Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization(NGO) adalah salah satu pihak yang berperan dalam perencanaan dan pengelolaan kepariwisataan, selain pihak-pihak lainnya seperti masyarakat dan pemerintah lokal serta industri pariwisata. Di Singapura, Singapore Heritage Society (SHS) sebagai sebuah LSM telah memberi kontribusi terhadap pengembangan pariwisata pusaka (heritage tourism) negara pulau itu. Bagaimana peran SHS terhadap pariwisata pusaka di Singapura? Makalah ini merupakan tinjauan terhadap peranan SHS, dengan kerangka isi mencakuppendahuluan, penjabaran tentangperan LSM dalam perencanaan pariwisata pusaka di Singapura, tinjauan teoritis tentang teori-teori terkait, tinjauan peran LSM dalam pariwisata pusaka di Singapura, dan simpulan.

A. Pendahuluan

Singapura adalah salah satu negara anggota ASEAN dan merupakan negara pulau yang terletak di ujung selatan Semenanjung Malaya. Negara yang merdeka pada tahun 1965 ini memiliki luas hanya sekitar 650 km² dan berpenduduk hampir 4,5 juta orang, menjadikannya sebagai salah satu negara terpadat di dunia. Walau begitu, Singapura telah berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara dengan perekonomian maju. Pada tahun 2002, Singapura memiliki GNP per capita sebesar 21,180 dollar AS. Dari sektor pariwisata, jumlah wisata outboundtercatat sebesar 4.399.000 dan wisata inbound 6.996.000, serta pendapatan melalui pariwisata internasional sebesar 4.932.000 juta dollar AS.

Singapura terkesan serius dalam memajukan pariwisatanya. Singapore Tourism Board (STB) memiliki misi: To ensure the continued viability of the tourism industry and of Singapore as a destination. Visinya: A Tourism Capital, providing memorable experiences for visitors, a Tourism Business Center, attracting world-class tourism products and players, and as Tourism Hub, providing springboard of region. Negara dengan sumber daya alam terbatas itu hanya mengandalkan sumber daya manusianya, dan dengan gencar membangun prasarana dan sarana pariwisata serta menciptakan iklim usaha yang sehat di bidang pariwisata. Selain berhasil ‘menjual’ pariwisata belanja dan MICE-nya, Singapura juga telah berhasil mengembangkan pariwisata pusaka dalam dua dekade terakhir ini. Raffles Hotel, yang dibangun pada tahun 1887, adalah salah satu penanda (landmark) pusaka terkenal di Singapura, yang menjadi daya tarik wisata dan telah menyedot kunjungan wisatawan mancanegara dalam jumlah yang sangat besar.

Pusaka di Singapura sebetulnya menghadapi kendala di tahun 1970-an. Bangunan-bangunan warisan sejarah negara itu hampir musnah tergusur bangunan-bangunan modern akibat economic boom yang melanda negara saat itu. Akibat turunnya jumlah wisatawan mancanegara, pemerintah akhirnya menyadari kekeliruannya. Pada tahun 1984, SHS bekerjasama dengan Harvard University dan Massachussets Institute of Technology mulai menyelamatkan dan mendesain ulang sejumlah bangunan lama yang memiliki nilai seni dan arsitektur, di samping lorong-lorong jalan, kawasan-kawasan historis, dan situs-situs sejarah.

Sejak kemerdekaannya di tahun 1965, Singapura telah menghadapi tantangan dalam hal penggunaan lahan akibat lajunya pembangunan kota dan perluasan kawasan industri. Karena itu, upaya-upaya terencana mulai dilakukan untuk melestarikan pusaka budaya dan alamnya. Berbagai badan negara, mulai kementerian hingga pengelola museum, telah berperan penting dalam melestarikan dan mempromosikan situs-situs tersebut sebagai pusaka bersama (shared heritage) Singapura. Akan tetapi,upaya-upaya tersebut lebih banyak dipicu oleh kepedulian dan masukan dari kelompok-kelompok masyarakat, seperti SHS. SHS adalah sebuah LSM yang dibentuk oleh perseorangan yang peduli dengan dampak urbanisasi terhadap pusaka budaya Singapura. Sejak pembentukannya di tahun 1987, SHS telah berupaya melalui berbagai macam publikasi, forum, dan partisipasi dalam komisi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang lebih besar akan perlunya mempertahankan bangunan-bangunan dan penanda-penanda yang memiliki nilai dari sisi historis, sosial, dan arsitektural.

