Meredupnya Warisan Indo-Eropa di Bandung
Salah satu keunikan yang pernah dimiliki Kota Bandung adalah besarnya jumlah arsitektur bergaya Indo-Eropa yang dibangun selama masa kolonial. Kondisi tersebut membuat Bandung sempat menyandang predikat The Most European City in The East Indies dan laboratorium Arsitektur di Indonesia hingga 1970-an.
Gaya Indo-Eropa pada dasarnya adalah gaya arsitektur Eropa yang dikombinasikan dengan gaya lokal. Gaya tersebut muncul sebagai bentuk adaptasi terhadap iklim tropis basah di Indonesia. Menjelang akhir abad ke-19 hingga 1930-an, gaya ini banyak diminati di Bandung.
Arsitektur Indo-Eropa mengawali sejarahnya di Bandung ketika Gedong Pakuan (kini kediaman resmi gubernur Jawa Barat)dibangun pada 1864 sebagai kediaman Residen Priangan saat itu, Van der Moore. Bangunan ini dirancang oleh V. Berger dalam gaya Indische Empijre Stijl, dengan ciri khasnya berupa pilar-pilar kokoh.
Gaya tersebut digemari oleh para pejabat kolonial. Beberapa warisan bangunan Indische Empijre lainnya adalah kantor Polwiltabes/bekas sekolah guru di Jl. Merdeka, bekas bangunan Osvia/Mosvia di Tegallega, bekas Hotel Donk di Jl. Wastukencana, dan bangunan lama Grand Hotel Preanger di Jl. Asia Afrika.
Gambar 1 Bangunan lama Grand Hotel Preanger dalam gaya Art Deco Geometris (foto: TAP)
Menyusul keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung pada tahun 1917, pembangunan arsitektur Indo-Eropa di Bandungmemuncak. Sekitar 70 arsitek dari Eropa berkarya, merancang bangunan-bangunan bercitarasa tinggi. Sebagian besar bangunan yang mereka rancang berdiri di sebelah utara De Groote Postweg (Jl. Asia Afrika) atau kawasan utara Bandung.
Selama jaman keemasan Bandung (1920-an hingga awal 1940-an, salah satu gaya arsitektur Indo-Eropa yang sedang berkembang di dunia dan banyak diterapkan di Bandung adalah Art Deco. Karya ini lahir sebagai ekspresi kegalauan yang dirasakan industri dan masyarakat dunia antara Perang Dunia I dan II.
Sebutan itu muncul dari Exposition Internasionale des Arts Decoratifs Industriels et Moderne – suatu pameran yang diselenggarakan di Paris pada 1925. Pameran tersebut digelar untuk merayakan kehidupan dalam dunia ‘modern’.
Art Deco merupakan ‘modernisasi’ dari banyak tema dan gaya seni aristektur masa lalu, seperti desain Timur Jauh, Yunani dan Romawi Kuno, Indian Maya, dan Mesir Kuno. Gaya khasnya ditandai dengan bentuk-bentuk yang lembut, geometris, dramatis, kubik dan zigzag, serta banyak menggunakan bahan beton, baja, dan kaca.
Khazanah tersebut menempatkan Bandung sebagai salah satu kota di dunia yang menjadi pewaris arsitektur Art Deco terbanyak, seperti Miami, Florida, dan Napier, Selandia Baru. ke-khasan gaya Art Deco masih dapat dinikmati pada bangunan Hotel Savoy Homann Bidakara (1880, 1939), Grand Hotel Preanger (1889, 1928), Gedung Merdeka (1895, 1921), Gedung Sate (1920), Rektorat UPI/Vila Isola (1932), dan jajaran bangunan pertokoan lama di Jl. Braga.
Gambar 2 Gedung Sate, bangunan Art Deco yang menjadi salah satu ikon Kota Bandung (foto: TAP)
Menurut tahun berdirinya, gaya Indo-Eropa di Bandung dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu Neo-Classic/Art Deco Ornamental, Modern Functional/Art Deco Geometric, Modern Tropical Indonesia, dan Modern International/Art Deco Streamline.
Lemahnya law enforcement pemerintah, terutama menyangkut penerapan UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah arsitektur lama di Bandung. Dalam peraturan itu dinyatakan bahwa benda cagar budaya didefinisikan sebagai benda buatan manusia berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun. Bangunan itu juga dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Akibat lemahnay penegakan hukum, pemugaran sebagian atau seluruh bangunan tanpa memperhatikan desain asli, banyak terjadi. Yang lebih memprihatinkan lagi, cukup banyak bangunan yang (sengaja) dibiarkan tidak terawat dan akhirnya dirobohkan untuk diganti dengan bangunan baru yang bersifat komersial.
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam harian Republika Jabar pada bulan Juli 2003. Semua fakta di atas masih relevan dengan kondisi saat ini.