Seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai kebudayaan pun mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi perilaku masyarakat dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dengan arsitektur rumah atau tempat tinggal. Wangsadinata dan Djajasudarma (1995) menyebutkan perkembangan arsitektur merupakan manifestasi dari keinginan (hasrat) manusia ke arah yang lebih baik. Mereka menyebutkan:

“architecture is a product of complex process of human development in response to cultural, socio-economic and environmental factors, architectural styles and appearances appreciated by the people would be the ones satisfying most desire for countinuous betterment of the natural as well as built environment”.

Hal ini dapat dilihat dengan munculnya desain arsitektur modern pada rumah-rumah tinggal tidak saja pada kawasan perkotaan tetapi juga pada daerah-daerah sub-urban. Sebagaimana yang disebutkan bahwa arsitektur merupakan sebuah proses yang kompleks dari perkembangan umat manusia, seiring dengan berubahnya berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, ekonomi, lingkungan alam maka gaya serta penampilan arsitektur menjadi simbol meningkatnya status seseorang dari berbagai hal.

Simbol-simbol yang menandakan terjadinya perubahan-perubahan nilai-nilai dalam masyarakat ini dimanifestasikan dalam desain rumah tinggal yang khas serta unik yang membedakan dengan desain yang ada di sekitarnya. Selain itu perubahan masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris ke dalam komunitas industrial turut menyumbang perubahan gaya hidup masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai hal termasuk di dalamnya arsitektur rumah tinggal.

Dalam contoh kasus masyarakat Indonesia, perubahan nilai budaya juga memberikan dampak dalam apresiasi terhadap nilai-nilai tradisional dalam arsitektur rumah tinggal dalam masyarakat beberapa daerah di Indonesia. Beberapa contoh yang disebutkan pada awal tulisan ini memberikan gambaran bahwa terdapat peran nilai budaya dalam membentuk dan mewarnai arsitektur rumah tinggal masyarakat tradisional pada saat itu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Crystal di dalam Masyarakat Toraja (Crystal, 1987) terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan budaya yang mempengaruhi arsitektur tempat tinggal masyarakat Toraja.

Pertama, permukiman masyarakat Toraja pada awalnya sangat menyatu dengan satu atau lumbung padi. Lokasinya terpencar dalam kawasan yang luas namun berada dekat pada ladang/persawahan. Sebelum masa kolonial, beberapa masyarakat juga membuat tempat tinggal pada lereng dan puncak-puncak bukit sebagai upaya preventif dan pertahanan dalam menghindari konflik perang fisik. Lokasi ini saat ini masih dapat dijumpai pada masa sekarang ini meskipun saat ini lokasi permukiman lebih banyak berada pada lokasi yang lebih mudah diakses.

Kedua, desain atap rumah tinggal masyarakat Toraja bervariasi dari desain atap bambu yang sederhana ini hingga desain atap dari bambu dan kayu yang rumit.

Ketiga, rumah tinggal masyarakat Toraja secara geometris/mata angin berorientasi menghadap timur laut. Dalam masyarakat Toraja, Utara dan Timur mempunyai makna kosmis yang penting bagi sosial budaya masyarakat Toraja pada saat itu. Arah utara diasosiasikan dengan Sungai Sa’dan yang mempunyai nilai sakral sebagai mata air kehidupan, sedangkan arah Timur diasosiakan dengan kesuburan pertanian.

Namun seiring dengan berlalunya waktu, nilai-nilai budaya yang terdapat pada masyarakat Toraja pun mengalami perubahan. Saat ini lokasi permukiman pada masyarakat Toraja tidak lagi diasosiasikan dengan kawasan tertentu tetapi lebih kepada kawasan yang lebih mudah diakses. Selain karena pertimbangan ekonomis, masyarakat Toraja juga mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Saat ini masyarakat Toraja lebih memilih untuk pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari pekerjaan di daerah-daerah yang lebih maju seperti ke Makassar dan daerah lain di luar Pulau Sulawesi.

Desain rumah tinggal dan orientasi arah mata angin pada permukiman masyarakat Toraja pun mengalami perubahan. Atap bambu tergantikan dengan atap alumunium/seng yang tentunya lebih mudah dalam desain dan konstruksi rumah tinggal. Perubahan ini ternyata tidak terjadi pada masyarakat Toraja saja tetapi juga terjadi pada masyarakat lainnya seperti pada masyarakat Minangkabau dan Batak Toba. Oliver (2006) menyebutkan setidaknya terdapat beberapa faktor [budaya] yang mempengaruhi perubahan arsitektur tradisional antara lain:

1)    Inovasi

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat terus berinovasi seiring dengan berkembangnya budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Berkembangnya pengetahuan tentunya juga diiringi dengan perkembanganya teknologi dan bahan yang digunakan dalam merancang dan membangun tempat [rumah] tinggal. Beberapa contoh perubahan yang dapat dilihat adalah penggunaan bahan-bahan bangunan yang siap pakai (pre-fabricated) sehingga dalam beberapa kasus craftmanship tradisional pada beberapa desain rumah menjadi terabaikan.

2)    Penaklukan militer (Kolonialisme)

Pengaruh kolonialisme ini secara gamblang paling mudah dapat dilihat pada desain-desain rumah terutama pada daerah-daerah yang menjadi pusat pemerintahan kolonial. Di Indonesia sangat mudah ditemukan arsitektur bergaya Eropa pada rumah-rumah tinggal dan perkantoran. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Bangsa Eropa cukup lama berkoloni di Indonesia, sehingga banyak pengaruh arsitektur Eropa dalam desain rumah masyarakat Indonesia hingga saat ini.

