MENJAMURNYA factory outlet, pusat perbelanjaan, dan restoran di Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir merupakan fenomena menarik yang menempatkan Bandung ke dalam peta wisata nasional. Bandung yang sebelunya relatif tenang, tiba-tiba dipenuhi oleh wisatawan Nusantara yang datang untuk berbelanja berbagai macam produk, terutama pada akhir pekan.

Fenomena ini bisa jadi menguntungkan dari sisi ekonomi, terutama bagi Pemerintah Kota Bandung dan para pengusaha di bidang bisnis dan pariwisata. Namun, Bandung juga harus menghadapi fakta lain, yaitu meurunnya kualitas lingkungan kota dan masih rendahnya kualitas sistem transportasi.

Berdasarkan survei pribadi yang melibatkan 129 responden yang pernah berkunjung ke Bandung dalam tiga tahun terakhir (2002), sistem transportasi menempati urutan terendah apabila dibandingkan dengan aspek-aspek selain pariwisata, seperti atraksi wisata, akomodasi, dan fasilitas wisata pendukung lainnya.

Umumnya responden menyayangkan kondisi lalu lintas Bandung, yang digambarkan sebagai membingungkan (terutama karena banyak jalan satu arah), kurang memiliki petunjuk arah, jalan-jalan yang berlubang, dan kemacetan lalu lintas. Hal ini sangat mengurangi kenyamanan Bandung sebagai kota jasa seperti yang direncanakan oleh pemerintah kota.

Bila mau menelusuri akar permasalahannya, sebetulnya sangat mudah. Pada awalnya, Bandung hanya direncanakan sebagai kota permukiman dan peristirahatan bagi 500.000 penduduk. Setelah Kemerdekan RI dan menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat, Bandung mulai dibebani berbagai fungsi dan jumlah penduduk pun terus bertambah hingga sekira 2,5 juta di area seluas hanya 160 km2 saat ini.

Kondisi ini semakin diperparah oleh laju pertumbuhan jalan yang hanya mencapai 0,2% per tahunnya, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor lebih dari 11% per tahun. Menurut catatan terakhir (2001), luas jalan di Kota Bandung hanya 5,12% dari luas kota, padahal idealnya 20%. Bisa disimpulkan, Bandung belum siap menjadi kota jasa dari sisi infrstruktur dan tata kota.

Kenyataan tersebut sangat kontradiktif dengan rencana pemerintah kota yang berambisi menjadikan Bandung sebagai kota jasa. Padahal, kenyamanan merupakan salah satu aspek penting dalam bidang jasa. Selain itu, transportasi merupakan salah satu produk industri pariwisata, di samping atraksi dan fasilitas lain seperti akomodasi, restoran, dan hiburan.

Sungguh sayang apabila masalah ini tidak segera dicarikan solusi dan tindakannya. Padahal Bandung memiliki daya tarik unik yang jarang dijumpai di kota-kota lain di Indonesia. Beberapa kelebihan Bandung adalah memiliki suhu udara rata-rata yang lebih rendah, memiliki panorama alam yang indah karena letak geografisnya di daerah pegunungan, serta mewarisi cukup banyak bangunan unik bersejarah dari masa kolonial, baik bernuansa Eropa maupun lokal.

Apabila mengacu pada jenis tourist city yang dikemukakan oleh Judd dan Fainstein (1999), Bandung termasuk ke dalam jenis kota wisata yang tidak menerapkan satu strategi khusus bagi turisnya. Kegiatan pariwisata kota-kota jenis ini telah melebur dan menjadi bagian kehidupan warga sehari-hari. Di Bandung, kegiatan perekonomian, terutama di bidang perdagangan dan perindustrian, telah menarik banyak kunjungan wisatawan untuk melakukan aktivitas belanja, seperti produk-produk tekstil, garmen, dan kerajinan tangan.

Dalam pengembangannya sebagai kota wisata, Bandung bisa mencontoh Kota Boston di Amerika Serikat. Dalam beberapa hal, kedua kota ini memiliki karakter yang sama, yaitu bervisi sebagai kota jasa (untuk Boston, jasa lebih ditekankan pada industri pendidikan dan kesehatan), ukuran kota yang tidak terlalu besar (Boston 129 km2), mewarisi banyak bangunan unik dan bersejarah dari masa kolonial, aktivitas turisme yang menyatu dengan kegiatan warga sehari-hari, dan pemusatan berbagai aktivitas dalam satu kawasan (mixed-use district).

**

STRATEGI pengembangan kawasan untuk kegiatan turisme di Bandung, bisa dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan inti dan kawasan baru. Kawasan inti mencakup kawasan asli Kota Bandung, yang kaya akan bangunan dan kawasan bersejarah.

