Bangunan unik di Jalan Kebonjati itu masih tampak sama seperti sekitar 10 tahun lalu, saat saya pertama kali mengetahui bahwa bangunan itu masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya di Kota Bandung. Fitur khasnya, seperti ornamen dua buah “puncak” pada atap bagian muka, sebuah menara di salah satu sudut bangunan, kaca patri berwarna-warni pada jendelanya, serta cat bangunan yang selalu berwarna putih, tidak pernah berubah dari masa ke masa. Ya, sebagai salah satu warisan unik, Hotel Surabaya (sekarang Hotel Carcadinne) berusaha untuk mempertahankan fisiknya, walau kini usianya sudah lebih dari 1 abad.

1Gambar 1 Hotel Surabaya dalam bentuk asli sebelum renovasi tahun 2012 (foto: Google)

Rasanya, seiring berjalannya waktu, bangunan ini semakin populer di kalangan warga Bandung, terutama bagi peminat atau mereka yang peduli dengan bangunan-bangunan pusaka (heritage). Kepopulerannya bahkan telah menembus batas internasional, terbukti dengan dicantumkannya nama dan data hotel ini dalam beberapa buku panduan wisata. Bahkan bagi mereka yang belum tahu sekalipun, ketika melewati Jalan Kebonjati, di sebelah selatan Stasiun Pusat Kereta Api Bandung, akan tercuri perhatiannya saat melihat tampilan bangunan hotel yang tua dan antik ini.

Sayangnya, budaya lisan yang umum dalam masyarakat kita jaman dulu tidak meninggalkan banyak catatan tentang sejarah Hotel Surabaya ini. Bahkan ketika penulis menanyakan tentang hal itu kepada staf receptionist pun tidak menghasilkan banyak data.

Namun dari berbagai sumber yang dikumpulkan, diketahui bahwa Hotel Surabaya didirikan bertepatan dengan masuknya jalur kereta api dari Batavia (Jakarta) ke Bandung pada tahun 1884. Dengan masuknya rel kereta api, Bandung yang sebelumnya masih berupa desa kecil di Dataran Tinggi Parahyangan, mulai terbuka bagi “dunia” luar. Seiring dengan semakin terbukanya daerah ini terhadap para pendatang, terutama para pengunjung dari Batavia, maka kebutuhan akan kamar penginapan di Bandung saat itu pun semakin meningkat.

Konon hotel ini dimiliki oleh seorang saudagar keturunan China yang kaya raya di Bandung saat itu. Di sebuah foto hitam putih yang terpampang di papan dekat meja receptionist pun tergambar satu keluarga keturunan China, terdiri dari sepasang suami isteri dan 3 orang anak (2 perempuan dan 1 laki-laki). Keluarga inilah yang diyakini sebagai pemilik hotel ini. Selain foto tersebut, dipajang pula beberapa foto lain yang menggambarkan pemilik hotel dengan para tamunya, kebanyakan orang-orang kulit putih.

Belum diketahui mengapa hotel ini diberi nama Surabaya, padahal jelas-jelas letaknya di Kota Bandung. Satu versi menyebutkan bahwa pemilik hotel ini berasal dari Surabaya yang membuka usaha penginapan di Bandung. Sedangkan versi lain menyebutkan hubungannya dengan kelanjutan pembangunan rel dari Bandung ke Surabaya, dan bahwa Bandung menjadi kota transit penting bagi pelaku perjalanan dari Batavia ke Surabaya saat itu.

Letak Hotel Surabaya yang masih berada dalam kawasan Pecinan Bandung itu ikut memperkuat pernyataan bahwa hotel ini dimiliki oleh keluarga keturunan China tersebut. Bicara tentang kawasan Pecinan di Bandung sendiri, kawasan ini terbentang antara Jalan ABC di utara Alun-alun ke arah barat hingga Jalan Kelenteng, dan antara Jalan Sudirman di selatan hingga Jalan Kebonjati di sebelah utara. Kawasan Pecinan di Bandung pertama kali berkembang pada akhir abad ke-19, ketika para kaum China peranakan berdatangan dari kota-kota lain di pantai utara Pulau Jawa, umumnya bekerja bagi tuan tanah orang-orang Eropa. Baru pada awal abad ke-20, seiring dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, berdatanganlah para imigran dari China daratan untuk mengadu nasib di tanah yang baru, umumnya dengan berdagang.

