ABSTRAK – Dalam pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, perencanaan yang berhati-hati serta manajemen yang komperhensif menjadi isu yang kritis terutama dalam kaitannya dengan dampak yang dapat ditimbulkan dari pengembangan kepariwisataan tersebut. Wisatawan yang datang ke suatu daerah membawa serta budaya dan perilaku ke dalam masyarakat lokal yang tentunya membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk meminimalisir dampak yang mungkin ditimbulkan diperlukan sebuah kerangka manajemen untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi. Satu kerangka manajemen adalah dengan menggunakan daya dukung sosial (social carrying capacity). Sebagai kerangka pengendali dampak sosial kepariwisataan, daya dukung sosial tidak sekedar sebagai ukuran maksimal dalam pemanfaatan sumber daya dan aktivitas kepariwisataan dalam melibatkan wisatawan dan masyarakat, tetapi juga dapat sebagai ukuran maksimal keterlibatan masyarakat dan wisatawan dalam sebuah aktivitas wisata di sebuah area.

Kata kunci: daya dukung sosial, dampak, sosial budaya

PENDAHULUAN

Berdasarkan data kunjungan wisatawan internasional yang dikeluarkan oleh organisasi pariwisata dunia, World Tourism Organisation (WTO) pada tahun 2012 terdapat kurang lebih 1,035 milyar kunjungan wisatawan internasional. Dari kunjungan wisatawan internasional tersebut, negara-negara di Benua Eropa dan Amerika menjadi favorit tujuan kunjungan wisatawan internasonal. Sementara itu jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik mencapai 9,435,411 wisatawan sampai dengan tahun 2014. Lima (5) besar negara penghasil wisatawan adalah, Singapura, Malaysia, Australia, China dan Jepang. Dengan kedatangan wisatawan ke suatu destinasi, tentunya memberikan akibat atau dampak di daerah tujuan wisata baik secara ekonomi, politik, sosial-budaya maupun lingkungan.

Picture1

5 Besar negara penghasil wisatawan bagi Indonesia

Dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif)”. Kedatangan wisatawan dalam jumlah yang relatif besar dan kontinyu ke sebuah destinasi tentunya memberikan pengaruh terhadap berbagai kondisi di daerah tujuan. Pengaruh yang dibawa oleh wisatawan ke suatu destinasi direpresentasikan oleh budaya yang berlaku di negara asal wisatawan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jafari: “The tourist culture refers to the country culture that tourists bring with them when visiting other countries, whether for business or for vacations. The tourist culture influences and contributes to explaining tourist behavior” (Jafari, 1987)

Budaya yang dibawa oleh wisatawan dapat berpengaruh pada perilaku masyarakat lokal dalam situasi dan kondisi tertentu. Mathieson dan Wall (1982) menyebutkan budaya sebagai elemen terkondisi dari perilaku dan produk dari perilaku itu sendiri. Setidaknya menurut Mathieson dan Wall terdapat 12 elemen budaya yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas wisata terhadap masyarakat lokal yakni:

  • Kerajinan tangan (handicrafts);
  • Bahasa (language);
  • Kebiasaan masyarakat (traditions);
  • Makanan (gastronomy);
  • Seni dan musik (art and music);
  • Sejarah daerah (history of the area/including visual reminders);
  • Jenis pekerjaan masyarakat lokal (types of work engaged in by residents);
  • Arsitektur (architecture);
  • Agama/kepercayaan (religion-including visible manifestations);
  • Sistim Pendidikan (education systems);
  • Pakaian (dress);
  • Aktivitas yang dilakukan pada waktu luang (leisure activities).

Sementara itu pengaruh yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dapat bersifat positif maupun negatif.Williams (2009) menyebutkan akibat yang bisa ditimbulkan akibat kegiatan pariwisata bagi masyarakat dan budaya dapat bersifat positif maupun negatif. Beberapa akibat yang ditimbulkan menurut Williams:

1) Dampak positif:
  • Peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap masyarakat dan budaya lokal
  • Promosi bagi reputasi kebudayaan lokal di mata atau komunitas internasional
  • Memperkenalkan nilai-nilai dan hal-hal praktis baru (melalui keterlibatan dalam praktik budaya
  • Revitalisasi kerajinan lokal, seni performa dan ritual-ritual budaya
2) Dampak negatif:
  • Penurunan nilai dan komersialisasi budaya
  • Penghilangan makna dan nilai budaya lokal melalui komodifikasi untuk konsumsi wisatawan
  • Peningkatan ketegangan antara gaya hidup dipengaruhi budaya asing dengan budaya lokal
  • Erosi dalam bahasa lokal
  • Pola baru konsumsi lokal
  • Peningkatan aktivitas-aktivitas anti sosial seperti judi, prostitusi dan kriminalitas
KONTAK SOSIAL DALAM KONTEKS KEPARIWISATAAN 