Tantangannya sekarangbagi LSM seperti SHS adalah perlunya mengambil inisiatif lebih besar darisekedar meningkatkan kesadaran dan memberi masukan pada negara.

B. Peran SHS sebagai LSM dalam Perencanaan Pariwisata Pusaka di Singapura

SHS, sebagai LSM di bidang pelestarian pusaka, secara tidak langsung memiliki peran dalam perencanaan pariwisata pusaka di Singapura. Sebetulnya, minat dan kepentingan SHS adalah menyelamatkan objek-objek pusaka bersama yang memiliki nilai dan arti bagi Singapura. Walau begitu, keberhasilan upaya pelestarian yang telah dilakukan oleh SHS telah berperan terhadap penyediaan sumber daya pariwisata negara itu.

Bentuk awal upaya pelestarian pusaka di Singapura adalah pendataan bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki nilai sejarah sebagai monumen historis oleh Preservation of Monuments Board (dibentuk tahun 1971). Dalam perkembangannya, objek pelestarian meluas menjadi kawasan, jalan-jalan, dan taman-taman yang memiliki nilai historis dan alami. Upaya-upaya lain juga dilakukan oleh salah satu Urban Redevelopment Authority (URA) Focus Group Committee, yang melakukan rekomendasi terhadap “Identity versus Intensive Land Use”.

1Gambar 1 Bangunan lama di Kawasan Pecinan, Singapura,yang dikonservasi (foto: TAP)

 Bagan 1

Badan-badan Pemerintah dan Swasta yang Terlibat dalam Pengelolaan Pusaka di Singapura

Conservation

National Heritage Board: Museums, Archives, Preservation of Monuments Board

Natural Heritage: Ministry of Defence, Ministry of Environment: National Parks Board

Others: Ministry of Defence (Military Heritage), MUIS, Hindu Endowment Fund

Marketing

Ministry of Trade & Industry

Singapore Tourism Board

Urban Planning

Ministry of National Development: Urban Redevelopment Authority

Private Organizations

NGOs: Singapore Heritage Society, Nature Society, Singapore Institute of Architects, Media, Clan Associations

Academics, Professionals, and other interested individuals/informal groups

Education

Ministry of Education: Schools, Educational institutions, Academic institutions, and General Education Office

Sumber: Bradford dan Lee (2004)

SHS dikenal di kalangan masyarakat sebagai sebuah LSM yang terlibat dalam isu-isu sejarah dan pusaka di Singapura. SHS memposisikan dirinya sebagai sebuah badan nasional dengan anggota-anggota yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Kegiatannya lebih terpusat pada isu-isu pusaka secara umum daripada hal-hal menyangkut pemanfaatan secara khusus. Dibentuk pada tahun 1987 oleh sekelompok orang yang peduli dengan kelestarian pusaka Singapura, SHS memiliki tujuan menghubungkan opini masyarakat dan memulai dialog-dialog dengan pihak-pihak berwenang dalam hal “give our children asense of history”. Dengan jumlah anggota awal sebanyak 30 orang, SHS berharap “to establish a good working relationship and to have joint programmes with both the public agencies and private groups” dengan tujuan melestarikan, merestorasi, dan mencatat gambaran dan event untuk “heighten our awareness of our rich and varied past” (The Straits Times, 1 Mei 1987). Anggotanya mencakup perusahaan-perusahaan, siswa/mahasiswa, dan perseorangan lainnya dari bidang profesional dan akademik.