Walau dimiliki oleh keluarga keturunan China dan berada dalam kawasan Pecinan, arsitektur Hotel Surabaya sama sekali tidak mengesankan gaya China. Malah, bangunan ini sangat bernuansa Barat / Eropa. Beberapa sumber menyebutkan gaya arsitekturnya adalah Neo-Klasik, yaitu gaya arsitektur tua Eropa yang diterapkan pada bangunan-bangunan abad ke-16 hingga awal abad 20, kebanyakan di tanah jajahannya. Ornamen dua “puncak” pada bagian muka mengingatkan akan bagian serupa pada bangunan-bangunan di Amsterdam, Belanda, sedangkan menara pada salah satu sudut mirip dengan menara khas bangunan-bangunan dari jaman Victoria, yang berkembang menjelang akhir abad ke-19 di Inggris. Sedangkan warna cat yang selalu putih mengikuti ciri khas warna yang digemari kaum kulit putih di Hindia Belanda dulu, yang diterapkan pada bangunan dan pakaian mereka. Bahkan hingga saat ini, pembagian jenis kamar pun masih menggunakan nama-nama berbau Barat, seperti Shangrila, Octagon, dan Henriette.

Bentuk jendela dan pintu di Hotel Surabaya ini sangat khas bangunan-bangunan warisan jaman kolonial, dengan daun pintu yang tinggi serta jendela yang lebar. Bingkai-bingkainya terbuat dari kayu dan dicat putih serta kaca patri berwarna-warni. Walau sempat mengalami renovasi tahun 1991, tidak banyak bagian bangunan yang dirubah, baik tampak luar maupun bagian interiornya.

Hotel Surabaya, yang terdiri dari 2 lantai ini, memiliki 60 ruang kamar tamu. Walau fasilitas dan perawatan ruang-ruang tersebut terkesan sangat mendasar, namun furniture yang dipergunakan umumnya merupakan warisan dari jaman baheula. Kursi dan mejanya kebanyakan terbuat dari kayu jati, begitu juga dengan anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai atas. Bahan kayu jati juga digunakan sebagai bahan lantai tingkat 2. Sedangkan lampunya masih ada yang berupa lampu hias dari masa-masa lalu.

Sayang sekali, walau terdaftar sebagai salah satu Benda Cagar Budaya di Kota Bandung, perawatan bangunan ini tampaknya belum maksimal. Begitu juga dengan desain interiornya. Padahal, dengan gaya arsitekturnya yang unik dan sejarahnya, serta keaslian banyak elemen bangunan dan fasilitas di dalamnya, hotel melati ini akan jauh lebih menarik untuk dikunjungi baik sebagai hotel maupun atraksi wisata.

2Gambar 2 Hotel Surabaya setelah renovasi tahun 2012 dan tetap meninggalkan aristektur aslinya di bagian muka (foto: Google)

Bagi Anda penggemar bangunan-bangunan pusaka (heritage), apakah itu bangunan tua yang unik atau bersejarah, tampaknya kunjungan ke Hotel Surabaya di Bandung tidak boleh dilewatkan begitu saja. Atau Anda ingin mencari pengalaman unik dengan tinggal di hotel ini? Silakan menghubungi Hotel Surabaya (sekarang Hotel Carcadinne) di Jl. Kebonjati No. 71 – 73 Bandung 40181. Selamat mengeksplorasi!

Catatan : Artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah Bandung and Beyond edisi 2006. Sekarang Hotel Surabaya bernama Hotel Carcadinne.