Abstrak UNWTO sejak tanggal 1 Oktober 1999 telah mengeluarkan panduan tentang prinsip-prinsip pelaksanaan kepariwisataan yang lebih bertanggung jawab. Panduan tersebut dikenal dengan Kode Etik Kepariwisataan Global. Prinsip-prinsip tersebut ditujukan agar pembangunan kepariwisataan dapat dilaksanakan berdasarkan norma-norma dan nilai yang berlaku baik yang dibawa oleh wisatawan maupun norma dan nilai yang berlaku di destinasi pariwisata. Namun untuk melakukan prinsip-prinsip pelaksanaan kepariwisataan yang beretika perlu dipahami tentang bagaimana etika dalam kepariwisataan dibentuk agar pelaksanaan pembangunan kepariwisataan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

Kata kunci: Kode etik, sustainable tourism

 

1. PENDAHULUAN

Dalam memahami bagaimana etika dalam kepariwisataan dilaksanakan, perlu ditelusuri ke belakang sejarah penerapan kode etik. Pada abad ke-18 Sebelum Masehi, praktik-praktik penerapan kode etik telah dilaksanakan pada zaman Hammurabi, Raja yang memerintah Kerajaan Babilonia pada saat itu. Hammurabi menuliskan aturan yang dipahat pada batu setinggi 8 kaki dan ditempatkan pada pusat kota agar dapat dilihat masyarakat. Aturan yang dikenal dengan Code of Hammurabi tersebut mengatur bagaimana masyarakat dalam bersosialisasi sehingga keamanan, kedamaian dan keadilan dapat terpelihara dalam masyarakat. Kemudian pada abad ke-5 Hippocrates seorang Yunani mengembangkan sebuah aturan di bdiang kesehatan antara lain tentang petunjuk dalam makanann, operasi dan farmasi. Selanjutnya aturan-aturan tersebut berkembang seiring dengan semakin kompleksnya hubungan antara sesama manusia serta bagaimana manusia memanfaatkan sumber daya yang ada di sekelilingnya. Dalam konteks kekinian dan kepariwisataan, isu eksploitasi sumber daya menjadi salah satu yang perlu diatur dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang lebih bertanggung jawab, beretika secara moral berdasarkan nilai dan norma yang berlaku baik secara universal maupun yang bersifat lokal.

2 . Kebutuhan Terhadap Kode Etik Kepariwisataan 

Latar belakang disusunnya sebuah kode etik kepariwistaan secara global adalah memberikan panduan kepada seluruh para stakeholder pembangunan kepariwisataan. Salah satu agenda di belakang disusunnya sebuah kode etik secara global adalah untuk meyakinkan manfaat dari kepariwisataan baik secara ekonomi dan sosial dapat menjangkau dan dinikmati oleh komunitas dalam arti luas. Selain itu dalam kepariwisataan seringkali terjadi eksploitasi sumber daya kepariwisataan itu sendiri, mulai dari sumber daya alam hingga manusianya sendiri seperti pemanfaatan tenaga kerja anak di bawah umur.

Dalam Codes of Ethics in Tourism (Fennell dan Malloy, 2007) terdapat beberapa pertimbangan terhadap kebutuhan disusunnya kode etik kepariwisataan secara global antara lain:

1)    Pengurangan angka kemiskinan

Kepariwisataan dianggap sebagai alat atau media dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pengembangan ekonomi terutama dalam masyarakat lokal. Sektor kepariwisataan diharapkan tidak saja dapat memberi kontribusi dalam mensejahterakan masyarakat lokal tetapi juga akses terhadap suplai air, sanitasi, telekomunikasi dan transportasi melalui peran serta pemerintah dan pengusaha kepariwisataan

2)    Meningkatkan manfaat positif kepariwisataan secara ekonomi, sosial dan budaya

Dengan adanya akses terhadap infrastruktur yang dibangun untuk menunjang aktivitas kepariwisataan, diharapkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dapat meningkat, secara sosial masyarakat akan mudah mengakses kesehatan, pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya.