Berikut adalah kegiatan-kegiatan SHS :

 

Bagan 2

Kegiatan-kegiatan SHS

Talks, Seminars, Conferences, and Exhibitions

Unity in Diversity: Minorities Workshops

Heritage and Contemporary Values

Our Place in Time: Heritage and Memory

The Impact of Cultural Tourism

Our Museums: Where we are Heading

Arts & Parts: Multiculturalism in Singapore

Memories of the National Library Spaces for the Dead, A Case for the Living: Cemeteries in Singapore

Spaces Places and Memory in Contemporary Singapore

Heritage Festival (Color Me 60s) organized by the Singapore Art Museum Public Forum

Publications

Pastel Portraits

Living Legacy

What if? Post War Choices for Singapore

Letters from Mao’s China

Chinatown Memories

Rethinking Chinatown

The National Library

We Asians

Sumber: Bradford dan Lee (2004)

 Dalam melaksanakan kegiatannya, SHS juga menemui hambatan dan tantangan. Hambatan yang dihadapi mencakup :

· Tidak seperti badan-badan negara dan swasta pada umumnya, kebanyakan tugas LSM didasarkan pada upaya-upaya sukarela anggota-anggotanya yang bersifat tidak tetap dan terbatas

· LSM biasanya terbentur pada masalah pendanaan dan sumber daya. Dana biasanya tergantung pada pemasukan dari pihak swasta yang alirannya tidak pasti, pendanaan negara yang biasanya terikat pada persyaratan-persyaratan, dan juga iuran keanggotaan

· Keanggotaan juga bersifat terbatas; biasanya LSM memiliki anggota yang kebanyakan berasal dari golongan menengah, tidak seperti badan-badan keagamaan, etnis, dan kebudayaan yang memiliki keanggotaan dari tingkatan masyarakat yang lebih luas

· LSM di Singapura, seperti halnya di negara-negara lain, dihadapkan pada dilema “preserving autonomy risks decline and compromising autonomy to get things done risks co-option”.

Sementara itu, tantangan yang dihadapi SHS adalah; meningkatnya tekanan pada penggunaan lahan, adanya persepsi negatif terhadap isu-isu pusaka sebagai hal-hal yang tidak praktis dan menyangkut pada kepentingan sekelompok kecil orang saja, pembahasannya yang tidak mudah dikuantifikasikan, kurangnya partisipasi dari cakupan masyarakat yang lebih luas, dan munculnya tanggapan-tanggapan reaktif, dan bukan berupa inisiatif aktif, terhadap konservasi dan manajemen pusaka. Dengan kondisi ini, SHS melakukan upaya-upaya lebih, seperti menerbitkan publikasi dan bekerjasama dengan badan-badan lainnya.

Alternatif lain untuk menjawab tantangan di atas adalah membentuk suatu institusi yang lebih formil dengan tenaga full time dan terfokus. Melalui suatu diskusi dengan berbagai elemen masyarakat dalam URA Focus Group Reccomendations on Identity Versus Intensive Use of Land, maka didapat kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

· Banyak yang mendukung pendirian Heritage Conservation Trust (HCS)

· Yang berwenang (URA) tidak akan lagi ikut campur dalam menangani konflik antara pembangunan dan konservasi

· Membuat pusaka sebagai isu nasional, seperti halnya kesehatan dan pendidikan

· Lebih aktif dalam mengidentifikasi area-area pelestarian (alam dan buatan), menentukan tingkatan pelestarian, mendefinisi ulang kawasan-kawasan pelestarian, dan menyusun proposal untuk pemerintah dalam hal kawasan-kawasan konservasi

· Memperkuat keahlian URA Conservation Section, National Parks Board dan Preservation of Monuments Board, yang diseimbangkan dengan pelaku sektor swasta

Yang menarik adalah salah satu rekomendasi bagi pembentukan Heritage Conservation Trust seperti yang disebutkan berikut, “Encourage the setting up of a privately run trust by making (financial) contributions and donations tax deductible. The trust could also be partly funded by the proceeds from the Singapore Tourism Board. Besides promoting the appreciation of our built heritage, the trust could look into the provision of subsidies and sponsorships towards traditional trades and the staging of conservation activities and festivities.” Walaupun pendirian HCS tampaknya akan memberikan kesempatan lebih banyak bagi SHS untuk berkiprah, dikhawatirkan perannya (juga peran masyarakat) akan berkurang banyak karena negara akan lebih banyak terlibat dalam pendiriannya, dan konsekuensinya pengawasannya.

