PENDAHULUAN

Kematian, bencana dan kengerian dalam bentuk tertentu telah memunculkan bentuk baru kegiatan wisata yang berkembang dalam wajah pariwisata dewasa ini. Meskipun kegiatan wisata ini tidak selalu berhubungan dengan kejadian nyata yang dialami oleh wisatawan tetapi aktivitas wisata ini tetap mempunyai peminat. Aktivitas wisata ini dapat berupa perjalanan wisata spiritual bagi wisatawan yang ingin menatap pada kematian dan bencana sebagai daya tarik perjalanan wisata yang tidak berlaku umum, meskipun dalam level tertentu tetap ada unsur rekreasi dan bersenang-senang. Meskipun demikian dengan meningkatnya perhatian terhadap “dark tourism”, literatur tentang “dark tourism” masih tetap berada di area abu-abu dan secara teoritis masih rapuh serta masih dapat diperdebatkan. Artinya, tetap ada sejumlah isu fundamental, apakah dimungkinkan mengkategorikan beragam situs, atraksi dan pameran yang berkaitan dengan kematian dan hal-hal yang mengerikan sebagai “dark tourism”. Oleh sebab itu konstruksi tipologi yang lebih jelas dan komperhensif dapat mengarahkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap dark tourism, dan juga bagaimana menemukan dan mengeksplorasi permintaan konsumen, motivasi dan pengalaman terhadap dark tourism. Di Indonesia fenomena ini berkembang sedemikian rupa sehingga menimbulkan beberapa kontroversi di kalangan masyarakat. Tayangan-tayangan televisi hingga bioskop diwarnai tayangan yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau mistis dan menyebabkan beberapa operator tur wisata juga menawarkan paket ke tempat-tempat yang konon berbau mistis.

DINAMIKA PERKEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKAITAN DENGAN KEMATIAN DAN 
BENCANA

Dari aktivitas awal kegiatan pariwisata serta perkembangannya, satu hal yang menarik adalah aktivitas wisata yang berhubungan dengan dunia kematian, bencana dan kengerian dan dikenal melalui istilah dark tourism. Tidak begitu jelas kapan istilah ini mulai digunakan, namun kegiatan ini ternyata telah ada sejak zaman Kerajaan Romawi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Colosseum di Kota Roma tempat pertandingan para gladiator. Dark tourism sering diartikan dengan kegiatan kunjungan atau perjalanan ke situs-situs yang diasosiasikan dengan kematian dan penderitaan. Stone (2006) menyebutkan dark tourism sebagai: “…the act of travel and visitation to sites, attractions and exhibitions which have real or recreated death, suffering or the seemingly macabre as a main theme”. Sementara itu Tarlow (2005) menyebutkan dark tourism sebagai:“visitations to places where tragedies or historically noteworthy death has occurred and that continue to impact our lives”. Sedangkan menurut Lennon dan Foley sebelumnya (2000) menyatakan dark tourism sebagai:”….dark tourism refers to the attraction to tourists of visits to sites associated with death and human disaster…..”.

Berbagai kejadian bencana dan tragedi di belahan bumi telah menyebabkan rasa ingin tahu banyak orang tentang akibat yang ditimbulkan. Tsunami di Samudra Hindia, merupakan contoh peristiwa yang telah mendorong orang untuk datang ke daerah-daerah tersebut oleh karena akibat yang ditimbulkan begitu besar, atau lokasi Pont de l’Alma sebuah terowongan di Paris, Perancis tempat Princess Diana of Wales meninggal akibat kecelakaan pada 31 Agustus 1997 atau juga lokasi ground zero dimana dulu menjadi lokasi menara kembar World Trade Center New York. Namun apakah sebenarnya dark tourism ini merupakan bagian dari aktvitas yang terjadi begitu saja atau apakah karena ada supply dan demand terhadap daya tarik jenis ini atau hanya bagian dari pengistilahan tourism sebagai bagian dari teknik pemasaran, tentu semuanya perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Namun apa sebenarnya mendorong adanya dark tourism?, Stone (2005) menyebutkan terdapat beberapa variabel yang mendorong dark tourism dihasilkan/diproduksi:

  1. Adanya sensasi kedekatan dan spontanitas dark tourism terhadap situs-situs tempat kematian, bencanan dan penderitaan;
  2. Secara kebetulan, karena berhubungan dengan peristiwa pergolakan dan peristiwa tragis;
  3. Adanya ketertarikan terhadap kematian dan penderitaan (menyaksikan kematian, bertaruh dengan kematian di tempat-tempat berbahaya, mempelajari kematian orang-orang terkenal, dan lain sebagainya;
  4. Alasan fundamental, seperti alasan politis, untuk mengenang perisitiwa dan orang tertentu, pendidikan, hiburan atau untuk alasan ekonomi.

