MENIKMATI KESENDIRIAN DI MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL
MENIKMATI KESENDIRIAN DI MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL by Mr Aditya Pratomo
Tertarik karena membaca beberapa referensi tentang museum ini, dan juga karena ketertarikan saya dengan bangunan-bangunan kuno pada jaman Belanda dahulu yang masih dipertahankan keasliannya, pagi itu saya mencoba untuk mengunjungi salah satu museum di Jakarta yang menurut saya sangat unik bentuk bangunannya.
Transportasi ke gedung Museum Kebangkitan Nasional tidak terlalu sulit. Cari kendaraan umum yang menuju kea rah Pasar Senen, dan kemudian bisa dilanjutkan dengan bajaj atau ojek ke jalan Abdulrachman Saleh atau ancer-ancer yang paling gampang ke arah pavilion Rumah Sakit Kartika (RSPAD) dan letak museumnya persis di belakangnya.
Dari pintu masuk, tadinya sempat ragu apakah museumnya buka atau tidak, maklum waktu itu saya berkunjung sekitar 2 minggu setelah lebaran, jadi memang masih dalam suasana liburan. Ternyata gerbangnya terbuka dank arena sudah masuk, pantang untuk mundur kembali … akhirnya saya masuk juga setelah membayar karcis masuk. Dari koridor masuk museum, sudah terasa sepi dan sunyi serta ada nuansa seram. Sesuai dugaan saya, suasana museum ini benar-benar sepi dan hanya saya pengunjung museum ini. Ditambah dengan suasana Jakarta yang waktu itu mendung hitam dan ditingkahi kilatan petir menambah suasana seram dari museum ini.
Gedung Kebangkitan Nasional (Ex-Stovia) mulai dibangun sejak tahun 1899 dan baru selesai tahun 1901. Kemudian pada bulan Maret tahun 1902 diresmikan pemakaiannya untuk STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), yakni Sekoleh Kedokteran untuk orang-orang bumiputera yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Para pelajar STOVIA diharuskan tinggal di asrama di gedung itu juga, sampai selesai sekolahnya. Lama pendidikan untuk persiapan 2-3 tahun, kemudian belajar bagian kedokteran 5-6 tahun. Pelajar yang diterima masuk STOVIA adalah para siswa lulusan Europeesche Lagere School (ELS) atau sederajat.
Karena museum ini dahulu adalah bekas Sekolah kedokteran jaman Belanda, maka isinyapun berkisar tentang perkembangan ilmu kedokteran dari jaman dahulu sebelum ilmu kedokteran sampai ke Batavia. Ruangan-ruangan yang menyimpan peralatan-peralatan pengobatan dari jaman dahulu hingga peralatan yang dipakai oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA jaman dahulu.
Dari ruangan peralatan-peralatan jaman dahulu, ke ruangan di sebelahnya, saya dikagetkan dengan diorama ruang kelas dimana sedang diadakan praktek bedah mayat (anatomi) dimana di ruangan ini ditata seperti layaknya ruang kelas, ada mahasiswa STOVIA beserta dosen berkebangsaan Belanda sedang melakukan praktek bedah mayat
Bergeser dari ruangan kelas anatomi, saya terkaget lagi karena saya berada di ruang asrama yang digunakan oleh para mahasiswa STOVIA pada jaman dahulu. Ternyata mahasiswa-mahasiswa STOVIA jaman dahulu di asrama-kan oleh kampus dengan jadwal yang ketat, karena diharapkan dari pendidikan inilah akan dapat dibentuk dokter-dokter handal dari bangsa Indonesia sendiri .
Isi dari asrama ini adalah satu buah tempat tidur besi, dengan bantal dan guling, lemari besar berwarna coklat, jendela besar berwarna abu-abu di setiap samping lemari dan juga tempat untuk menggantung jas dokter untuk praktek para mahasiswa. Asrama ini sangat luas dan isinya beberapa tempat tidur dan (lagi-lagi) ada 3 wujud patung di ujung sana sedang berdiskusi yang semakin membuat saya terkaget –kaget setengah mati.
Yang menarik dari museum ini adalah kelas para mahasiswa STOVIA selain kelas diadakan di dalam ruangan, ternyata mereka juga belajar di ruang terbuka. Ini sangat unik, karena mungkin karena mata kuliah kedokteran itu sangatlah sulit, maka (mungkin) diadakan kelas di luar ruangan agar mahasiswa mendapat udara segar dan lebih fresh untuk menerima kuliah dari dosen