2Gambar 2 Wisatawan mancanegara tengah menyimak penjelasan dari pemandu wisata tentang sejarah Singapura (foto: TAP)

Terlepas dari hambatan dan tantangan yang dihadapi LSM semacam SHS di atas, organisasi ini telah banyak berperan dalam pelestarian objek-objek pusaka di Singapura. Berkat peran aktif SHS, Singapura memiliki banyak sumber daya pariwisata pusaka yang sejak tahun 1990-an telah menarik lebih banyak lagi wisatawan mancanegara untuk datang dan menikmati pusaka di Singapura.

C. Tinjauan Teoritis tentang Perencanaan Pariwisata di Singapura

Pariwisata pusaka didefinisikan Hargrove (2002) sebagai “perjalanan yang dirancang untuk mengalami tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan yang asli mewakili cerita dan orang-orang di masa lalu dan masa kini”.Seperti jenis-jenispariwisata lainnya, pariwisata pusaka idealnya harus melalui proses perencanaan yang matang dan terfokus.

Tahap-tahap perencanaan secara umum terdiri dari:

1. Problem identification

2. Goals formulation

3. Projection & evaluation of goals

4. Alternatives to achieve the goals

5. Alternatives selection

6. Course of action

7. Implementation

8. Monitoring – Evaluation – Feedback

Idealnya, perencanaan kepariwisataan juga harus melibatkan masyarakat lokal (termasuk LSM). Keterlibatan masyarakat lokal dan LSM dapat dimulai dari tahap 1 atau tahap-tahap lainnya.

Sejumlah pihak berpendapat LSM adalah bagian dari masyarakat lokal, sedangkan pihak lain (seperti Mason) memisahkan kedua elemen tersebut. Untuk lebih jelasnya, dalam sub bab ini, akan diuraikan peran masyarakat lokal dan LSM secara terpisah.

Masyarakat lokal saat ini semakin dikenal sebagai salah satu pemegang peranan kunci dalam menentukan manajemen kepariwisataan dan arah kepariwisataan di masa depan. Mowforth dan Munt (1998) dalam Mason menyatakan bahwa salah satu kriteria penting dalam keberlanjutan pariwisata adalah partisipasi masyarakat lokal. Pretty (1995) membagi partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan sebagai berikut :

1. Manipulative participation: masyarakat hanya menjadi perwakilan dalam badan-badan resmi, namun tidak dipilih dan tidak memiliki kekuasaan

2. Passive participation: Masyarakat berpartisipasi melalui apa yang telah diputuskan atau terhadap penerapan keputusan

3. Participation by consultation: masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi yang dilakukan oleh pihak pengembang dengan menjawab pertanyaan

4. Participation for material incentives: masyarakat berpartisipasi melalui pengkontribusian sumber daya (contoh SDM) sebagai imbalan atas makanan, uang, atau insentif materi lainnya

5. Functional participation: partisipasi dilihat sebagai media eksternal untuk mencapai tujuan-tujuan proyek, terutama mengurangi biaya

6. Interactive participation: masyarakat berpartisipasi dalam analisis-analisis, mengembangkan rencana aksi dan memperkuat institusi lokal

7. Self mobilization: masyarakat berpartisipasi melalui pengambilan inisiatif secara mandiri mengenai institusi-institusi eksternal hingga sistem-sistem menyangkut perubahan