Dengan akses yang lebih mudah dan lebih cepat, dampak yang terjadi pun juga semakin cepat. Sejalan dengan dampak positif pengembangan kepariwisataan, dampak negatif juga mengiringi kehidupan masyarakat lokal Dampak negatif yang sering terjadi antara lain:

  • Demonstration effect, berupa penggunaan aksesoris oleh masyarakat yang secara sosial budaya tidak mencerminkan keaslian dari masyarakat setempat dan minuman keras;
  • Arogansi komunal, berupa pungutan biaya masuk kepada penduduk non-Serangan ;
  • Konflik dalam keluarga (perceraian)
  • Hilangnya kerukunan masyarakat setempat (konflik) akibat judi dan minuman keras;
  • Perubahan mata pencarian penduduk;

Kontak sosial yang terjadi di antara masyarakat baik antara wisatawan dengan masyarakat lokal, masyarakat dengan masyarakat maupun antara wisatawan dengan wisatawan setidaknya dapat merubah kondisi sosial masyarakat di kawasan di sebuah destinasi. Kontak sosial mempunyai arti sebuah kumpulan berbagai pengalaman (Cook dan Sellitz, 1955) atau juga merupakan pertemuan sehari-hari dengan orang lain (Murphy, 2000) dan setiap kontak sosial yang terjadi bisa bersifat positif, negatif atau superfisial (Fridgen, 1991).

Kontak sosial antara “host” dan “guest” juga memberikan benturan (clash) terhadap nilai-nilai yang berlaku di tempat terjadinya kontak tersebut. Masyarakat Serangan yang dulunya cenderung tidak mengenal minuman keras nampaknya sekarang lebih permisif terhadap hal-hal tersebut. Selain itu dengan terbukanya akses ke kawasan Serangan Bali akibat reklamasi menyebabkan frekuensi dan intensitas kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal, pendatang dengan masyarakat lokal menjadi lebih tinggi dan intens yang berujung pada perubahan perilaku pergaulan masyarakat. Dengan demikian diperlukan sebuah kerangka (framework) dalam mengendalikan dampak sosial kepariwistaan di suatu tempat.

PENGENDALIAN DAMPAK SOSIAL KEPARIWISATAAN

Daya dukung (carrying capacity) sering dipandang sebagai alat pengelolaan (management tool) untuk melindungi situs dan sumber daya dari pemanfaatan yang berlebihan. Hall dan Page (2006:183) menyebutkan daya dukung sosial sebagai: “the ability of individuals and groups to tolerate others, their activities and the level of acceptability”. Daya dukung sosial pertama kali dicetuskan Pigram and Jenkins sebagai: ‘the maximum level of recreational use, in terms of numbers and activities, above which there is a decline in the quality of the recreation experience, from the point of view of the recreation participant’ (1999:93).

Sebagai kerangka pengendali dampak sosial kepariwisataan daya dukung sosial yang kemukakan dalam tulisan ini tidak sekedar sebagai ukuran maksimal dalam pemanfaatan sumber daya dan aktivitas kepariwisataan dalam melibatkan wisatawan dan masyarakat, tetapi sebagai ukuran maksimal keterlibatan masyarakat dan wisatawan dalam sebuah aktivitas wisata di sebuah area.

Daya dukung sosial ini dapat dijadikan sebagai kerangka dalam membatasi kontak sosial antara wisatawan dengan masyarakat, serta masyarakat dengan masyarakat dalam aktivitas kepariwisataan tentunya dengan mengacu kepada aturan dan norma yang berlaku dan tetap menjadikan pariwisata sebagai aktivitas yang inklusif. Kerangka daya dukung sosial ini sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pengembangan kepariwisataaan di suatu tempat. Kerangka daya dukung ini dapat disusun dalam kerangka pelibatan masyarakat dalam kepariwisataan (community-based tourism). Kerangka daya dukung ini dapat berupa:

  • Zonasi dalam jenis usaha pariwisata di suatu daerah terutama yang berhubungan usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat lokal.
  • Aturan baku dalam pelibatan masyarakat dalam aktivitas pariwisata seperti upacara keagamaan, adat pentas seni budaya. Aturan ini juga berfungsi sebagai aturan preventif dalam menghindari komodifikasi dan komersialisasi budaya.
  • Batasan umur pekerja yang terlibat dalam usaha-usaha pariwisata
  • Pengembangan area khusus rekreasi bagi masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan kepariwisataan. Kerap kali pembangunan infrastruktur pariwisata di suatu daerah menimbulkan konflik dengan warga sekitar akibat kenyamanan warga yang berkurang seiring dengan bertambahnya berbagai aktivitas di area, sementara masyarakat tidak dapat menikmati fasilitas tersebut.
  • Pembinaan yang kontinyu dan konsisten terhadap masyarakat lokal tentang konsekuensi hadirnya kepariwisataan di suatu daerah dan hal-hal apa bisa dilakukan masyarakat.

Selain itu dalam meminimalisir dampak sosial terdapat beberapa konsideran dalam menentukan ukuran-ukuran daya dukung sosial antara lain:

  • Stabilitas politik dan keamanan setempat;
  • Kontrol terhadap laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi;
  • Perlindungan terhadap cara hidup masyarakat lokal (preservation the way of life);
  • Pembinaan dan pemberian pemahaman terhadap perbedaan budaya dan dampak yang mungkin ditimbulkan;
  • Lapangan pekerjaan yang cukup bagi masyarakat lokal;

Dalam masa yang panjang, peran pemerintah, pemimpin masyarakat lokal dalam menciptakan kondisi yang lebih kondusif terutama kaitannya dengan aktivitas kepariwisataan sangat besar dalam mengimbangi masuknya pengaruh-pengaruh yang dibawa oleh wisatawan.

KESIMPULAN

Aktivitas pariwisata di suatu daerah tentunya dapat menimbulkan dampak, baik itu secara ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya. Isu yang muncul dalam perkembangan kepariwisataan terutama dalam konteks pencegahan dampak dari aktivitas wisata adalah dari sisi wisatawan itu sendiri yang dikenal dengan istilah “responsible traveller”, mengingat wisatawan adalah sebagai pembawa (carrier) pengaruh budaya dari luar dari sisi “guest”. Namun dari sisi masyarakat (host) salah satu yang bisa digunakan dalam meminimalisir dampak adalah dengan menggunakan batasan-batasan toleransi penerimaan dan aktivitas masyarakat yang terlibat dalam kegiatan kepariwisataan atau dengan menggunakan pendekatan daya dukung sosial. Daya dukung sosial ini bermanfaat dalam memberikan batasan-batasan tertentu dalam setiap kegiatan kepariwisataan yang melibatkan masyarakat dan wisatawan. Peran dari pemerintah lokal, tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri sangat besar dalam memberikan pemahaman-pemahaman terhadap pengaruh budaya asing yang masuk yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat setempat.

REFERENSI

Cook, S. W. and Sellitz, C. (1955) Some factors which influence the attitudinal outcomes of personal contactdalam Reisinger, Yvette dan Turner, Lindsay W. (200) Cross-Cultural Behaviour in Tourism: Concepts and Analysis, Butterworth-Heinemann, USA

Hall, C.M. dan Page, S.J.(2006) The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space, 3rd Edn. Routledge, New York

Jafari, J. (1987) Tourism Models: The Socio-cultural Aspects dalam Reisinger,Yvette (2009) International Tourism: Cultures and Behaviour, Elsevier Butterworth-Heinemann, Massachussets, 104

Mathieson, A. dan Wall, G. (1982) Tourism: Economic, Physical and Social Impacts dalam Hall, C.M. dan Page, S.J.(2006) The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space, 3rd Edn. Routledge, New York

Pigram, J.J. and Jenkins, J. (1999) Outdoor Recreation Management dalam Hall, C.M. dan Page, S.J.(2006) The Geography of Tourism and Recreation: Environment, Place and Space, 3rd Edn. Routledge, New York

Subadra, N.I. (2007) Bali Tourism Watch: Dampak Pariwisata terhadap KehidupanMasyarakat Desa Serangan,http://subadra.wordpress.com/2007/03/10/dampak-pariwisata-terhadap-masyarakat-bali, diakses 25 Februari 2011

Williams, Stephen (2009) Tourism Geography: A New Synthesis, 2Edn., Routledge, New York