3)    Meminimalisir dampak negatif secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan

Dengan adanya aturan main yang jelas dalam kepariwisataan dampak negatif yang ditimbulkan akibat terjadi interaksi para stakeholder kepariwisataan dapat dihindari

4)    Mengembangkan perilaku budaya berwisata secara bertanggung jawab

Dalam dunia yang semakin tak berbatas, proses pertemuan berbagai macam budaya dalam wadah aktivitas kepariwisataan seringkali terjadi kesalapahaman dalam memahami budaya orang lain. Apabila hal ini pahami dan dilaksanakan dengan baik akan menjadi khasanah berwisata yang berkualitas. “When practiced with an open mind, it is an irreplaceable factor of self education, mutual tolerance and for learning about the legitimate differences between peoples and cultures and their diversity” (UNWTO)

5)    Mengembangkan solidaritas

Solidaritas kepariwisataan dalam kasus-kasus tertentu seperti bencana alam, wabah penyakit termasuk di dalamnya perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi, serta pemberdayaan kaum wanita melalui kepariwisataan

6)    Perlindungan terhadap sumber daya

Eksploitasi sumber daya seringkali menjadi isu yang sering muncul dalam kepariwisataan. Tidak saja eksploitasi terhadap berbagai sumber daya yang dijadikan sebagai daya tarik, tetapi juga sumber daya manusia yang digunakan dalam mengelola usaha kepariwisataan. Selain itu juga perilaku komunitas lokal juga berkontribusi terhadap berbagai eksploitasi sumber daya yang biasanya dimanfaatkan sebagai suvenir kepariwisataan.

7)    Perubahan iklim

Pemanfaatan bahan-bahan yang dapat berkontribusi terhadap iklim dalam aktivitas kepariwisataan perlu diatur sedemikian rupa sehingga aktivitas wisata tetap dapat dilaksanakan dalam lingkungan yang sehat dan bersih.

3. Etika dalam kepariwisataan

Apa itu kode etik? Terdapat berbagai macam definisi tentang kode etik, beberapa di antaranya adalah:

  • Pesan yang hendak disampaikan oleh korporasi untuk membentuk perilaku pegawai melalui pernyataan-pernyataan eksplisit dari perilaku yang diinginkan (Stevens, 1994);
  • Seperangkat prinsip etika yang diekspresikan melalui perintah (L’Tang, 1992);
  • Pernyataan dari norma-norma, dan kepercayaan dari sebuah organisasi (McDonald dan Zepp,1989);
  • Sebuah usaha untuk mempengaruhi atau mengendalikan dimensi etika dari perilaku anggota organisasi (Cassell dkk., 1997);
  • Sebuah standar secara sistematis dan prinsipil yang menegaskan perilaku etis yang sesuai dengan sebuah profesi. Standar dan prinsip ditentukan oleh nilai-nilai moral (Ray, 2000);

Dalam kepariwisataan meskipun kode etik tersebut didesain mengubah perilaku dan cara pandang pengunjung (wisatawan) dalam namun ada beberapa hal dirasa kurang mengena dalam konteks kekinian, sehingga penulis mencoba mengusulkan sebuah definisi kode etik kepariwisataan dengan istilah: “seperangkat aturan berdasarkan norma dan nilai yang berlaku di sebuah destinasi yang digunakan dalam mengatur dan menggunakan berbagai sumber daya kepariwisataan secara bertanggung jawab”.

Kenapa definisi tersebut di atas diusulkan karena selama ini masalah serta dilematika etika kepariwistaan muncul dari bagaimana para stakeholder kepariwisataan memanfaatkan sumber daya kepariwisatan secara berlebihan. Hal ini tidak saja berlaku bagi pengusaha, masyarakat lokal tetapi juga oleh wisatawan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Wisatawan seperti contoh yang terjadi di Ngadha Nusa Tenggara Timur. Penggunaan sumber daya yang berlebihan (uang) terhadap komunitas lokal terutama pemberian oleh-oleh menimbulkan konflik di antara masyarakat lokal. Pengunjung yang datang ke Ngadha pada umumnya seringkali memberi oleh-oleh kepada masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan norma adat masyarakat setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini hal tersebut menjadi dapat lebih diterima dan hal ini menimbulkan masalah baru karena menjadi kebiasaan di kalangan anak-anak untuk mengejar “hadiah” karena dianggap sebagai mengemis. Seiring dengan hal-hal tersebut muncul konflik ketika adat tradisional dipertemukan dengan modernitas. Selain itu juga muncul kritik ketika rumah-rumah adat dikomersialisasikan (dijual) kepada pengunjung. Menurut kaum wanita Ngadha, menjual sesuatu kepada orang luar menghilangkan nilai sakral dan status rumah (Cole, 2008). Hal-hal seperti inilah yang perlu diatur dalam sebuah aturan yang lebih mendetail dalam sebuah kode etik kepariwisataan yang berlaku di sebuah destinasi pariwisata jika aktivitas kepariwisataan berpotensi menimbulkan konflik sosial antara masyarakat, serta masyarakat dengan wisatawan.

