Potensi ‘Walking Tour’ di Bandung
WALKING tour di Bandung akan menelusuri kawasan dan bangunan bersejarah yang terkonsentrasi di kawasan inti Bandung. Ada tiga contoh potensi walking tour, yaitu Tur Bandung Awal, Tur Kota Taman, dan Tur Zaman Keemasan.
Tur pertama adalah Tur Bandung Awal (Early Bandung Tour) yang akan menelusuri tempat-tempat bersejarah di pusat kota, tempat Bandung untuk pertama kalinya didirikan. Fitur utama tur ini mencakup kawasan dan arsitektur lama dari abad ke-19, dengan nilai superlatif (”paling”, contoh paling pertama, paling eksotik, dan sebagainya).
Point of interest tur ini dimulai di kilometer 0 (yang ditentukan oleh Deandels pada 1810). Jalan Asia Afrika (1810; jalan paling pertama di Bandung, sebagai bagian dari De Groote Postweg yang terbentang antara Anyer dan Pana-rukan), Grand Hotel Preanger (1889; berpredikat hotel paling eksotik yang dibangun pada masa kolonial), Hotel Savoy Homann (1880; hotel paling pertama), dan Gedung Merdeka dengan Museum Asia Afrika (1895; tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika).
Selanjutnya menuju Alun-alun (1810; taman pertama di Bandung), Masjid Agung (1812; masjid pertama), Rumah Pendopo (1810; awalnya sebagai kantor The Founding Father of Bandung, Bupati Wiranatakusumah II), Makam Para Bupati dan Dewi Sartika, kawasan Pasar Baru (1906; pasar ‘modern’ pertama untuk zamannya, dikenal juga sebagai Chinatown-nya Bandung), Hotel Surabaya (1884; hotel unik yang dibangun bersamaan dengan kedatangan jalur kereta api dari Batavia), Gedung Selatan Stasiun Kereta Api (1884; stasiun pertama), Gedung Pakuan (1864; awalnya kediaman resmi Bupati Priangan, Van der Moore), dan diakhiri di Taman dan Gedung Balai Kota (1864; bangunan pemerintahan pertama ketika ibukota Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung).
Tur kedua adalah Tur Kota Taman (The Garden City Tour), yang akan menelusuri taman-taman hijau dan jalan-jalan rindang serta beberapa bangunan bersejarah penting di sepanjang rute ini.
Tur Kota Taman dimulai di Taman Balaikota kemudian menuju Taman Lalu Lintas (1910-an), Gedung SMA 3 dan 5 (bekas HBS/sekolah menengah atas semasa kolonial), Gedung Sabau (1916; bekas markas Kementerian Peperangan Belanda), Kodam III Siliwangi (1918), Taman Maluku, Gedung Kologdam (1920; bekas Gedung Jaarbeurs atau pameran tahunan), dan bangunan The Heritage (awal 1900-an; bekas vila pemilik perkebunan kaya).
Tur akan berlanjut ke Taman Cilaki, Gedung Dwi Warna (dulu Indische Pensioenfondsen), Museum Geologi (1926; konon museum geologi terbesar di Asia Tenggara), Museum Pos Nasional (1931), Monumen Perjuangan (1995), dan berakhir di Gedung Sate (1892).
Gedung Sate pada awalnya akan digunakan sebagai gedung pemerintahan menyusul rencana pemerintah kolonial untuk memindahkan lokasi ibu kota nusantara dari Jakarta ke Bandung. Kini Gedung Sate digunakan sebagai Kantor Gubernur Jawa Barat dan menjadi landmark kebanggaan Kota Bandung.
Tur ketiga adalah Tur Zaman Keemasan, yang akan menelusuri tempat-tempat bersejarah yang elegan dan menjadi highlight selama Zaman Keemasan (The Golden Age, 1920-30-an). Pada zaman inilah Bandung mendapat julukan ”Parijs van Java”. Feature utama Tur Zaman Keemasan mencakup 3 jalan pertama di Bandung, yaitu Jln. Asia Afrika, Jln. Braga, dan Jln. Merdeka.
