(A review)

Terdapat beberapa kerangka penilaian daya dukung lahan untuk kegiatan rekreasi antara lain seperti Limits of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM) dan beberapa pendekatan lainnya. Penilaian tersebut lebih menekankan pada kapabilitas sumber daya untuk diperbaiki/diperbaharui melalui pengaturan penggunaan lahan, namun tidak menggambarkan ambang batas daya dukung lahan terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Farrel dan Marion menawarkan kerangka berbasis Protected Area Visitor Impact Management (PAVIM) sebagai “more reasonable framework”.

Namun demikian, PAVIM ini nampaknya hanya bisa dilakukan di negara-negara tertentu saja di mana publik (komunitas lokal) bisa memperoleh hak penuh pemilikan dan pengolahan lahan karena PAVIM ini menitikberatkan pada justifikasi masyarakat lokal (land managers). Negara-negara tertentu seperti Indonesia komunikasi seperti tidak mungkin untuk dilakukan karena lahan atau area tertentu dikuasai oleh negara, tentunya negara atau pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dan kecil kemungkinan untuk diintervensi oleh pihak lain dalam menentukan batas daya dukung suatu area.

Kelemahan lain PAVIM ini adalah karena penilainnya berbasis dampak (impact) maka tindakan preventif kerusakan lahan tidak dapat dilakukan ketika sebuah area dibuka untuk publik. PAVIM hanya bisa dilakukan setelah muncul fenomena tertentu atau dampak dari kunjungan. PAVIM ini merupakan kerangka penilaian yang cost-wasteful (boros) bagi stakeholder pemilik/pengelolaan lahan karena langkah-langkah yang digunakan adalah perbaikan lahan setelah terjadi dampak (impacted-land recovery actions) dan bukan tindakan preventif terhadap dampak (land impact preventive actions).

Sehubungan keterkaitan antara area yang dilindungi dengan kegiatan turisme, sebenarnya terdapat pendekatan lain yakni The Tourism Optimization Management Model (TOMM) yang dikembangkan oleh Manidis Roberts Consultant berdasarkan kerangka LAC namun lebih menekankan pada “sustainable performance” dibandingkan pada “maximum carrying capacity level”. Pendekatan ini menekankan pada:

  • Pengidentifikasian strategi, kebijakan dan isu yang berkembang
  • Pengindetifikasian nilai komunitas, karakterisitik produk, pola pertumbuhan, tren pasar, positioning dan branding, serta skenario alternatif bagi kepariwisataan
  • Pengidentifikasian kondisi optimal, indikator, batas penerimaan daya dukung, teknik pengawasan, benchmark, kegiatan tahunan dan prediksi kegiatan
  • Pengidentifikasian hubungan sebab-akibat, dan mengembangkan alternatif pengelolaan

Kelebihan pendekatan ini (TOMM) dapat dilakukan pada setiap level stakeholder yang memanfaatkan kawasan lindung (protected area) untuk menilai berbagai faktor seperti ekonomi, lingkungan, sosio-budaya dan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Pendekatan ini dapat digunakan untuk memproyeksikan menentukan ambang batas dari dampak yang mungkin ditimbulkan dengan adanya kunjungan. Ambang batas ini (treshold limit) digunakan untuk menentukan dan mengatur kawasan lindung agar tidak melampaui nilai ambang batasnya mengingat pendekatan ini menititkberatkan pada keberlanjutan penggunaannya (sustainable use).

Referensi:
Tracy A. Farrell and Jeffrey L. Marion (2002) The Protected Area Visitor Impact Management (PAVIM) Framework: A Simplified Process for Making Management Decision Journal of Sustainable Tourism, Vol. 10, No. 1, 2002

Wearing, S and Neil, J. (2009) Ecotourism: Impacts, Potentials and Possibilities, Butterworth-Heinemann, UK, p. 84