Aditya Pratomo’s Blog: MAGELANG, SEBUAH SENTIMENTAL JOURNEY
Traveling saya kali ini adalah mengunjungi sebuah kota di Jawa Tengah yaitu Magelang. Saya ingin melihat bagaimana kota Magelang saat ini, mengingat dahulu sewaktu saya duduk di Sekolah Dasar pernah mengunjungi kota ini, selain itu saya bermaksud ingin mengabadikan sunset ataupun sunrise dari Candi Borobudur.
Perjalanan saya kali ini menempuh kurang lebih 11 jam perjalanan dengan menggunakan Bis Kramat Djati, sebuah bis malam dengan interior yang nyaman. Berangkat dari terminal pada pukul 18.00 dan sempat berhenti untuk makan malam di sebuah restoran khusus untuk bis malam setelah melewat kota Cirebon. Interior bis yang nyaman, dilengkapi dengan kursi reclining, selimut dan bantal yang memang sudah disediakan membuat saya menikmati perjalanan saya. Apalagi ketika malam hari, lampu interior sengaja diganti menjadi lampu tidur, sehingga membuat saya benar-benar terlelap.
Pukul 05.00 pagi, saya sampai di terminal Tidar, Magelang . Sempat bingung karena baru bangun, dan datang di daerah yang benar-benar baru bagi saya. Setelah benar-benar pulih dari kantuk, saya kemudian menuju ke penginapan yang sudah saya pesan seminggu sebelum keberangkatan dengan menggunakan taksi. Perjalanan dari terminal lumayan membingungkan, karena ternyata saya hanya berbekal alamat , walhasil sempat berputar-putar ketika mencari alamat yang dituju, akhirnya setelah muter-muter selama 1 jam, sampai jugalah saya di tempat tujuan.
DESA WISATA WANUREJO
Desa Wanurejo merupakan sebuah desa wisata yang terletak di kabupaten Magelang kecamatan Borobudur. Desa ini menjadi desa pintu gerbang dari obyek wisata Borobudur. Wanurejo sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu vanua yang artinya desa dan dan rejo yang artinya makmur, dan kini masyarakat sering menyebut Desa Wanurejo. Desa ini terletak sekitar 1,5 km kea rah timur Candi Borobudur. Secara geografis, desa wisata Wanurejo merupakan salah satu desa subur yang berada di kawasan candi Borobudur dan termasuk dalam wilayah kecamatan Borobudur. Letaknya hanya sekitar 600 meter sebelah tenggara Candi Borobudur, di antara lereng pegunungan Menoreh dan diapit dua buah sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Sileng. Posisi Desa Wanurejo ini sangat strategis karena terletak pada jalur wisata Candi Borobudur. Ketika kita memasuki jalan utama desa Wanurejo ini kita langsung disuguhkan dengan panorama alam yang indah, berupa lereng bukit Menoreh yang menunjukkan relief bukitnya yang elok. Di sisi lain, panorama desa yang identik dengan pemandangan sawah serta petani-petani yang sibuk dengan pekerjaannya dan lalu lalang masyarakat Wanurejo yang masih banyak menggunakan sepeda
Desa wisata yang asri ini memiliki banyak potensi tempat wisata yang cukup menarik. Desa yang teridiri dari 9 Dusun ini memiliki potensi wisata yang berbeda-beda, yaitu Dusun Gedongan, Bejen, Barepan, Jowahan, Soropadan, Ngentak, Brojonalan, dan Tingal yang dibagi menjadi dua daerah yaitu Tingal kulon dan Tingal wetan. Beberapa Dusun yang dapat dikunjungi yaitu Dusun Gedongan, Jowahan, Brojonalan dan Bejen. Beberapa potensi wisata yang belum dikembangkan secara optimal oleh masyarakat adalah (1) wisata alam tempuran dan pemandangan alam, (2) wisata kesenian termasuk seni tari, seni musik, cerita rakyat, dan atraksi pencak silat, (3) wisata kerajianan berupa ukir bambu (4) wisata kuliner berupa tempe dan rengginang, (5) wisata sejarah berupa Candi Pawon dan rumah tradisional Jawa Kuno, (6) wisata pertanian, (7) wisata permainan tradisional, dan (8) wisata religi dan adat.
