Faktor demografis adalah salah satu cara mendeskripsikan profil dan perilaku wisatawan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana melihat perilaku manusia pada umumnya. Perilaku manusia (human behavior) merujuk kepada bagaimana manusia bertindak, memperlakukan diri mereka dalam bekerja dan bermain, bereaksi terhadap lingkungan, melakukan fungsi dan tanggung jawab mereka dan melakukan aktivitas keseharian mereka (Reisinger, 2009:266). Reisinger juga mengutip Maslow’s Hierarchy of Needs (1954) yang mendeskripsikan perilaku manusia didasarkan pada 5 dasar kebutuhan manusia: biologis, safety and security, sosial, ego needs dan aktualisasi diri.

Kotler (2000:15) menyebutkan bahwa bahwa seiring dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan deregulasi telah menciptakan perilaku baru dari konsumen (wisatawan). Kotler menyebutkan konsumen yang mengharapkan kualitas dan pelayanan serta kustomisasi produk tertentu meningkat dengan signifikan. Konsumen (wisatawan) dapat memperoleh informasi tentang produk melalui internet serta sumber-sumber lainnya sehingga konsumen dapat membelanjakan uangnya dengan lebih bijaksana dan konsumen lebih memiliki sensifitas dalam pencarian terhadap nilai (value) sebuah produk. Hudson (2008:41) menjelaskan bahwa terdapat 7 faktor yang mempengaruhi wisatawan dalam membelanjakan uangnya:

  • Motivasi
  • Budaya
  • Usia dan Jender
  • Kelas Sosial
  • Gaya hidup
  • Life-cycle
  • Group preference

Sebagaimana konsepnya, kepariwisataan diartikan melarikan diri dari rutinitas kehidupan (lingkungan) sehari-hari (Wearing, Stevenson, and Young, 2010), seseorang wisatawan tentunya akan berkorban terhadap sejumlah uang dalam memenuhi kebutuhan akan “pelarian diri” dari rutinitas kesehariannya termasuk membayar sejumlah uang terhadap jenis aktivitas yang dilakukan selama dalam “pelariannya”.

Sebagaimana yang diungkakan oleh Reisinger kebutuhan seorang wisatawan sangat bervariasi dari satu budaya dengan yang lainnya (2009:330), wisatawan yang datang ke sebuah tujuan wisata yang sama untuk alasan yang berbeda. Sebagai contoh di Indonesia, wisatawan yang datang objek wisata Istana Kasepuhan di Cirebon, motif wisatawan yang datang pun bervariasi dari yang sekedar rekreasi hingga yang berhubungan dengan hal-hal mistis. Motif yang berbeda tentunya melatarbelakangi pengeluaran yang berbeda pula dari apa yang dicari di sebuah objek wisata.

Kebudayaan, norma yang berlaku secara nasional di suatu negara juga sangat mempengaruhi seorang wisatawan dalam mencari informasi tentang produk wisata. Wisatawan asal Jepang sebagai contoh menggali informasi melalui agen-agen perjalanan (Reisinger, 2009). Jika dikaitkan dalam konteks Indonesia, wisatawan cenderung menggali informasi tentang sebuah daya tarik wisata dari mulut ke mulut, serta dari media massa meskipun hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Budaya yang melekat dengan wisatawan ini cenderung untuk mempengaruhi perilaku dan motivasi wisatawan dalam membeli produk wisata mereka. Seperti contoh wisatawan Jepang sangat hati-hati dan mendetail dalam mempersiapkan liburan mereka. Wisatawan Jepang cenderung sangat mempertimbangkan alternatif daerah tujuan wisata mereka, harga yang ditawarkan dalam menghemat pengeluaran, dan sebagai akibatnya wisatawan Jepang cenderung menggunakan waktu yang lebih panjang mengambil keputusan, tetapi lebih cepat pada tahap pembelian (membayar untuk biaya perjalanan wisata) dan berpergian dalam grup. Sementara wisatawan dari Australia cenderung tidak menggunakan banyak waktu dalam memutuskan dalam memilih daerah tujuan wisata mereka. Perjalanan wisatawan Australia biasanya tidak terencana, worry-free, dan sangat santai (Reisinger, 2009:344). Hal ini kemungkinan dapat menjelaskan mengapa jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia cukup besar namun dalam pengeluaran relatif kecil yakni rata-rata sebesar USD. 932,16 jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran wisatawan asal Norwegia yang mencapai rata USD. 1,405.88

Referensi:

  • Biro Pusat Statistik (2010) Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2010, Berita Resmi Statistik No. 16/03/Th.XIII, 1 Maret 2010
  • Horner, Susan and Swarbrooke, John (2005) Leisure Marketing: A Global Perspective, Elsevier Butterworth-Heinemann- Massachussets, 194
  • Hudson, Simon. (2008) Tourism and Hospitality Marketing: A Global Perspective: Sage Publication – London, 41
  • Jafari, J. (1987). Tourism Models: The Socio-cultural Aspects, dalam Reisinger,Yvette (2009) International Tourism: Cultures and Behaviour, Elsevier Butterworth-Heinemann, Massachussets, 104
  • Kotler, Philip (2000) Marketing Management, Millenium Edition, Prentice-Hall- USA, 15
  • Reisinger,Yvette (2009) International Tourism: Cultures and Behaviour, Elsevier Butterworth-Heinemann, USA, 266, 330, 323, 344, 339
  • Smith, Stephen L.J. (1995) Tourism Analysis, A Handbook, Longman – England, 252
  • Wearing, S., Stenvenson, D., and Young, T. (2010) Tourist Culture: Identity, Place and the Traveler, Sage Publication – London, 21-22