Pesatnya seni pertujukan modern saat ini ternyata tidak dibarengi oleh seni pertunjukan tradisional daerah. Demi selera konsumen pakem kesenian rela untuk diabaikan, yang kemudian merubah apa yang menjadi dasar-dasar kesenian itu sendiri. Hal itu pula yang mendasari saya untuk sejenak mengajak pembaca untuk melihat sekilas mengenai nasib dari salah satu dari kesenian wayang yakni Ludruk.

Berawal dari fenomena seni pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur yang mencakup kabupaten Jember dan Lumajang yang mengalami proses stagnasi yang cukup serius. Stagnasi tersebut ditunjukkan dengan belum adanya strategi pengembangan yang signifikan untuk eksis dan dinamisnya pertunjukan ludruk sebagai bagian seni tradisi yang merefleksikan dinamika lokalitas. Sebagai refleksi dinamika lokalitas, seni pertunjukan ludruk menjadi menarik dicermati sebagai upaya untuk memahami karakteristik dinamika lokalitas itu. Karakteristik itu pula yang menjadi kekuatan pertunjukan ludruk dalam suatu daerah, membedakan dengan pertunjukan ludruk di daerah yang lain. Pertunjukan ludruk di daerah Jember dan Lumajang mampu menunjukkan perbedaan itu dengan pertunjukkan ludruk di daerah Malang atau di daerah dalam komunitas arek yang lain mencakup Jombang, Mojokerto, dan Surabaya misalnya. Strategi pengembangan pertunjukan ludruk dalam konteks demikian, dapat dimulai dari titik tolak yang didasarkan atas karakteristik yang dimiliki tersebut. Karakteristik itu pula menjadi kekuatan untuk eksis dalam kompetisi yang begitu kuat dengan bentuk pertunjukan-pertunjukan lain, yang lebih bersifat pop, misalnya sinetron dan film misalnya. Pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur dengan demikian menjadi sesuatu yang unik dan dapat dikomodifikasikan, tanpa mengurangi substansi dari pertunjukan ludruk itu sendiri. Sudikan (2002:6) mengemukakan bahwa tuntutan zaman menghendaki seni pertunjukkan ludruk selalu mengalami perubahan (transformasi) baik dalam struktur pementasan, cerita yang dibawakan, akting, iringan musik, pencahayaan dan lain-lain.

Tuntutan zaman ini sekaligus menjadi tuntutan pasar agar seni tradisi pertunjukan ludruk tersebut dapat dikomodifikasikan dengan baik. Komodifikasi itu sendiri menjadi langkah yang strategis untuk menjaga eksistensi dan kelangsungan pertunjukan ludruk tidak hanya dinikmati oleh anggota kolektifnya. Lebih jauh, pertunjukan ludruk itu dapat dinikmati dan diminati oleh banyak orang diluar anggota kolektifnya. Artinya, bahwa pertunjukan ludruk itu tidak dapat menghindari pasar dan oleh karena itu harus masuk dalam hukum pasar. Komodifikasi dalam hal ini adalah salah satu strategi untuk masuk pada wilayah pasar itu. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik—termasuk dalam hal ini seni tradisi ludruk–berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait (Kembudpar,2005:1).

Salah satu bentuk komodifikasi dan komersialisasi yang dapat dilakukan adalah membangun strategi pengembangan ludruk menjadi salah satu kekuatan wisata budaya berbasis seni tradisi. Pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur memiliki kekuatan itu. Pertama, pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur tergolong memiliki karakteristik sendiri dan karenanya menjadi sesuatu yang unik. Keunikan itu dapat dilihat dari aktor/aktrisnya, bahasa yang digunakan, berikut masyarakat pendukungnya. Kedua, Daerah Jember dan Lumajang termasuk perlintasan wisata Yogya, Malang, Surabaya, dan Bali; sehingga dalam konteks wisata budaya, Jember dan Lumajang dapat menjadi destinasi transit (Poerwanto,dkk, 2009:6).

Pengembangan wisata budaya berbasis seni tradisi dalam konteks demikian memiliki posisi tawar tersendiri dibanding dengan pilihan-pilihan wisata yang lain, misalnya yang berbasis kewilayahan. Bahkan, lebih strategis jika pengembangan wisata budaya berbasis seni tradisi tersebut mampu diintegrasikan dengan pengembangan wisata yang berbasis kewilayahan. Peningkatan posisi tawar dan daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang lebih menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi.

Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni tradisi memiliki kekuatan untuk “mendidik” para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi (Kembudpar, 2005:4-5). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penting untuk dikembangkan sebuah strategi wisata budaya berbasis seni tradisi. Pertunjukan ludruk sebagai bagian dari seni tradisi dapat menjadi kekuatan (baca: tawaran) tersendiri khususnya di daerah Jawa Timur bagian timur, khususnya Jember dan Lumajang.

fenomena ludruk Jawa Timur ini menunjukkan sesuatu yang patut untuk dicermati secara akademis. Pertama, karakteristik pertunjukkan ludruk di daerah Jawa Timur bagian Timur memiliki cirri khas tersendiri yang membedakan dengan karakterisk ludruk yang berkembang di daerah kulonan misalnya di daerah yang tercakup dalam komunitas arek (Jombang, Surabaya, dan Mojokerto), dan ludruk daerah Malang. Karakteristik yang membedakan itu ditunjukkan dengan pemeranan oleh aktor/aktris, bahasa, dan lakon. Adapun terkait dengan manajemen grup ludruk dan karakteristik masyarakat pendukung masih tidak jauh berbeda dengan yang berkembang di daerah kulonan; yakni, sama-sama masih bersifat tradisional. Kedua, sehubungan dengan adaptasi menghadapi pasar pertunjukan, ludruk Jawa Timur di bagian timur, khususnya di daerah Jember masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bila dilihat dari pemanfaatan teknologi multimedia. Di sisi lain, proses adaptasi terhadap pasar itu lebih dikembangkan dengan penyesuaian selera seni yang berkembang di masyarakat, misalnya memasukkan seni campursari, karaokean, dan kendang kempul/banyuwangian. Ketiga, belum terdapat proses kabijakan pemerintah lokal yang secara khusus dapat mendukung pengembangan seni tradisi ludruk; baik itu terwujud dalam pengembangan manajemen, aspek permodalan, maupun pada aspek wisata budaya, kalau pun itu ada belum dapat dikatakan signifikan

Ludrukhttps://brangwetan.wordpress.com/2015/08/07/wayang-topeng-malang-dan-ludruk-di-tbjt/

Karakteristik pertunjukan ludruk Jawa Timur bagian timur mencakup; karakteristik manajemen grup, aktor dan aktris, lakon, bahasa, dan masyarakat pendukung sebagai pewaris pasif seni tradisi pertunjukan ludruk.

Pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata budaya berbasis seni tradisi menjadi peluang yang besar bagi daerah Jawa Timur bagian timur, khususnya daerah Jember. Peluang itu tidak hanya menyangkut sisi strategis keberlangsungan grup ludruk itu sendiri; akan tetapi, juga menyangkut peluang strategis di tingkat sosial-ekonomi. Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan itu secara aplikatif di tingkat lapangan. Peluang strategis di tingkat sosial-ekonomi itu tidak hanya menguntungkan bagi grup ludruk itu sendiri. Lebih jauh, peluang startegis di tingkat sosial-ekonomi itu juga fungsional bagi pemerintah itu sendiri dan masyarakat lokal. Bila dapat dioptimalkan bukan tidak mungkin kontribusi sosial akan memberikan keuntungan bagi dinamika dan interaksi sosial yang integratif bagi komunitas lokal. Hal tersebut jelas dibutuh oleh pemerintah daerah dalam rangka proses gencarnya pembangunan yang telah diberlangsungkan. Dilihat dari sisi ekonomi, pengembangan ludruk sebagai wisata budaya memberikan peluang besar terhadap konstribusi ekonomi bagi pemerintah. Bukan tidak mungkin akan terjadi peningkatan PAD (pendapatan Asli Daerah) bertolak dari terbuka peluang wisata budaya berbasis seni tradisi ludruk tersebut, belum lagi pertumbuhan ekonomi pada masyarakat lokal, menyangkut hotel-hotel dan PKL-PKL bagi masyarakat kecil. Apalagi misalnya, diakui Bapak Arief Tjahjono bahwa Jember bukan merupakan kota tujuan utama pariwisata, hal ini tidak membuat kami untuk tidak mengembangkan pariwisata, karena pariwisata terbukti sebagai sektor yang paling tahan terhadap krisis di dunia. Hal itu yang menjadikan alasan untuk kita mengolah Jember sebagai kota yang patut dilirik dan patut dikunjungi baik itu wisatawan domestik ataupun mancanegara. Jember sebagai kota perlintasan wisatawan melalui jalan darat, wisatawan dari arah Jogja yang mau menuju Bali melewati Surabaya, kemudian Bromo, dari Bromo lalu kita arahkan ke Jember. Di sisi lain, BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember) misalnya dipandang sebagai upaya mengenalkan Jember untuk dikenal dan menarik para wisatawan domestik maupun asing belum mampu secara optimal memerkenalkan seluruh potensi budaya yang dimiliki. Di akui atau tidak, eksistensi BBJ masih bergantung pada JFC (Jember Fashion Carnival), yang hal itu bila ditilik lebih dalam tidak mengangkat tema-tema lokal. Fenomena itulah dapat disebut keterpelantingan budaya. Seperti yang dikemukakan Pak Arief Tjahjono di bawah ini. Kebetulan kurang lebih sekitar 5 tahun yang lalu ada seseorang bernama faris ingin memperkenalkan jember dengan JFC, maka kita membuat BBJ (bulan berkunjung jember) agar orang tau jember. Terbukti sebelum ada BBJ jumlah pengunjung 250.000; per tahun, sedangkan setelah diadakan JFC pada tahun 2007 jumlah pengunjung sekitar 600.000; per tahun. Wawancara dengan Bapak Arief Tjahjono pada tanggal 3 September 2012. Wawancara dengan Bapak Arief Tjahjono pada tanggal 3 Septrember 2012. BBJ idealnya menjadi pintu masuk dan wahana potensi ekspresi budaya lokal dalam pengertiannya yang lebih luas. Faktanya, belum ada kelompok seni tradisi khususnya seni tradisi ludruk. Pelaku seni tradisi ludruk “Setia Kawan”, ludruk “Merdeka” Kencong, ludruk “Topeng Masa Baru”, dan “Sumber Lancar” Pakusari Jember, tidak ada yang dilibatkan dalam agenda tahunan pemerintah daerah tersebut. Hal itu merupakan sesuatu yang ironis karena membuktikan tidak ada pola dan sinergitas kebijakan yang dicanangkan dengan potensi budaya lokal sebagai penopang utama kebudayaan lokal itu sendiri. Hal tersebut dikemukakan Mak Lilik, Pak Agus, Pak Edi, dan Pak Sukamat. Mereka turut menyesalkan mengapa itu terjadi; bahkan Pak Edi dengan nada sinis memertanyakan, apa itu BBJ? Fenomena tersebut segera perlu dilakukan perubahan kalau tidak ingin terjadi disparitas antara kebijakan pemerintah daerah dengan potensi budaya lokal yang ada. 23 Dalam catatan peneliti, grup-grup ludruk di Jember belum dilibatkan dalam konteks pengembangan wisata budaya di tingkat lokal; kecuali, ludruk “Topeng Masa Baru” yang menurut Pak Edi pernah diundang tanggapan dalam rangka pembukaan wisata Bedadung Jember.