Tur diawali di Grand Hotel Preanger atau alternatif lain di Simpang Lima, ujung timur Kota Bandung pada Zaman Keemasan, melalui kawasan keuangan (financial district) sepanjang Jln. Asia Afrika, kemudian berbelok ke Jln. Braga yang pada masa itu dikenal sebagai ”The Most Fashionable Street in the East Indies”. Tur akan melalui Teater Majestik (1920-an; kini AACC), Bank Pembangunan Daerah (1915), Jln. Braga (dengan bangunan-bangunan bekas pertokoan yang menjual berbagai produk terakhir Eropa pada Zaman Keemasan), Bank Indonesia (1930-an), Gereja Protestan Bethel (1926), Gereja Santo Petrus (1922), dan berakhir di Jln. Merdeka (kini kawasan perbelanjaan populer bagi kalangan muda Bandung dan pengunjung luar kota).
Sebetulnya masih banyak bangunan lama maupun baru yang unik dan berada dalam jalur tur, seperti BRI Tower (yang hingga kini berpredikat sebagai gedung tertinggi di Bandung), gedung Wahana Bakti Pos, dan gedung Bank Indonesia yang baru.
**
AGAR lebih menarik, walking tour sebaiknya dikombinasikan dengan wisata jenis lain yang dikemas sedemikian rupa menjadi paket tur. Misalnya, walking tour dilakukan pagi hari ketika belum terlalu panas. Makan siang akan dilakukan di kafe-kafe terbuka, yang cukup banyak terdapat di Bandung dewasa ini.
Sore hari akan digunakan untuk shopping tour, seperti berbelanja di Cihampelas, Dago, Merdeka, Alun-alun, Buah Batu, atau Cibaduyut, atau menikmati seni dan budaya khas Bandung, seperti Saung Angklung Pak Udjo atau galeri-galeri di Bandung.
Hari yang menyenangkan akan diakhiri dengan makan malam di salah satu restoran di perbukitan sekitar Bandung, sambil menikmati panorama Kota Bandung di waktu malam.
Bila wisatawan masih memiliki waktu lebih, hari kedua dapat digunakan untuk berkunjung ke dataran tinggi sekitar Bandung, seperti Gunung Tangkuban Parahu, atau melakukan agrowisata ke perkebunan bunga, buah dan sayur-mayur di Lembang, perkebunan teh Pengalengan, atau Ciwidey.
Walking tour mengisyaratkan ketersediaan infrastruktur penunjang, seperti trotoar dan interpretasi pada setiap point of interest. Penyediaan trotoar berkualitas prima, utamanya di jalur-jalur tadi, tidak saja bermanfaat bagi wisatawan, namun juga warga kota. Keberdaan PKL dewasa ini, yang banyak memanfaatkan trotoar bahkan badan jalan, sebetulnya bisa memberi warna tersendiri asalkan ditata dengan rapi. Sebagai bahan cerita, bukannya PKL tidak ada di Singapura, negara tetangga yang terkenal sebagai fine city (kota denda).
Di kawasan Bugis Junction ada lorong jalan khusus yang disediakan bagi para PKL, namun kondisinya jauh lebih teratur dan bersih. Demikian juga di Bali, yang peraturan adatnya sangat ketat terhadap keberadaan PKL.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi dan aksesibilitas pengunjung menuju bagunan-bangunan bersejarah. Kepemilikan bangunan di tangan pribadi bisa menjadi hambatan bagi aksesibilitas wisatawan untuk menikmati atau mempelajarinya. Selain itu, kondisi bangunan bersejarah di Bandung banyak yang tidak dioptimalkan, sehingga terkesan kusam dan kurang menarik.
Mudah-mudahan kelayakan pengembangan potensi wisata walking tour di Bandung bisa mulai dipelajari oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten, seperti pemerintah kota dan pengusaha industri pariwisata, serta ahli sejarah, arsitektur, budaya, dan pariwisata, dengan mengacu pada kebutuhan warga.
***Artikel ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat pada 27 April 2003