Fennel (1999) membuat pernyataan yang menarik bahwa besar kemungkinan proyek-proyek berbasis masyarakat akan lebih diterima masyarakat itu sendiri apabila perencana menyadari adanya kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini juga biasanya memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu didukung oleh Jurowski (1996) yang menyatakan bahwa nilai-nilai masyarakat secara individual perlu dikenali, dan berdasarkan hal itu pula, dapat diidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang unik. Jurowski juga menyatakan ada tiga kelompok utama dalam masyarakat, yaitu ‘attached residents’ (warga yang sudah tinggal lama di daerahnya, atau generasi yang lebih tua, yang mencintai masyarakatnya karena manfaat-manfaat sosial dan yang bersifat fisik. Tema pengembangan yang cocok dan sukses untuk kelompok ini adalah tema-tema pusaka), ‘resource users’ (mereka yang melakukan kegiatan rekreatif. Pengembang akan mendapat dukungan apabila menyediakan kesempatan sesuai minat mereka, menyediakan pelatihan bagi kaum mudanya, menjaga kawasan mereka untuk partisipasi, dan mengalokasikan dana untuk mendukung fasilitas dan pelayanan yang diinginkan orang-orang dalam kelompok ini). Kelompok ketiga adalah ‘environmentalist’ (cenderung melihat sisi negatif dari pengembangan. Pengembang harus lebih berhati-hati terhadap kelompok ini, serta harus mengangkat informasi-informasi tentang dampak pengembangan kepariwisataan terhadap lingkungan).

Yang tidak kalah pentingnya adalah kepemimpinan. Menurut Fennel (1999), kepemimpinan adalah kunci penting dalam proses pengembangan berbasis masyarakat. Kepemimpinan yang dimaksud bukan bersifat individual atau dipegang oleh sekelompok kecil anggota masyarakat, tetapilebih bersifat pembagian antar anggota masyarakat yang berbeda, yang memegang peran pemimpin berdasarkan situasi dan kondisi yang berkembang. Fennel juga menyatakan bahwa hal ini akan terjadi bila ada tujuan umum bersama dan hanya dengan hal ini anggota masyarakat akan memiliki kuasa.

Dari sisi yang lebih spesifik, LSM biasanya merupakan pressure group dan bukan bagian dari industri pariwisata. Kegiatan LSM juga biasanya lebih luas dari sekedar bidang kepariwisataan, tetapi menjalankan event-event/kampanye dan/atau proyek-proyek rencana yang memiliki dimensi kepariwisataan yang penting. Contoh-contoh LSM seperti ini mencakup World Wide Fund for Nature (WWF) di Inggris yang mengkampanyekan bentuk-bentuk pariwisata yang ramah lingkungan, National Trust di Inggris yang terlibat dalam upaya pelestarian bangunan-bangunan historis dan lansekap pusaka, serta Napier Art Deco Trust di Selandia Baru yang juga bergerak dalam pelestarian bangunan-bangunan Art Deco di New Zealand dan membuatnya tersedia bagi pengunjung. LSM-LSM ini, baik yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan kepariwisataan, memiliki skala mulai dari internasional, nasional, regional, dan lokal.

D. Tinjauan Peran LSM dalam Pariwisata Pusaka di Singapura

Sektor pariwisata di Singapura sempat mengalami penurunan jumlah wisatawan di tahun 1970-an, ketika negara itu mulai mengalami kemajuan ekonomi yang pesat. Akibatnya, banyak bangunan dan lansekap warisan dengan beragam nilai terpaksa dihancurkan untuk memberi ruang bagi pembangunan yang baru. Akan tetapi hal tersebut membuat daya tarik di Singapura berkurang, yang pada gilirannya menurunkan jumlah kunjungan ke negeri jiran itu.

Menyadari hal itu, Pemerintah Singapura segera mengambil langkah-langkah antisipatif (sesuai dengan teori tahap-tahap perencanaan, yang dimulai dengan problem identification). Dengan menunjuk LSM setempat, yaitu SHS, Pemerintah Singapura berharap bangunan-bangunan dan lansekap berharga Singapura dapat diselamatkan. Hal itu menunjukkan, walaupun tujuan dan minat utama SHS bukan mengembangkan pariwisata pusaka Singapura, akan tetapi SHS telah dilibatkan pemerintah setempat dalam proses perencanaan kepariwisataan di negara itu. Jenis partisipasi yang tepat untuk menggambarkan peran SHS dalam perencanaan kepariwisataan di Singapura dapat berupa: passive participation, participation by consultation, functional participation, dan/atau interactive participation.