Pemandangan pedesaan yang masih asri membuat saya lupa akan rasa lelah saya. Setelah saya mendapatkan kamar, menaruh ransel saya, kemudan saya disuguhi sarapan pagi berupa nasi goreng tradisional dan the jahe panas. Hmmmmm, sebuah ucapan selamat pagi dan selamat datang yang benar-benar hangat. Perut dan badan menjadi hangat setelah sarapan pagi tadi, kemudian sayapun mandi. Setelah mandi, saya mengobrol dengan pemilik penginapan, berkaitan dengan transportasi saya selama di Magelang. Kebetulan sekali pemiliknya juga mempunyai kantor tour dan travel yang menyediakan fasilitas transportasi dengan menggunakan mobil Xenia dengan sistem pembayaran perhari (sudah termasuk sopir dan bensin). Sayapun tersenyum puas, dan terbayang nanti betapa menyenangkannya kunjungan saya di kota ini.
DAY 1 WANUREJO-SELOGRIYO
Hari itu perjalanan wisata saya dimulai dengan mengunjungi sebuah candi yang sudah berusia ratusan tahun. Candi itu letaknya lumayan jauh dari tempat parkiran. “Gakpapa, mas … sekalian pemanasan sebelum ke Candi Borobudur.” jelas Mas Anang, sopir pribadi sekaligus guide lokal saya . Sayapun tersenyum kecut mendengar penjelasannya. Bagaimana tidak kuatir, dengan bobot badan saya yang sebesar ini, ditambah saya jarang berolah raga, membayangkan bagaimana perjalanan menuju candi Selogriyo sudah menjadi mimpi buruk saya yang pertama. Lokasi candi ini adalah Dusun Campurejo, Desa Kembangkuning, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Candi ini berada di lereng timur kumpulan tiga bukit, yakni Bukit Condong, Giyanti dan Malang, dengan ketinggian 740 mdpl. Perjalanan menuju Candi Selogriyo sangat menyenangkan. Dengan melalui beberapa desa, hamparan sawah menghijau terhampar di sebelah kiri dan kanan saya. Sebuah pemandangan yang tidak pernah saya temui di kota besar seperti Jakarta. Sepanjang jalan, Mas Anang, menyetel lagu-lagu campursari karya alm. Manthous. Wah, pikirku, saya benar-benar berada di alam Jowo, dengan pemandangan sawah, hawa pedesaan yang sejuk, lalulintas yang lengang dan lagu-lagu Manthous benar-benar telah membius saya. Tidak lama kemudian sampailah kami di lokasi candi. Kami berjalan dari tempat parkir tidak begitu jauh. Di kiri dan kanan terhampar persawahan luas. Dekat pos masuk, saya harus membayar retribusi karcis masuk, dan …. Saya harus berjalan sejauh 2 km untuk sampai di depan gapura. Sepanjang perjalanan, saya berhenti sebentar untuk sekedar mengambil nafas, menikmati pemandangan alam sambil menghirup udara pegunungan, dan juga mengabadikan keindahan alam sekitar. Setelah jauh berjalan, akhirnya kamipun sampai di depan gapura yang berbentuk paduraksa. Dari gapura kami harus mendaki sekitar 200 anak tangga sebelum mencapai lokasi candi yang berada di ketinggian 740 mdpl. Sepanjang jalan menaiki anak tangga, Mas Anang tidak berhenti tersenyum mendengar nafas saya sudah seperti lokomotif yang menanjak. “Biar kuat nanti kalo ke Borobudur, mas” hiburnya. Sayapun tersenyum kecut ditengah-tengah deru nafas saya. Candi Selogriyo berada di lereng Timur kumpulan tiga bukit yakni Bukit Condong, Giyanti dan Malang di Desa Campur Rejo,Kec.Windusari, Kab.Magelang.Candi Selogriyo adalah peninggalan masa Hindu sekitar abad ke-9 yang antara lain ditandai arah hadap pintu ke Timur. Candi Selogriyo ini merupakan candi Hindu yang berada di timur lereng gunung Sumbing. Dari papan informasi, saya dapat mendapatkan sedikit informasi tentang candi ini. Candi yang ditemukan oleh Hartmann (residen Magelang masa penjajahan) pada tahun 1835. Candi Selogriyo pernah terkena longsoran tanah pada tahun 1998, karena letaknya yang dikelilingi lereng-lereng bukit. Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, candi ini pun dipindah posisinya. Proses pemindahan dan rekonstruksi ulang Candi Selogriyo selesai pada tahun 2005. Tidak heran di sekeliling candi di ikat oleh tali konstruksi dan dikunci supaya tidak rubuh lagi, pikirku. Di candi ini ada empat sisi yang setiap sisinya ada arcanya. Adapun arca tersebut adalah Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, dan Nandishwara & Mahakala. Saya mengelilingi candi kecil ini, dan berusaha melihat seperti apa relief ataupun arca yang ada. Namun ada yang membuat saya mengganjal. Beberapa arca ini tidak ada kepalanya, bagian kepalanya sudah raib entah ke mana. Sebuah pertanda bahwa sudah selayaknya hal seperti ini tidak terjadi lagi di manapun tempatnya. Pemerintah harus bisa menjaga aset peninggalan sejarah bangsa dibantu dengan pengelola dan warga setempat.Tidak banyak yang bisa dilihat dari kompleks candi ini, karena itu saya hanya mengambil foto candi dari beberapa sudut, beristirahat mengumpulkan tenaga untuk persiapan turun kembali. Tidak terasa hari sudah semakin siang menjelang sore dan juga karena mendung, maka saya memutuskan untuk turun kembali melalui tangga untuk kemudian pulang. Badan saya baru terasa penat, karena saya baru sampai dan belum sempat bersitirahat, maka setelah sampai di mobil sayapun bertitah, “Mas Anang, hari ini cukup dulu, kita pulang ke penginapan, karena badan saya baru terasa penat. Saya ingin istirahat.” “Inggih, mas…” jawab nya. Selama perjalanan menuju ke penginapan, sayapun tertidur karena kelelahan. Sesampainya di penginapan, saya membayar jasa traveling saya kemudian sayapun masuk kamar dan tertidur.
DAY 2 SOP SENEREK – BOROBUDUR – MENDUT
Wah, nyenyak sekali tidurku semalam, sampai keesokan harinya saya tergagap bangun karena jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Sayapun bergesa bangun, untuk keluar menghirup udara pagi desa Wanurejo. Perumahan penduduk, persawahan dan ada yang menarik bagi saya untuk saya abadikan. Serombongan anak-anak menuju ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Wah, benar-benar pemandangan yang tidak pernah saya temui di Jakarta. Puas memotret, sayapun kembali ke penginapan. Mas Anang sudah datang dan sedang mencuci mobilnya. “Hari ini mau kemana, mas? “ tanyanya. “”Anter saya ke tempat sarapan yang enak, trus hari ini kita ke Borobudur dan Prambanan” jawabku . “Hmmm, sudah pernah makan sop senerek belum, mas?” tanya mas Anang. “Wah, sop apa tuh?” tanyaku. “Hayo pagi ini kita sarapan sop senerek sekalian saya antar melihat AKMIL, mau ?” Huaaaaaa, bathinku. Aku baru teringat kalau aku berada di Magelang, tempat pendidikan para petinggi militer Indonesia yang bersejarah. Dan itu semua tidak terlepas dari keberadaan Akademi Militer Magelang atau disingkat AKMIL. “Kereeeennn, hayo mas kalo gitu. Aku tak siap-siap ya.” jawabku mantab, dan sayapun sejenak terlupa dengan sop senereknya. Perjalanan menuju ke lokasi sop lumayan jauh, tapi tidak terasa karena lalulintas yang cukup lengang, tidak seperti di Jakarta. Tidak lama kemudia, sampailah saya di area kampus AKMIL Tidar, sayangnya saya tidak bisa masuk kedalam, jadi saya hanya puas memotret gerbangnya yang kokoh dan kompleks sekitarnya. Di dalam kompleks terlihat beberapa taruna dengan seragam coklat. Gagah sekali mereka, pikirku. Bangga sekali yang bisa menempuh pendidikan di kampus ini, bathinku. “Mas, kita sudah sampai di Bu Atmo.” Kata Mas Anang mengagetkan lamunanku. Setelah sarapan di warung Bu Atmo, sayapun bergegas ke tujuan utama saya, Candi Borobudur. Perjalanan cukup jauh, karena ini berarti kembali kea rah penginapan, tetapi sebelum kea rah penginapan, kita berbelok ke arah kawasan wisata Taman Candi Borobudur. Kawasan wisata Candi Borobudur