(Sebuah Kajian Terhadap Klasifikasi dan Tantangan dalam Memelihara Keragaman Rekreasi di Taman Nasional)

Recreational Opportunity Spectrum (ROS) merupakan sebuah kerangka kerja (framework) dalam pengelolaan wilayah atau kawasan yang dilindungi selain dari beberapa kerangka kerja yang ada seperti Limits of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM) dan Visitor Activity Management Process (VAMP). ROS pada awalnya merupakan sebuah konsep yang ditawarkan oleh Roger Clark dan George Stankey, sebuah konsep tentang pilihan recreationist dalam memilih aktivitas ketika mempunyai kesempatan dalam melakukan rekreasi. Clark dan Stankey menyebutkan:

“When considering opportunities for outdoor recreation, people must make choices about activities in which to engage, settings in which to recreate, and kinds of recreation experiences to seek” (1979:1).

Clark dan Stankey menyatakan bahwa dengan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah kemungkinan keadaan dari kesempatan berekreasi (recreation opportunity setting) suatu area, para pengunjung akan lebih mudah dalam memilih pengalaman yang hendak dirasakan. Recreation opportunity setting menurut Clark dan Stankey merupakan kombinasi dari kondisi fisik, biologi, sosial dan manajerial yang memberikan nilai terhadap sebuah tempat. Dengan demikian konsep ROS didasarkan pada penyediaan sebuah rangkaian (set) yang berbeda atau variatif yang ditawarkan dari kesempatan berekreasi di luar ruangan. ROS diklasfikasikan berdasarkan aktivitas rekreasi yang dilakukan dalam rentang sebuah kawasan yang primitif dan belum berkembang hingga kawasan yang maju dan berkembang.

Pada studi yang dilakukan Tanakanjana di Taman Nasional Thailand (TNT) pendekatan ROS digunakan dalam melihat konsistensi dan mengevaluasi pengalaman rekreasi normatif dengan pengalaman aktual berdasarkan kelas/rentang kesempatan rekreasi. Studi yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa pada umumnya penerapan pengelolaan pada taman nasional sangat konsisten dan seragam. Hal ini dapat dilihat dari penyediaan fasilitas dasar seperti area parkir, jalur pejalan kaki, toilet dan sebagainya ada di setiap kelas ROS yang artinya sudah melenceng dari konsep ROS yang hendak memberikan pengalaman yang berbeda untuk tiap-tiap area rekreasi.

Pada penerapannya, ROS ini merupakan sebuah alat manajerial dalam menyediakan sebuah kerangka kerja pengelolaan situs bagi para manajer bagaimana mendiversifikasi pengalaman rekreasi dan bukan dalam menyediakan fasilitas standar bagi para rekreasionis (Driver, 1989) sebagaimana yang terjadi di TNT. Namun hal ini juga dapat dilihat sebagai kelemahan dari penerapan ROS pada TNT. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Tanakanjana, ternyata pengunjung yang mengunjungi area modified natural (MN) mendapatkan pengalaman yang sama secara normatif dengan pengunjung yang mengunjungi area semi-primitive non-motorized (SPNM) yang artinya setting dari kelas ROS tidak mempengaruhi pengalaman rekreasi wisatawan secara signifikan. Hal ini kemungkinan juga disebabkan perubahan penilaian pengunjung terhadap daya tarik yang dikunjungi baik di area yang primitif maupun yang sudah dimodifikasi. Dengan demikian dapat dikatakan jika ROS digunakan sebagai alat bagi pengelola dalam “mengekang” diri dalam mengembangkan infrastruktur atau fasilitas di dalam area yang dilindungi merupakan sebuah konsep yang tetap bisa dipertahankan. Tetapi jika konsep ini ditawarkan dalam konteks memberikan kesempatan rekreasi atau pengalaman yang berbeda kepada wisatawan perlu dipertanyakan lebih jauh, mengingat pengunjung (customer) mempunyai kontrol terhadap pilihan rekreasi mereka yang dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Uysal dkk:

“The assumption behind ROS is that people desire certain experiences from their recreation pursuits….they participate in or choose activities within chosen settings that will facilitate the desired outcomes or experiences” (2008:429).

Dengan demikian apapun setting serta aktivitas yang didesain dalam spektrum kesempatan rekreasi tidak akan mempengaruhi kualitas pengalaman pengunjung secara signifikan. Karena pengunjung cenderung akan memilih area yang sesuai dengan kebutuhan mereka dengan apapun jenis infrastruktur yang tersedia dalam setiap kesempatan yang sama atau dengan kata lain recreation diversity tidak didasarkan pada setting yang ada, tetapi berdasarkan tipologi wisatawan. ROS ini lebih tepat jika digunakan sebagai alat dalam perencanaan ruang bagi area yang hendak dikembangkan sebagai area rekreasi dan area yang benar-benar ditujukan untuk tujuan konservasi. Hal ini bisa dilihat pada TNT dimana terdapat kecenderungan pengelola TNT untuk terus mengakomodasi kebutuhan pengunjung terhadap fasilitas penunjang di tiap-tiap kelas ROS.

Referensi:
  • Clark, Roger N. dan Stankey, George H. (1979) The Recreation Opportunity Spectrum: A Framework for Planning, Management, and Research, U.S. Department of Agriculture Forest Service General Technical Report, PNW-98 December 1979
  • Driver, B.L. (1989) Recreation Opportunity Spectrum: A framework for planning, management and research dalam Hall, C.Michael dan Page, Stephen J. (2006) The Geography of Tourism and Recreation, 3rd Edn, Routledge, New York
  • Tanakanjana, Noppawan (____) Recreation Opportunity Classification and Challenges in Maintaining Recreation Diversity in Thailand’s National Parks, Department of Conservation, Kasetsart University Bangkok.
  • Uysal M., Xiangping L, dan Turk, .E.S (2008) Push–pull dynamics in travel decisions, dalam Oh Haemoon, dan Pizam, Abraham (Eds), Handbook of Hospitality Marketing Management, Butterworth-Heinemann, USA, hal. 429