Pengaruh media komunikasi seperti televisi dan internet dalam liputan berita setidaknya telah memberikan porsi yang cukup besar dalam memberikan opini publik tentang dark tourism dan membuat orang penasaran untuk mengunjungi lokasi-lokasi tersebut. Seaton (1996) berpendapat dark tourism merupakan fenomena perilaku berdasarkan motivasi motivasi wisatawan yang berseberangan dengan motivasi terhadap ciri khas daya tarik situs wisata pada umumnya. Namun Sharpley (2005) menyebutkan masih tetap belum jelas apakah fenomema dark tourism merupakan daya tarik berdasarkan supply driven atau consumer-demand driven.

Namun mengapa ada wisatawan yang tertarik dengan wisata jenis ini? Dark tourism merupakan kombinasi yang sangat kompleks dari insting atau motif di dalam diri manusia seperti contohnya ketertarikan yang tidak lazim untuk mengunjungi situs yang berhubungan dengan bencana/kecelakaan (Rojek, 1993). Kegiatan ini akhirnya membentuk bagian dari penghormatan/pengenangan terhadap kematian dalam banyak masyarakat dan ditransformasikan dalam praktik kegiatan pariwisata pada umumnya seperti pada kunjungan makam orang-orang terkenal (Lennon dan Folley, 2000), meskipun Williams (2009:238) menyatakan bahwa kunjungan pada tempat-tempat seperti itu masuk dalam kategori heritage tourism, dan dark tourism muncul oleh akibat karakteristik permintaan wisatawan yang tidak lazim tersebut (“….heritage tourism should be considered as being as much a product of demand characteristics…”,). Hal ini dapat disebut demikian karena pada dasarnya situs-situs yang dikunjungi oleh wisatawan sudah ada sebelumnya dengan istilah yang sudah ada lebih dahulu hanya saja pengkategorian jenis aktivitas yang dilakukan berdasarkan asosiasinya dengan kematian belum banyak digunakan. Di Indonesia sendiri fenomena ini telah ada sejak lama dan masih berlangsung hingga sekarang. Fenomena kunjungan pada makam-makam tokoh terkenal yang ada di Indonesia baik tokoh agama, masyarakat hingga orang-orang tertentu dan dilakukan dalam rangkaian kegiatan wisata menimbulkan sebuah pertanyaan apakah kegiatan ini merupakan kategori dari wisata ziarah atau bukan. Ziarah di Indonesia sering diidentifikasi dengan kegiatan ritual keagamaan sehingga seringkali sukar dipisahkan dengan kegiatan ritual tersebut. Namun dalam kenyataannya seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan transportasi ziarah tidak lagi menjadi sebuah ritual keagamaan tetapi menjadi bagian yang integratif dengan kepariwisataan. Sebut saja kunjungan terhadap makam mantan presiden pertama Republik Indonesia Soekarno di Blitar yang dikunjungi dalam rangkaian kegiatan wisata yang dilakukan di daerah Jawa Timur. Kegiatan yang dilakukan pada tempat tersebut sebagian sudah tidak lagi dihubungkan dengan ritual keagamaan tetapi sudah menjadi bagian dari penghormatan dan kenangan seseorang yang mempunyai pengaruh besar di masa lalu. Dengan demikian diperlukan sebuah konstruksi tipologi wisatawan berdasarkan aktivitas yang dilakukan.