sangatlah luas, dan jalan masuk menuju candi Borobudur lumayan jauh. Karena sudah agak siang, matahari sudah lumayan panas, Mas Anang memarkir mobilnya di tempat yang teduh dan sayapun melenggang sendiri menuju ke loket penjualan karcis. Ternyata benar kata Mas Anang, karena kemaren sudah ditempa dengan perjalanan ke Selogriyo, saya tidak merasa capek ketika jalan ke kawasan candi. Karena waktu itu bukan hari libur, maka yang mengunjungi Borobudur tidak penuh. Hanya beberapa wisatawan lokal dan wisatawan asing saja. Ketika akan memasuki kawasan candi, jalanan terbagi dua dengan ditengahnya terdapat kebun bunga. Hmmmm, pikir saya, apakah seperti ini dahulu waktu saya kemari waktu saya masih SD, atau mungkin lebih terbuka lagi ya areanya. Akhirnya sampailah saya di tangga yang menuju ke kawasan candi. Hari sudah menjelang siang, dan panas matahari mulai menyengat. Sayapun bersitirahat tepat dibawah pinggir candi sambil menikmati keindahan mahakarya purbakala ini dari dekat. Candi yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan Dinasti Syailendra masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram Kuno telah mencuri perhatian dunia sejak HC Cornelius menemukan lokasinya atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814. Candi ini telah mengalami berbagai pemugaran dan perbaikan. Candi yang memiliki 72 stupa yang berbetuk lonceng ajaib dimana stupa yang terbesar terletak di puncak candi sementara yang lain mengelilingi stupa hingga ke bawah. Candi ini memiliki 3 tingkat yang mewakili kehidupan manusia dengan ditandai oleh adanya relief yang dipahat pada sekeliling candi. Tingkat pertama yaitu Kamadathu yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu rendah, Rupadathu yaitu dunia sudah bisa membebaskan diri dari nafsu dan tingkat tertinggi yaitu Arupadathu yang merupakan tingkatan tertinggi yang melambangkan manusia telah terbebas dari segala keinginan dari ikatan bentuk dan rupanamun belum mencapai Nirwana. Yang menarik bagi saya adalah, stupa-stupa ini dipasang tidak menggunakan perekat tetapi batu-batunya dibentuk sedemikan rupa sehingga saling mengait satu dengan yang lain, sehingga tidak akan bisa digeser ataupun di bongkar. Sewaktu saya kesana, pengunjung sudah tidak diperkenankan lagi untuk menjulurkan tangannya kedalam stupa untuk menyentuh patung didalamnya dan juga tidak diperbolehkan duduk atau berkumpul di sisi salah satu candi karena bisa berpotensi merusak batu-batu candi. Dan juga diharapkan pada para pengunjung untuk naik dari timur, setelah sampai diatas dipersilahkan untuk berputar dan turun ke utara, begitu juga pengunjung dari barat sampai diatas harus berputar jangan berhenti. Karena dikhawatirkan wisatawan akan menumpuk diatas dan akan mendapatkan pengalaman terjebak macet di puncak Borobudur. Sayapun berfikir, bagaimana jika pengunjung membludak seperti waktu liburan atau pada waktu lebaran ? tidak terbayangkan betapa ramainya di atas sini, dan pada hari itu, kebetulan ada beberapa rombongan pengunjung dari sekolah, sudah terlihat betapa ruwetnya lalulintas diatas. Oleh karena itu tidak heran jika security candi akan terus berteriak dan mengingatkan para pengunjung utuk tidak berkumpul di satu sisi candi. Dan bisa dibayangkan, wisatawan-wisatawan yang ber-selfie akan memenuhi setiap sisi candi. Haduhhhh, untung saya datang diwaktu yang tepat, tidak pada waktu libur atau lebaran, pikirku. Setelah mengabadikan dari berbagai sudut candi, sayapun turun untuk kembali ke parkiran. Selama kembali ke parkiran, saya dan wisatawan yang lain diganggu dengan kedatangan penjaja-penjaja souvenir Borobudur yang dengan setengah memaksa menawarkan barang dagangan mereka. Ini seharusnya