Kegiatan yang ditekankan di kawasan inti mencakup kegiatan konservasi bangunan historis, serta penerapan technological culture (pembangunan gedung baru di kawasan inti yang mengacu pada kekhasan lokal agar citra spesifik kawasan dapat lebih muncul).

10401206_58989333800_7258_n

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1 Jalan Braga, selain dapat dilestarikan sebagai kawasan cagar budaya, juga dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata (foto: TAP)

Sementara itu, kawasan baru mencakup kawasan di luar kawasan inti, yang lebih menekankan pada pembagian zona (zoning) menurut fungsi agar tidak terjadi penumpukkan fungsi seperti yang telah terjadi pada kawasan inti Kota Bandung saat ini.

Kawasan historis dalam kawasan inti, seperti Jln. Braga dan Jln. Dago, dengan koleksi bangunan dan rumah tinggalnya yang anggun, dapat dioptimalkan daya tariknya melalui program konservasi. Untuk mencegah penghancuran bangunan-bangnan lama, terutama yang tidak berfungsi sama sekali, ada dua strategi yang dapat diterapkan, yaitu dengan memanfaatkan fungsi yang sama (adaptive re-use), atau mengubah fungsi (new use for building). Kedua strategi itu biasanya mempertimbangkan pula faktor ekonomis agar bisa menghasilkan keuntungan, yang pada gilirannya bisa mendanai perawatan gedung itu sendiri.

Untuk menerapkannya, harus ada minat dari pemilik bangunan dan penanaman modal, dengan koordinasi dari pemerintah kota. Konservasi Hotel Savoy Homann dan Grand Hotel Preanger adalah contoh sukses dari program konservasi di Kota Bandung.

Dengan ukuran kota yang tidak terlalu besar (160 km2) dan suhu udara yang tidak terlalu tinggi (19-29 derajat Celcius), Bandung bisa mengembangkan walking tour yang memadukan wisata belanja dengan wisata sejarah atau nostalgia. Rutenya bisa dibuat berdasarkan tema, seperti ”Early Bandung Tour”, ”The Garden City Tour”, ”The Golden Age Tour”, ”Tur Bandung Lautan Api”, dan ”The All-Shoppers’ City Tour”.

Kota Boston (129 km2) dan San Francisco (122 km2), dengan ribuan rumah cantik bergaya Victoria dari abad ke-19 memiliki reputasi sebagai walking city di Amerika Serikat yang justru terkenal sebagai pemuja segala sesuatu yang baru dan modern. Bandung yang memiliki warisan bangunan art deco dari tahun 1920-30-an (konon ketiga terbanyak setelah Miami, Florida, dan Napier, New Zealand), tentu saja bisa mulai mengoptimalkan aset tersebut. Tentu saja hal ini harus didukung oleh ketersedian infrastruktur, seperti trotoar. Suatu pekerjaan rumah yang cukup menantang mengingat kondisi umum trotoar di Kota Bandung yang masih memprihatinkan. Selain tur dalam kota, Bandung juga bisa menjadi homebase bagi kunjungan wisata ke daerah-daerah sekitar Bandung, seperti Gunung Tangkubanparahu dan perkebunan teh di Ciwidey dan Pengalengan.

Selain itu, Bandung perlu lebih aktif dalam menyelenggarakan dan mempromosikan even-even yang dapat menarik minat pengunjung dalam skala besar. Penyelenggara even, selain akan menempatkan suatu kota dalam benak wisatawan (tourists’ mental map), juga akan membuat suasana koa lebih hidup (vibrant), yang merupakan ciri dari suatu tourist city.

Penyelenggaraan ”Dago Festival” yang cukup sukses dalam 2 tahun terakhir merupakan suatu terobosan dan kemajuan bagi Bandung yang selama ini seakan kurang terdengar kiprahnya dalam kalender wisata nasional. Untuk lebih mempertegas image Bandung sebagai ”Kota Kembang”, penghijauan perlu kembali digalakkan. Pembangunan fisik kota saat ini cenderung mengorbankan lingkungan hijau kota.

Pengembangan Bandung sebagai tourist city sebetulnya cukup potensial mengingat daya tarik dan keunikan yang dimiliki ”Kota Kembang” ini, sepanjang ada usaha nyata untuk mencari solusi dan tindakan untuk meningkatkan kondisi yang mendukung visi sebagai kota jasa. Bukan tidak mungkin suatu saat Bandung bisa menjadi kota tujuan wisata favorit yang berkualitas, tidak saja bagi wisatawan Nusantara, namun juga wisatawan mancanegara.

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Januari 2003.