Sesuai dengan teori Fennel, SHS sebagai pressure group akan lebih maksimal dalam berperan apabila pemerintah menyadari minat dan kepentingan khusus yang dimiliki LSM ini, yaitu pelestarian pusaka Singapura. SHS juga dapat dikelompokkan sebagai attached residents dan environmentalist, yang peka akan isu-isu sosial dan lingkungannya. Oleh karena itu, output yang dihasilkan SHS terbukti lebih maksimal.

Yang menarik dari tinjauan di atas adalah bahwa minat dan kepentingan LSM seperti SHS bukan terletak pada pariwisata, melainkan pelestarian pusaka. SHS diintegrasikan dan diberdayakan pemerintah Singapura dalam proses perencanaan kepariwisataan secara umum, agar pusaka Singapura dapat dilestarikan dan pada akhirnya dapat juga dikembangkan melalui pariwisata, menambah sejumlah daya tarik yang sudah dimiliki Singapura seperti belanja dan MICE.

Dengan kata lain, pariwisata bukan merupakan tujuan akhir dari pelestarian, tetapialat atau media bagi pelestarian itu sendiri. Hubungannya jelas, bahwa kesadaran pemerintah akan pentingnya pusaka akan mendukung upaya pelestarian. Kemudian, hasil dari pelestarian akan menyediakan sumber daya pusaka yang dapat dikembangkan, salah satunya melalui pusaka. Pendapatan melalui pariwisata selanjutnya dapat mendukung upaya pelestarian. Sehingga apabila pemerintah (dan pihak-pihak terkait lainnya) melihat dan merasakan manfaat langsung dari upaya pelestarian akan terus meningkatkan kesadaran pemerintah akan pentingnya upaya pelestarian.

E. Simpulan

· Bangunan-bangunan warisan sejarah di Singapura hampir musnah tergusur bangunan-bangunan modern akibat economic boom di era 1970-an, mengakibatkan turunnya jumlah wisatawan mancanegara di negara itu dan kemudian membuat pemerintah setempat menyadari kekeliruannya. Pada tahun 1984, SHS ditunjuk pemerintah untuk mewakili negara dalam kerjasama dengan Harvard University dan Massachussets Institute of Technology, yang mulai menyelamatkan dan mendesain ulang sejumlah bangunan lama yang memiliki nilai-nilai tertentu.

· SHS, sebagai LSM di bidang pelestarian pusaka, secara tidak langsung memiliki peran dalam perencanaan pariwisata pusaka di Singapura. Minat dan kepentingan SHS sebetulnya adalah menyelamatkan objek-objek pusaka bersama yang memiliki nilai dan arti bagi Singapura. Namun begitu, keberhasilan upaya pelestarian yang telah dilakukan oleh SHS telah menyediakan sumber daya bagi daya tarik wisata negara itu.

· Pariwisata hendaknya tidak dipandang sebagai tujuan akhir upaya pelestarian, akan tetapi justeru sebagai alat atau media yang mendukung upaya pelestarian itu sendiri.

 

Daftar Pustaka

Bradford, M and Lee, E. (2004). Tourism and Cultural Heritage in Southeast Asia. Thailand, SEAMEO SPAFA.

Hargrove, C. (2002). Article: ‘Heritage Tourism’. USA, The National Trust for Historic Preservation.

Kunto, H. (2000). Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung. Bandung, Penerbit PT Granesia.

Mason, P. (2003). Tourism Impacts, Planning and Management. Oxford, Elsevier.

Patria, T.A. (2003). Artikel: Menengok Urban Tourism di Singapura. Bandung, Pikiran Rakyat.

Weaver, D dan Lawton, L. (2005). Tourism Management – Third Edition. Australia, John Wiley & Sons Australia, Ltd.