bisa menjadi perhatian serius pihak yang terkait, karena alangkah tidak menyenangkannya di paksa oleh para penjual ini. Meskipun saya sudah berkata tidak, tetap saja mereka akan ngotot menawarkan barang dagangannya, dengan berbagai upaya. Sebuah pengalaman yang sama sekali tidak membuat saya nyaman. Setelah sampai di parkiran, dan ternyata Mas Anang sudah menunggu di pintu keluar, sayapun masuk mobil (dengan masih dikejar oleh beberapa pedagang souvenir) untuk menuju ke candi Mendut. Karena saya sudah merasa lelah dari candi Borobudur tadi, maka saya berkunjung ke Candi Mendut hanya sebentar. Mendut merupakan nama sebuah desa dengan landmark Candi Mendut. Candi ini terletak tidak jauh dari tepian beberapa daerah aliran sungai besar, seperti Kali Progo, Elo dan Pabelan. Candi Mendut merupakan satu kesatuan rangkaian tri candi yang meliputi Mendut, Pawon dan Borobudur. Berdasarkan keterangan pada Prasasti Karangtengah, Candi Mendut dibangun oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra pada tahun 824 M. Secara administrasi kepemerintahan, Mendut merupakan sebuah kesatuan pemerintahan setingkat desa atau kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Lokasi Candi Mendut berada tepat di sisi utara Jalan Mayor Kusen yang merupakan jalur akses utama menuju Candi Borobudur dari arah Yogyakarta. Dari segi kesejarahan dan fungsionalitasnya di masa kini, Candi Mendut memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan candi-candi Budha yang lain, termasuk Borobudur. Tidak banyak yang saya lihat di area candi ini, setelah saya turun dari mobil, berjalan sekitar beberapa meter, untuk kemudian bertemu dengan loket untuk membayar tanda retribusi masuk kawasan candi, sayapun langsung masuk ke dalam candi. Candi ini terdiri dari satu buah bangunan utama yang cukup besar dengan ruangan di dalamnya. Untuk dapat memasuki ruangan didalam candi, di depan pintu masuk terdapat tangga naik kedalam candi. Didalam candi terdapat 3 buah arca Budha yang berukuran besar yang hingga saat ini masih terawatt baik. Sayapun terperangah, bagaimana arca sebesar ini bisa masuk kedalam candi ini, apakah arcanya dahulu di dudukkan lalu kemudian dibuat candi di sekelilingnya, atau candinya dahulu lalu arcanya masuk belakangan. Melihat ukuran dari arca ini yang begitu masif, sayapun kembali tertegun, bagaimana orang-orang jaman dahulu bisa mengangkat arca dengan ukuran sebesar ini? Kembali ke mobil, karena hari sudah semakin siang, dan sayapun terasa lapar, saya pun bertanya pada guide lokal andalan saya ini. “Mas Anang, makan siang yang enak dimana ya ?” Dengan mantab, diapun menjawab, “Sudah pernah makan mangut iwak kali belum, mas?” Seketika pikiranku melayang ke novel karangan almarhum Umar Kayam yang disalah satu novelnya menyebut salah satu makanan khas Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya yaitu mangut. Iwak kali berarti ikan kali atau ikan sungai. Hmmmm, tawaran yang tidak bisa ditolak. “Hayo, kita kesana, mas” titahku kemudian. Mas Anang pun kemudian memacu mobilnya menuju salah satu warung makan spesialis iwak kali yaitu Pondok Makan Idaman, yang berada di tepi sungai Pabelan Srowol, Muntilan. Setelah kenyang menikmati sajian khas iwak kali di Pondok idaman, sayapun kemudian minta diantar ke kantor travel terdekat untuk membeli tiket kereta api pulang ke Jakarta. Ternyata Magelang tidak dilewati stasiun kereta, dan sayapun berarti harus ke Yogya untuk bisa pulang. Karena saya ingin merasakan sensai yang berbeda disaat saya pulang ke Jakarta, maka dengan diantar ke kantor travel terdekat, sayapun membeli tiket kereta api jurusan Yogya-Jakarta. Setelah mendapatkan tiket, sayapun diantar pulang kembali ke penginapan.