3)    Proses adaptasi

Dalam kehidupan bermasyarakat dalam komunitas tertentu, satu komunitas akan berhubungan dengan komunitas lainnya. Dalam masyarakat tradisional hal ini diistilahkan saling berbagi dengan masyarakat sekitar komunitas elemen-elemen yang dianggap dapat diterima dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang arsitektur. Elemen-elemen adaptasi ini dapat bersifat praktis, simbol-simbol, maupun kedua elemen tersebut. Contoh ini dapat dilihat dari beberapa contoh elemen dalam konstruksi atap rumah yang menggunakan atap dari alumunium atau dari seng yang tentunya lebih banyak karena alasan praktis. Sedangkan contoh yang berhubungan dengan simbol-simbol dekoratif contohnya adalah ukiran-ukiran atau lukisan serta ornamen pada bagian-bagian rumah yang tidak mewakili kepercayaan atau budaya tertentu namun dijadikan sebagai bagian dari adaptasi seni kontemporer.

4)    Alasan geologis (alam)

Pada beberapa kawasan tertentu kondisi alam menyebabkan arsitektur bangunan menyesuaikan dengan kondisi alam agar mudah beradaptasi dengan perubahan kondisi alam yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Peristiwa tsunami pada tahun 2005 menyebabkan struktur dan desain pada bangunan fisik yang ada di Aceh saat ini sebagai salah satu contoh bagaimana kondisi alam dapat mempengaruhi perubahan arsitektur di kawasan ini.

5)    Pengembangan Kawasan Permukiman (Settlement)

Pada masa kekinian pengembangan kawasan permukiman dapat berupa bagian dari pengembangan dan penyediaan perumahan bagi masyarakat. Terdapat beberapa alasan mengapa “settlement” dapat menjadi faktor yang dapat merubah arsitektur tradisional. Sebagai contoh, kehancuran masif yang diakibatkan oleh tsunami menyebabkan pemerintah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat harus kembali membangun pemukiman penduduk yang hancur diterjang tsunami. Dengan skala pembangunan kembali pemukiman yang besar serta potensi bahaya gempa bumi dan tsunami tentunya arsitektur tradisional akan berubah mengikuti desain yang tentunya akan dibuat dalam mengantisipasi hal-hal yang tersebut di atas. Contoh lain adalah transmigrasi. Untuk alasan praktis arsitektur dirancang sesuai dengan kebutuhan pemukim sekadarnya. Selain itu, pengembangan pemukiman ini juga dapat memberikan warna bagi arsitektur setempat dimana biasanya pengembangan pemukiman baru membawa teknologi serta desain dan pola yang baru pula.

6)    Pressure tomodernize

Pada beberapa kawasan permukiman, masyarakat (kultur) ditekan untuk lebih maju. Contoh kasus yang menarik adalah pemukiman tradisional di Papua yang dianggap tidak cukup layak untuk kesehatan, sehingga dalam keadaan tertentu masyarakat mendapat “tekanan” untuk mendesain rumah tinggal yang lebih layak. Tekanan-tekanan seperti ini juga biasanya berhubungan dengan sanitasi dan higienitas publik. Saat ini masih banyak kawasan pemukiman di Indonesia yang masih memanfaatkan sungai serta sarana MCK komunal, sehingga hal ini juga berpengaruh pada desain rumah tinggal.

Kembali pada kultur masyarakat, sebagai contoh pada masyarakat Toraja, mengalami perubahan budaya cukup besar dalam kurun waktu 1950 hingga tahun 1980-an dan hingga saat ini terus mengalami perubahan.Pada tahun 1987 sekitar 40.000 pengunjung dari Eropa, Amerika dan Jepang telah memasuki Tana Toraja (Crystal, 1987). Hal ini tentunya membawa perubahan pada cara pandang masyarakat Toraja terhadap budaya sendiri dan juga budaya yang dibawa oleh para pengunjung. Dengan terbukanya isolasi pada masyarakat Toraja, kesakralan terhadap tempat tinggal (dwelling) baik simbol, mitos dan fungsi dari rumah tradisional Toraja pun kian meluntur pada masa-masa itu (1960an-1980an). Pada tahun 1968 sempat terjadi konflik pada masyarakat ketika pemerintah setempat mengadakan lomba desain pemukiman tanpa menyertakan konstruksi dan dekorasi tradisional (Crystal, 1987:16).

CIMG3359Arsitektur rumah tradisional di Toraja

Namun pada masa sekarang ini muncul kembali kesadaran untuk mengembalikan budaya tradisional Toraja yang tentunya dengan cara pandang yang berbeda. Pariwisata, menjadi pemicu masyarakat Toraja menilai kembali (reassessment of value) budaya tradisional mereka.Selain itu melalui aktivitas kepariwisataan, masyarakat juga mendapatkan keuntungan secara ekonomi yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan dalam melestarikan budaya [arsitektur] yang dimiliki sebagai artefak dari budaya.

Referensi:

Crystal, Eric (1987) Myth, Symbol and Function of Toraja House, TDSR, Vol.1, http://iaste.berkeley.edu/pdfs/01.1c-Fall89crystal-sml.pdf

Oliver, Paul (2006) Built to Meet Needs: Cultural Issues in Vernacular Architecture, Elsevier, Oxford

Timothy, D and Boyd, S. (2003). Heritage Tourism. Essex, Pearson Education imited.