pengembangan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur, yang mencakup karakteristik ludruk, strategi adaptasi, dan strategi pengembangan menunjukkan sisi penting untuk mengungkap fenomena keunikan ludruk di daerah Jawa Timur bagiantimur (wetanan). Fenomena keunikan yang dimiliki ludruk wetanan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, karakteristik pertunjukan ludruk wetanan yang ditunjukkan dengan kekhasan aktor/aktris, di mana seorang aktor/aktris harus sesuai dengan tokoh yang diperankan sesuai dengan jenis kelamin. Di daerah wetanan tidak dikenal pemain laki-laki (waria) memerankan tokoh perempuan. Karakteristik yang lain yaitu bahasa, bahasa yang digunakan yakni bahasa Madura dan Jawa, sesuai dengan penanggap (lingkungan masyarakat) dan lakon yang ditampilkan. Karateristik berikutnya, yaitu masyarakat pendukung yang terdiri atas etnik Madura dan Jawa. Kedua, adanya strategi adaptasi yang dilakukan grup ludruk wetanan dengan cara memberikan layanan tambahan berupa campursarian, Banyuwangian (kendang kempul), karaoken, dan adegan roman-romanan. Ketiga, stretegi pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata budaya berbasis seni tradisi dipandang membuka peluang untuk memberikan kontribusi sosial-ekonomi pada pemerintah dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan ke arah hal tersebut perlu didorong secara maksimal.

Sumber:

  • Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial: Kajian Kritis terhadap Kehidupan, peran, dan Fungsi Ludruk sebagai Media Komunikasi. Surabaya: Airlangga University Press
  • Luxemburg,J.V.,dkk.1989. Pengantar Ilmu sastra. Jakarta: Gramedia Maryeni.2002.Bahasa Jawa Dalam Ludruk jawa Timur. Yogyakarta: UGM (disertasi)
  • Poerwanto,Mastika I Ketut, Sirajudin.2009.Model Pengembangan Pariwisata Kawasan Jember Selatan sebagai Basis Pemberdayaan sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Di Kabupaten J
  • Ahmadi, Muhsin dkk,.1984.Penelitian Aspek Kesusastraan Dalam Seni Ludruk Jawa Timur.Surabaya:Depdikbud Jatim Kembudpar.2005. Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya. http://www.budpar.go.id. Diakses 15 Maret 2011
  • ember. Jember: LEMLIT Universitas Jember
  • 2002. Inovasi Seni Tradisi Ludruk Jawa Timur (makalah). Surabaya: Fak. Sastra Universitas Airlangga