DAY 3 WANUREJO – YOGYAKARTA-JAKARTA
Ingin melihat Borobudur dari kejauhan ? cobalah naik ke puncak Punthuk Setumbu, dari sana kita bisa melihat suasana eksotis dari pagi yang diselimuti kabut hingga kita dapat melihat candi Borobudur dari kejauhan. Promosi ini saya dapatkan dari Mas Anang kemarin. Karena saya bernafsu ingin mengabadikan Borobudur ketika matahari terbit, sayapun dengan atusias menyetujui tawaran menarik ini. Pagi itu, saya dijemput Mas Anang pada pukul 4 pagi untuk kemudian diantarkan ke Punthuk Setumbu. Selama di perjalanan, ternyata saya mendapatkan informasi kalau ingin memotret Borobudur diwaktu sunrise bisa langsung menuju ke candi Borobudur tetapi oleh pengelola candi dipatok harga yang lumayan besar untuk dapat mengabadikan sunset maupun sunrise dari puncak Borobudur. Akhirnya saya mengurungkan niat saya, untuk kemudian saya memilih jalan alternatif memotret melalui Punthuk Setumbu. Tidak lama kemudian saya sampai di pos pembelian karcis untuk naik ke puncak Punthuk Setumbu. Setelah membayar karcis masuk, saya kemudian trekking ke atas puncak. Kembali saya harus terengah-engah bersusah payah mencapai atas bukit, apalagi dengan sepatu safety saya, dan juga kondisi jalanan menuju atas yang basah karena ternyata habis hujan gerimis jadi jalannya sangat licin. Sampai diatas puncak Punthuk Setumbu masih gelap, berarti waktu saya tepat, saya bisa menikmati kabut yang menyelimuti kawasan Borobudur dan juga candi Borobudur yang diselimuti kabut tipis. Kamerapun saya siapkan, dan ternyata apa yang terjadi ? lensa zoom saya tidak mencukupi untuk dapat menangkap candi Borobudur diwaktu pagi. Pantas saja banyak sekali wisatawan yang pada waktu naik membawa lengkap lensa super zoom dan juga tripod sehingga sayapun menjadi tidak percaya diri dengan kamera saya. Dengan hasil seadanya, sayapun menunggu hingga pagi menjelang. Setelah puas denga hasil jepretan saya, sayapun turun kembali untuk bersiap-siap packing ransel saya. Rupanya Mas Anang menangkap kekecewaan saya, dari lokasi Punthuk Setumbu saya dibawa oleh Mas Anang ke sebuah areal jalan masuk ke sebuah kampung, dimana dari sana kita bisa memotret Candi Borobudur dari kejauhan. Setelah puas mengabadikan beberapa foto, akhirnya saya diantar mas Anang kembali ke penginapan untuk packing dan kemudian langsung diantar ke Yogya untuk naik kereta kemudian pulang ke Jakarta. Setelah menyelesaikan pembayaran penginapan dan juga menyelesaikan pembayaran jasa antar-jemput travelling Mas Anang, sayapun untuk terakhir kalinya diantar Mas Anang ke Stasiun Tugu Yogyakarta untuk kemudian pulang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Sungguh sebuah pengalaman traveling yang tidak terlupakan.
HAPPY TRAVELING !!!