Sawahlunto pada awalnya hanya merupakan sebuah wilayah hutan belantara yang menyatu dengan kawasan Bukit Barisan Sumatera Barat. Menurut hikayat masyarakat Kota Sawahlunto, penemuan batubara di kawasan ini terjadi karena secara tidak sengaja. Penemuan batubara terjadi diawali oleh misi pencarian orang Belanda yang hilang oleh arus ketika berperahu menyusuri Sungai Ombilin. Pada saat pencarian inilah kejelian orang Belanda mampu memperkirakan bahwa di wilayah ini kaya akan kandungan batubara.

Pada tahun 1867 Willem Hendrik de Greve menemukan cadangan batubara di sepanjang alur Sungai Ombilin. Dengan ditemukannya cadangan batubara maka pada tahun 1887 Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun infrastruktur guna menunjang kegiatan penambangan batubara, berupa jalur kereta api, pelabuhan laut di daerah Padang (Teluk Bayur). Pada tahun 1892 produksi pertama batubara di Ombilin Sawahlunto mulai berjalan. Karena beratnya kondisi pertambangan pada saat itu Pemerintah Kolonial Belanda mulai mendatangkan orang dari luar Sawahlunto sebagai pekerja tambang. Banyak dari mereka yang didatangkan merupakan tawanan pemerintah kolonial sehingga kondisi mereka saat bekerja berada dalam kondisi dirantai sehingga dari sinilah muncul istilah orang rantai. Kelak di kemudian hari orang-orang ini akan membentuk kultur masyarakat majemuk seperti yang ada sekarang ini dan infrastruktur peninggalan penambangan batubara pada zaman kolonial Belanda memberikan identitas tersendiri bagi Kota Sawahlunto.

CIMG0265Silo bekas tempat penyimpanan batubara di Sawahlunto

Sawahlunto terletak di bagian timur Provinsi Sumatera Barat. Sawahlunto dapat dicapai melalui jalur darat baik dengan menggunakan kendaraan umum maupun pribadi dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam. Terdapat 2 alternatif jalan darat. Alternatif pertama melalui jalur utara melewati Padang Panjang dan Batusangkar dengan waktu tempuh sedikit lebih panjang serta melalui jalur selatan melewati Solok. Sebagai sebuah kota yang berkembang dari area pertambangan pemerintahan Kolonial Belanda, Kota Sawahlunto mewarisi berbagai macam peninggalan infrastruktur pertambangan dan bangunan-bangunan yang pada saat itu berfungsi sebagai pusat administrasi dan penunjang operasional pertambangan serta tidak kalah menarik kisah-kisah yang mewarnai sejarah masyarakat pertambangan di Kota Sawahlunto.

Kota tua Sawahlunto dengan luas 779.6 hektarmemiliki beberapa sumber daya tarik wisata, sebut saja sisa lubang bekas penambangan batubara yang dikenal dengan nama Lubang Mbah Soero, Goedang Ransoem serta beberapa gedung pemerintahan peninggalan masa kolonial yang masih berdiri kokoh. Namun sayangnya interpretasi terhadap heritage ini masih sangat kurang. Sebut saja Lubang Mbah Soero. Dari nama sebenarnya cukup menimbulkan rasa ingin tahu (curiousity) yang cukup besar, hanya saja interpretasi serta dramatisasi terhadap lubang bekas penggalian batubara ini belum cukup untuk mengangkat reputasi daya tarik ini. Padahal cukup banyak kisah yang melatarbelakangi bekas tambang penggalian batubara ini yang bisa dikomodifikasi sebagai starting point perjalanan daya tarik otentik wisata tambang di Kota tua Sawahlunto.

CIMG0325Museum “Mbah Soero”

Kisah tentang kemultikulturan masyarakat Sawahlunto, kisah tentang “orang rantai” bisa menjadi nilai tambah keontetikan wisata tambang yang ditawarkan, karena sesungguhnya inilah daya tarik otentik wisata Kota tua Sawahlunto. Otentitas yang dimiliki inilah yang seharusnya dikemas dengan lebih baik ketimbang daya tarik artifisial seperti pusat-pusat rekreasi yang mudah diimitasi oleh kota-kota lain yang ada di sekitar Sawahlunto.

Selain heritage, sebenarnya terdapat beberapa daya tarik otentik dari sisi kuliner yang dimiliki oleh Kota Sawahlunto yakni minuman khas yang disebut dengan Kopi Kawa atau masyarakat setempat lebih senang menyebutnya dengan kopi daun. Satu hal yang menjadikan minuman ini menjadi khas adalah bahan dasarnya yang tidak menggunakan biji kopi melainkan diproses dengan menggunakan daun kopi. Namun sayang sekali minuman jenis ini sulit sekali ditemukan di Sawahlunto.

