5. Kemenbudpar, RI
  6. Biro Pusat Statistik