Perubahan fisik kota dalam menunjang kegiatan ekonomi masyarakat serta perkembangan sektor ekonomi terutama dalam kemudahan kepemilikan kendaraan bermotor mempengaruhi jumlah volume kunjungan orang (wisatawan) ke sebuah kota. Hal ini menyebabkan mudahnya wisatawan terutama wisatawan domestik mengakses daerah tujuan wisata di dalam satu kota. Sebagian dari mereka menjadikan kunjungan sebagai bagian dari rutinitas kegiatan sehari-hari, sebagian lagi menjadikan kunjungan bagian dari aktivitas wisata. Aktivitas yang disebutkan terakhir belakangan ini menjadi fenomena tersendiri yang dikenal dengan wisata kota (urban tourism).

Dengan kegiatan yang sangat kompleks terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan agar kota tidak melebihi batas kemampuanya (carrying capacity) dalam mendukung berbagai aktivitas warganya sekaligus sebagai sebuah daya tarik wisata. Perkembangan sektor ekonomi terutama dalam kemudahan kempemilikan kendaraan bermotor mempengaruhi jumlah volume kunjungan orang (wisatawan) ke sebuah kota, serta koneksinya dengan kota-kota lain di sekitarnya (interkoneksi). Hal ini menyebabkan jumlah kunjungan orang ke dalam satu kota menjadi meningkat. Sebagian dari mereka menjadikan kunjungan sebagai bagian dari rutinitas kegiatan sehari-hari, sebagian lagi menjadikan kunjungan bagian dari aktivitas wisata. Aktivitas yang disebutkan terakhir belakangan ini menjadi fenomena tersendiri yang dikenal dengan wisata kota (urban tourism). Terlepas dari apapun motif yang yang mendasari kunjungan orang ke sebuah kota dan keunikan yang ditawarkan di dalam sebuah kota, urban tourism lebih banyak dimaknai sebagai akibat pertumbuhan mobilitas pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Komisi Eropa bahwa pariwisata perkotaan dapat dilihat sebagai akibat pertumbuhan mobilitas dari orang yang kotanya tidak terhindari sebagai titik pemberhentian (Urban tourism can be seen as a result of the growing mobility…of people, for whom towns and cities are unavoidable stopping-off points, 2000:21)

Mengingat kegiatan pariwisata kota sangat berhubungan erat dengan mobilitas/pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lainnya dan hal ini meningkatkan jumlah orang yang berada dalam satu kota, menyebabkan kepadatan tersendiri pada ruas-ruas jalan dan menyebabkan degradasi kualitas daya dukung jalan Kota Bandung sebagai daerah tujuan wisata (tourist destination). Selain daya dukung jalan yang semakin berkurang, kondisi ini menyebabkan waktu tempuh yang digunakan dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi lebih panjang. Dengan jumlah kepadatan seperti yang diuraikan tadi maka perlu dilakukan perencanaan dan penyesuaian secara komperehensif terhadap daya dukung sarana jalan bagi kegiatan kepariwisataan di dalam kota (urban tourism). Perencanaan ini perlu dilakukan agar kontinuitas kenyamanan wisatawan dalam satu kota dapat terpelihara, terutama dalam pendekatannya dengan daya dukung lahan bagi aktivitas kepariwisataan.

Terdapat berbagai definisi tentang daya dukung lahan (carrying capacity). Daya dukung lahan sering dipandang sebagai alat pengelola (management tool) untuk melindungi situs dan sumber daya dari penggunaan yang berlebihan.

Hall dan Page (2006:183) membagi daya dukung lahan dalam 4 kategori:

  1. Fisik, ukuran kuantitatif jumlah pengunjung atau penggunaan yang dapat didukung dari sebuah situs.
  2. Ekonomi, berhubungan dengan penggunaan/pemanfaatan berbagai sumber daya
  3. Ekologi, berkaitan dengan tingkat maksimal lahan untuk penggunaan rekreasi, baik dalam hal jumlah dan kegiatan yang dapat ditampung oleh suatu daerah atau ekosistem sebelum penurunan daya dukung yang tidak dapat diterima atau tidak dapat diubah.
  4. Sosial, berhubungan dengan kemampuan individu dan kelompok mentoleransi aktivitas satu dengan lainnya dan tingkat penerimaannya.

Satu hal yang terpengaruhi oleh aktivitas urban tourism dan akibat kepadatan serta mobilitas penduduk adalah kepadatan di jalan raya. Berkaitan daya dukung lahan jika dikaitkan dengan pendekatan secara fisik, ruas-ruas jalan tersebut dapat dikatakan telah melampaui batas kemampuan jumlah kendaraan yang dapat ditampung. Sistem transportasi massal dan pembatasan jumlah kendaraan yang lalu lalang di dalam kota serta pengaturan pola perjalanan merupakan isu yang mengemuka terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya dalam kaitannya daya dukung lingkungan guna membatasi jumlah kendaraan.

Beberapa pertimbangan tentang sarana dan prasarana transportasi di ruas-ruas agar tidak melampaui batas aktivitas yang dapat didukungnya, antara lain:

1)    Private car flow management

Meskipun hal ini tidak menjadi solusi mengatasi kepadatan atau volume kendaraan pada ruas jalan utama di sebuah kota, tetapi mengatur pola perjalanan penduduk (wisatawan) yang menggunakan kendaraan pribadi pada area dan pada hari-hari tertentu terutama pada akhir pekan merupakan ide yang layak untuk dipertimbangkan. Hal ini dimaksudkan untuk membagi ruang bagi orang yang melakukan aktivitas wisata dengan dengan yang melakukan rutinitas sehari-hari.

