Merencanakan kawasan yang dikonservasi sebagai kawasan yang dapat memberikan manfaat secara ekonomi dari kegiatan kepariwisataan bagi masyarakat tanpa meninggalkan fungsi kawasan sebagai kawasan yang terlindungi perlu sebuah pendekatan perencanaan yang holistis. Pendekatan yang dimaksud adalah bagaimana merencanakan sebuah kawasan terlindungi bagi masyarakat lokal agar dapat memanfaatkan kawasan secara ekonomi dengan tidak mengalihfungsikan kawasan yang ada.

Memanfaatkan kawasan secara ekonomi bermakna masyarakat di sekitar kawasan terlindungi dapat memanfaatkan kawasan tempat tinggal mereka sebagai sumber mata pencarian dengan memanfaatkan lahan serta aktivitas yang ada di sekitar permukiman mereka. Beberapa kawasan permukiman merupakan kawasan yang perlu dibatasi untuk menghindari berbagai gangguan di permukiman itu sendiri. Melindungi kawasan mempunyai makna melindungi dari pemanfaatan lahan secara berlebihan dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan tersebut.

Sejauh ini terdapat beberapa framework yang digunakan sebagai pendekatan dalam perencanaan kawasan yang terlindungi. Secara umum terdapat 4 framework yang digunakan saat ini seperti:

  • Recreation Carrying Capacity
  • Recreation Opportunity Spectrum (ROS)
  • Limits of Acceptable Change (LAC), including Visitor Experience and Resource Protection (VERP)
  • Benefits-Based Management(BBM)

Framework tersebut di atas saat ini mewakili evolusi perencanaan bagaimana sebuah kawasan publik yang ada (public existing area) dibentuk dan dikelola. Setiap framework memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tabel di bawah ini menggambarkan perbedaan tersebut:

2Sumber: McCool, Clark, dan Stankey (2007)

Keempat pendekatan framework tersebut pada prinsipnya tetap mengacu pada kemampuan daya dukung sebuah kawasan terhadap berbagai lingkungan binaan dan aktivitas di dalamnya hanya saja penekanannya dalam perencanaan dan pengelolaannya berbeda.

Mengacu kepada berbagai permukiman di kawasan yang dikonservasi, framework yang dapat digunakan dalam perencanaan dapat berupa kombinasi dari Visitor Experience and Resource Protection (VERP) dan Benefits-Based Management (BBM). Kombinasi ini digunakan dengan dasar pertimbangan sebagaimana ulasan berikut.

VERP merupakan adapatasi dari pendekatan LAC yang menekankan perencanan fisik kawasan berdasarkan 3 kondisi yakni:

  • Kondisi sosial – jenis, jumlah dan penyebaran temporer pengunjung di kawasan,
  • Kondisi biofisik – berhubungan dengan jumlah perubahan yang diakibatkan manusia (human-induced changed)terhadap atribut biofisik.
  • Kondisi pengelolaan – berhubungan dengan undang-undang, peraturan, dan pengelola.

Sementara BBM menekankan fokus pada pemahaman dan pengelolaan dampak tertentu dari kegiatan rekreasional di kawasan. Dampak yang dimaksud merupakan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat intervensi pengelolaan seperti penempatan atribut-atribut tertentu, pengalaman pengunjung, interaksi pengunjung dengan atribut yang terdapat pada kawasan selama kegiatan rekreasional.

Kombinasi kedua pendekatan tersebut dalam perancangan kawasan wisata di daerah yang dikonservasi disebut dengan istilah community adaptive-based planning. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan kawasan ini mengadaptasi berbagai macam bentuk situasi dan kondisi masyarakat serta peraturan dan undang yang mengatur kawasan tersebut.