KONSTRUKSI TIPOLOGI COMMEMORATIVE TOURISM

Stone membagi dark tourism ke dalam 7 jenis produk yakni:
  1. Dark fun factories, merupakan daya tarik wisata yang dikreasikan dalam bentuk theme park, museum dan bersifat hiburan semata dan sangat tergantung pada infrastruktur pariwisata.
  2. Dark exhibition, merupakan daya tarik yang berhubungan dengan situs-situs atau museum alam yang merefleksikan edukasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan kematian, seperti contoh Catacombe di Perancis.
  3. Dark dungeons, berhubungan dengan bangunan yang diasosiasikan dengan tempat penghukuman seperti penjara dan tempat-tempat penyiksaan.
  4. Dark resting place, merupakan area pemakaman yang dijadikan sebagai daya tarik wisata.
  5. Dark shrines, merupakan tempat yang “dikeramatkan” untuk mengenang orang-orang yang telah meninggal, biasanya di lokasi kejadian atau di lokasi yang disepakati didirikan sebuah monumen peringatan, salah satunya adalah monumen untuk memperingati
  6. Dark conflict sites, adalah situs atau lokasi yang pernah menjadi arena peperangan, dan sangat history-centric, salah satu contohnya adalah lokasi killing field di Choueng-Ek, Kamboja yang menjadi ladang pembantaian ketika Khmer Merah berkuasa pada saat itu.
  7. Dark camps of genocide, berhubungan dengan kamp atau lokasi-lokasi yang pernah menjadi tempat genosida, salah satu yang terkenal adalah kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau di Polandia.

Dari kategori yang disebutkan di atas, lokasi atau situs-situs yang menjadi daya tarik wisata sebenarnya sudah lebih dikenal dengan istilah yang telah lebih dulu umum dipakai. Untuk kategori pertama lebih dikenal dengan theme park, dimana lokasinya lebih banyak berada dalam satu lokasi tempat hiburan. Sementara itu kategori kedua hingga yang terakhir merupakan situs-situs atau lokasi daya tarik wisata yang telah ada dan dikunjungi sebagai bagian dari masa lalu yang ingin tetap dikenang. Situs-situs ini lebih dulu dikenal dengan istilah heritage tourism seperti yang dikemukakan oleh Timothy dan Boyd (2003:2) tentang heritage sebagai “elements of the past that society wishes to keep”.

Situs-situs yang dikategorikan dark tourism kecuali dark fun factory merupakan elemen-elemen masa lalu atau kejadian masa lalu di dalam masyarakat yang oleh karena alasan tertentu tetap dijaga eksistensinya. Banyaknya situs-situs yang berhubungan dengan bencana dan kematian serta dikunjungi wisatawan menjadikan sistem pengklasifikasian pariwisata menjadi sedikit lebih problematik (Williams, 2009:244). Namun demikian pilihan situs-situs yang berhubungan dengan “sisi-sisi gelap” umat manusia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dari wisatawan. Pengaruh skala bencana dan akibatnya serta pengaruh media dalam meliput kejadian-kejadian tersebut nampaknya telah menarik wisatawan untuk datang berkunjung, dari sinilah nampaknya istilah dark tourism muncul dan mulai banyak digunakan kepada wisatawan yang mengunjungi situs-situs tersebut. Kunjungan-kunjungan ke tempat tersebut pada dasarnya bukanlah untuk “bersenang-senang” sebagaimana kaidah dalam kepariwisataan, tetapi sebagai bentuk dari perasaan simpati terhadap orang-orang yang meninggal terkena bencana dan keluarga yang ditinggalkan.

Sejarah kehidupan manusia yang berhubungan dengan bencana dan kematian biasanya akan terhubung kepada tempat dan lokasi tertentu dan menimbulkan keinginan orang-orang tertentu mengenang peristiwa tersebut sebagai bagian dari penghormatan, kenangan serta refleksi bagi keluarga, orang-orang terdekat serta masyarakat banyak dalam bentuk kunjungan wisata atau dalam makalah ini diistilahkan dengan commemorative travel atau commemorative tourism ketimbang mengistilahkannya dengan dark tourism, hal ini dikarenakan sifat kunjungannya lebih banyak dilakukan dalam waktu yang cukup panjang setelah kejadian sebenarnya dan pada umumnya situs-situs yang dikunjungi telah berdiri infrastruktur pariwisata dan dilakukan bersamaan dengan kegiatan rekreatif lainnya dan kenangan akan “sisi gelap” umat manusia merupakan bagian dari masa lalu tetap menjadi bagian dari daya tarik wisata dalam makna yang lebih positif apapun bentuk dari situs atau lokasi yang dikunjungi.