2)    Mass Transport Management

Dengan adanya alat transportasi massal yang aman dan nyaman mobilitas orang bisa dilakukan dalam jumlah yang banyak namun dengan menggunakan kendaraan yang lebih sedikit.

3)    Parking and Sidewalk Management

Sebenarnya beberapa mall dalam ukuran besar menyediakan sarana parkir yang cukup memadai untuk menampung kendaraan dalam jumlah cukup besar dan bisa dijadikan sebagai starting point bagi aktivitas wisata di sekitar kawasan. Wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi dapat memanfaatkannya. Area parkir, seharusnya tidak berada dalam satu lokasi dengan pusat-pusat aktivitas wisata, tetapi ada di daerah yang dihubungkan dengan sidewalks. Area parkir yang memadai serta mudah dijangkau membantu pengendara segera keluar dari jalan dengan segera dan mengurangi kemacetan kendaraan yang mengantri untuk mencari area parkir. Hal tentunya memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi mobilitas wisatawan dan hal ini juga berpengaruh untuk menghindari polusi udara akibat pembuangan gas sisa pembakaran kendaraan dengan asumsi kendaraan telah diparkir akan segera mematikan mesin.

4)    Urban Tourist Flow Management

Pada kota-kota besar/metropolitan dengan jumlah kepadatan yang cukup besar perlu diatur terhadap sirkulasi mobilitas wisatawan dari satu area ke area lainnya. Perlu diingat juga bahwa juga dalam kasus tertentu ada batasan atau resistensi penduduk lokal terhadap dampak yang mungkin timbul akibat aktivitas wisata. Kehilangan privasi, kenyamanan, dan dalam kasus yang lebih tinggi lagi kekhawatiran masyarakat terhadap eksploitasi habitat tempat tinggal penduduk merupakan dampak yang terjadi jika tidak dilakukan untuk mengatur pola perjalanan wisatawan di dalam kota.

Peran pemerintah sebagai regulator serta stakeholder pariwisata sangat besar pengaruhnya dalam mengatur tata ruang kota sehingga pola pergerakan wisatawan dalam kota dapat ditata sedemikian rupa sehingga kenyamanan dan keamanan aktivitas wisata dapat terjamin.

Pergerakan atau mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lainnya telah menjadikan kota sebagai tempat multifungsi. Mulai dari kegiatan rutinitas sehari-hari hingga menimbulkan fenomena kota sebagai pusat aktivitas wisata. Di satu sisi mobilitas orang ini meningkatkan perekonomian kota secara signifikan, namun di sisi yang lain peningkatan perekonomian juga sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kecenderungan orang berpergian dengan kendaraan pribadi dari kota lain turut menambah volume kendaraan milik penduduk lokal berdampak pada masalah kemacetan lalu lintas, parkir dan polusi. Di samping itu masalah lain yang mungkin timbul adalah masalah keamanan, kerentanan bangunan fisik terhadap kerusakan oleh karena konsentrasi massa dalam jumlah besar. Degradasi kualitas lingkungan yang berpengaruh kehidupan sosial dapat dikatakan sama besarnya dengan peningkatan ekonomi yang dihasilkan masyarakat. Untuk menghindari dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas wisata terdapat beberapa hal yang layak dipertimbangkan oleh para stakeholder pariwisata seperti:

  • Pengelolaan dan pengaturan sarana transportasi beserta jaringan jalan
  • Peningkatan kualitas sumber daya destinasi (tourist attraction) yang selama ini tidak dikunjungi.
  • Peningkatan kualitas ruang terbuka publik sebagai sarana transit sementara wisatawan
  • Mengorganisasikan kunjungan wisatawan yang berkunjung secara massal
  • Mengatur pola perjalanan wistawan (tourist flow) di dalam kota.

Pengembangan kota yang terstruktur dan terencana sangat besar pengaruhnya terhadap ekosistem, struktur ekonomi dan sosial budaya. Dengan pembangungan kota seperti ini pola mobilitas orang dan kendaraan dapat diatur sesuai dengan baik sehingga keseimbangan daya dukung lahan dapat terdistribusi dengan baik. Pusat-pusat aktivitas perekonomian seharusnya berada secara terpisah dengan area residen dan tidak menimbulkan masalah jumlah orang dalam daerah dan waktu tertentu terutama dalam pengaturan arus lalu lintas. Dengan demikian kota dalam kaitannya dengan daya dukung dapat terjaga dalam menampung kunjungan wisatawan dapat tetap terjaga dan tidak melampaui ambang batas yang dapat ditampung.

Referensi:
European Commission (2000): Toward Quality Urban Tourism, European Community, Brussels, 21
Fanstein and Judd (1999): Cities as Places to Play, Yale Univestity Press, New Haven, 261-272
Hall, M. and Page, S.J. (2006): The Geography of Tourism and RecreationRoutledge, New York, 212
Maczulak, A. (2010) Environmental Engineering, Infobase Publishing, USA, 31-56
Naess, P. (2006) Urban Structure Matters, Routledge, New York, 4
Wooley, H. (2003) Urban Open Spaces, Spon Press, New York, 3