CIMG0309Museum Gudang Ransoem

Saat ini kunjungan ke Sawahlunto masih didominasi oleh para pelancong (excursionist) ke daya tarik wisata rekreasional seperti Taman Wisata Kandi di Kecamatan Talawi yang berjarak kurang lebih 11 kilometer dari kota tua Sawahlunto dan ke pusat rekreasi Waterboom di Muaro Kalaban yang berjarak sekitar 6 kilometer. Jika kembali pada tolok ukur konsepi kepariwisataan, yakni definisi tentang wisatawan dan lama tinggal (length of stay) Sawahlunto masih perlu banyak berbenah dalam upaya menghidupkan kota sebagai magnet utama daya tarik wisata di seluruh kawasan Kota Sawahlunto. Untuk menjadikan Kota Sawahlunto lebih lama ditinggali wisatawan terdapat beberapa alternatif yang layak dipertimbangkan. Para stakeholder kepariwisataan di Kota Sawahlunto harus mampu berkreativitas dalam menghidupkan kota tua dengan berbagai aktivitas yang bisa dilakukan oleh wisatawan ketika pertama kali menginjakan kaki di kota tua. Kreativitas yang bisa dilakukan adalah dengan menghidupkan ruas Jalan Ahmad Yani dan Imam Bonjol sebagai pusat sosialisasi atau peleburan antara masyarakat dengan wisatawan melalui aktivitas culinary, penjualan handycraft dan sejenisnya yang bisa lebih menghidupkan kota di malam hari, mengingat aktivitas ini lebih nyaman dilakukan pada sore hari hingga malam mengingat kondisi kota pada siang hari cukup terik. Selain itu dalam menghidupkan kembali romantisme kota tua, para stakeholder pariwisata dapat memanfaatkan momen perayaan hari jadi Kota Sawahlunto yang dikenal dengan Festival Makan Bajamba, dimana warga seluruh kota secara massal menikmati makan secara bersama-sama. Hal yang menjadi menarik di sini jika dikaitkan dengan peristiwa di masa lampau hanya saja dalam konteks yang berbeda, bahwa makan bersama ini sudah dilakukan oleh masyarakat Sawahlunto zaman dahulu yang notabene adalah para pekerja tambang yang pada waktu itu makanannya diolah dan didistribusi oleh apa yang dikenal masyarakat Sawahlunto hingga saat ini sebagai Goedang Ransoem.

Pemerintah setempat dapat menghidupkan kembali Goedang Ransoem setidaknya sekali dalam setahun dengan memanfaatkan Festival Makan Bajamba dengan mengolah dan mendistribusikan makanan bagi perayaan festival, meskipun peralatan yang digunakan dapat merupakan replika tetapi setidaknya para pengelola kepariwisataan di Sawahlunto dapat memberikan “roh” bagi Goedang Ransoem ketimbang hanya sebagai museum benda mati yang tidak memberi nilai tambah apa-apa. Menghidupkan kembali Goedang Ransoem juga dapat berfungsi sebagai daya tarik commerative tourism masyarakat dan wisatawan terhadap para pekerja tambang yang menjadi korban dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.

Selain itu hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah sarana akomodasi bagi wisatawan yang hendak menghabiskan waktu lebih lama di Kota Sawahlunto. Meskipun saat ini terdapat 11 penginapan dan 8 homestay, pemerintah setempat perlu memberikan perhatian lebih terutama dalam pembinaan dalam meningkatkan pelayanan dan fasilitas kamar terhadap tamu yang menginap.

Selain itu dari sisi aksesibilitas, hal yang sangat potensial dalam mendatangkan wisatawan ke Kota Sawahlunto adalah dengan memanfaatkan kereta wisata yang selama ini melayani rute Padang Panjang – Sawahlunto ketimbang menggunakan moda transportasi darat lainnya mengingat rute kereta api menawarkan pemandangan yang lebih menarik karena alur kereta api ini menyusuri tepian danau Singkarak. Selain itu pemanfaatan kereta wisata ini dapat menjaring wisatawan dari Bukittinggi sebagai daerah penghasil wisatawan, mengingat jarak antara Bukittinggi dengan Pandang Panjang relatif lebih pendek dengan waktu tempuh melalui jalan darat kurang lebih 30 menit.

REFERENSI

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (____) Sawahlunto: Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Pemerintah Kota Sawahlunto, Booklet