Commemorative tourism berdasarkan karakteristik aktvitas wisatawan dapat dibagi ke dalam 2 kategori yakni:

  1. Respective activities, merupakan aktivitas wisatawan yang bersifat mengekspresikan penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dan simpati terhadap keluarga yang ditinggalkan. Salah satu contoh aktivitas ini adalah kunjungan ke lokasi makam tokoh agama, atau orang yang ditokohkan.
  2. Reflective activities, merupakan aktivitas kunjungan wisatawan sebagai bagian dari refleksi dan perenungan terhadap kejadian di masa lalu yang mempengaruhi kehidupan di masa kini. Lokasi kunjungan dapat berupa museum, monumen, area yang menjadi lokasi konflik.
KESIMPULAN

Kematian dan bencana yang terjadi terutama dalam skala yang tertentu terutama dalam jumlah besar, kematian menyangkut orang-orang terkenal telah menyebabkan simpati dan keinginan orang untuk datang ke lokasi kejadian baik sifatnya sebagai penghormatan maupun sebagai refleksi dari kejadian masa lalu yang gelap. Melalui commemorative tourism, sebuah konstruksi motivasi wisatawan ke dalam sebuah tipologi pariwisata dimana “sisi gelap” kehidupan manusia yakni kematian dan bencana menjadi daya tarik utama dapat dimaknai secara lebih positif Beberapa tulisan telah mencoba mengkonstruksikan daya tarik wisata yang berhubungan dengan kematian dan bencana dari sisi supply ke dalam istilah dalam dark tourism, meskipun kegiatan wisata ini tidak selalu berhubungan dengan kejadian nyata yang berhubungan langsung dengan wisatawan, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi wisatawan untuk melakukan penghormatan bagi yang telah meninggal dan refleksi diri dengan melihat kejadian atau tragedi di masa lalu sebagai konsiderasi dalam menjalani hidup di masa sekarang, selain itu lokasi-lokasi pada umumnya yang dikunjungi merupakan heritage sites yang dikonservasi. Oleh sebab itu tipologi commemorative tourism nampaknya lebih mengena untuk mendefinisikan tipologi wisatawan yang tertarik dengan sisi gelap kehidupan manusia tanpa harus menjadi bagian dari peristiwa yang dialami secara langsung.

REFERENSI

Dann G. M. S. (1998) ‘The Dark Side of Tourism’ dalam Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Lennon, J. dan Foley, M. (2000) ‘Dark Tourism: The Attraction of Death and Disaster’ dalam Williams, Stephen (2009) Tourism Geography: A new Synthesis, (2nd edn.),Routledge, New York, 243, 244

McKenzie, John (2005) ‘Empires of Travel: British Guide Books and Cultural Imperialism in the 19th and 20th Centuries’ dalam Walton, John K. (2005) Histories of Tourism: Representation, Identity and Conflict, Editor, Channel View Publication, England, 19-36

Middleton, V.T.C. (1988) Marketing in Travel and Tourism dalam Astrid Dorothea Ada Maria (2000): Temporal Aspects of Theme Park Choice Behavior, Disertasi Doktor, Technische Universiteit Eindhoven,12

Page, Stephen J. dan Connel Joanne (2006) Tourism a Modern Synthesis, Thomson Learning, London, 27

Reisinger,Yvette (2009) International Tourism: Cultures and Behaviour, Elsevier Butterworth-Heinemann, USA, 15

Rojek, C. (1993) ‘Ways of Escape’ dalam Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Seaton A. V. (1996) ‘Guided by the Dark: from thanatopsis to thanatourism’, dalam Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Sharpley, Richard (2002) ‘The Consumption of Tourism’ dalam Richard Sharpley and David J. Telfer (Eds) Tourism and Development Concepts and Issues, Channel View Publication, Great Britain, 309

Sharpley, Richard (2005) ‘Travels to the edge of darkness: towards a typology of dark tourism’ In: Ryan C., Page S. and Aicken M. (eds) Taking Tourism to the Limit dalam Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Tarlow P. E. (2005) ‘Dark Tourism: The appealing ‘dark side’ of tourism and more. In: Novelli M. (ed) Niche Tourism – Contemporary Issues, Trends and Cases’ dalam Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160

Timothy, D.J. dan Boyd, S.W. (2003) ‘Heritage Tourism’ dalam Williams, Stephen (2009) Tourism Geography: A new Synthesis (2nd edn.), Routledge, New York

Williams, Stephen (2009) Tourism Geography: A new Synthesis, (2nd edn.), Routledge, New York, 236 – 238,244