Tujuan dibuatnya kode etik kepariwisataan dalam bentuk aturan baku setidaknya dapat menjembati kesenjangan budaya mungkin saja terdapat antara wisatawan dan masyarakat yang dikunjungi. Bagi pemerintah dan pengusaha aturan ini berguna dalam memahami norma serta nilai yang berlaku dalam suatu daerah tertentu agar tidak terjadi ekses negatif pembangunan kepariwisataan. Tujuan kode etik ini adalah:

  • Meletakan nilai dasar moralitas yang berlaku dan dipahami bersama oleh para stakeholder kepariwisataan
  • Membentuk perilaku bertanggung jawab terhadap segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan dampak atau akibat baik secara positif maupun negatif.

Bagaimana pelaksanaan kode etik ini diterapkan dalam kepariwisataan, Fennell dan Malloy menyebutkan setidaknya terdapat dua pendekatan yakni pendekatan sukarela (voluntary mechanism) dan pendekatan berdasakan obligasi (non-voluntary mechanism).

1)   Voluntary Mechanism

UNWTO (2002) menyebutkan penerapan kode etik secara sukarela sebagai sebagai sebuah inisiatif yang tidak dilakukan berdasarkan kewajiban hukum, tetapi secara sukarela mengikat diri terhadap sebuah aturan tertentu. Contoh dari mekanisme penerapan aturan tertentu adalah dengan mengikat diri standar tertentu seperti ISO, ecolabel, dan sertifikasi bidang tertentu. Hal ini tidak saja mengikat diri dalam sebuah perilaku yang lebih bertanggung jawab, tetapi juga dapat meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas pihak – pihak yang mengikat diri secara sukarela pada aturan main tertentu, apalagi standar tersebut telah mendapat pengakuan secara global. Di Indonesia salah satunya adalah penerapan ISO dan ecolabel pada hotel – hotel besar.

2)    Non-Voluntary Mechanism

Penarapan berdasarkan obligasi merupakan pendekatan otoritatif dan didesain untuk membatasi dan melarang aktivitas stakeholder [kepariwisataan] dalam berbagai sektor (Parker, 1999). Penerapan aturan ini adalah hal yang sudah sangat umum di berbagai negara dimana terdapat kewajiban yang harus dipenuhi baik dari aspek perizinan dan legalitas dalam menjalankan aktivitas kepariwisataan.

UNWTO menyebutkan pariwisata yang berkelanjutan sebagai “[factor that] meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunity for the future…” (WTO, 1997). Dalam upaya mencapai tujuan kepariwisataan yang berkelanjutan terdapat pendekatan yang dapat dilakukan baik secara sukarela maupun secara obligasi oleh para stakeholder kepariwisataan antara lain:

a.Best practice in tourism:

Merupakan pendekatan yang digunakan dengan menerapkan standar tertinggi dalam menjalankan operasional perusahaan. Salah satu contoh penerapan standar ini adalah pengadopsian ISO atau TedQual dalam operasional bisnis kepariwisataan.

b.Benchmarking:

Honey dan Rome (2001) mendefinisikan praktik benchmarkingsebagai: “the process of comparing performance and processes within an industry to asses relative position against either a set industry standard or against those who are best in the class”. Pengaplikasian pendekatan ini dapat dilihat dengan digunakannya franchise atau hotel chain dalam mejalankan operasional hotel di berbagai negara.

c.Auditing:

Merupakan pendekatan melaluai proses audit berdasarkan sertifikasi atau akreditasi tertentu misalnya ISO, ecolabel atau klasifikasi bintang seperti yang diterapakan di Indonesia.

d.Certification/accreditation and ecolabels:

Saat ini terdapat berbagai lembaga sertifikasi internasional yang digunakan sebagai acuan dalam menjalankan usaha kepariwisataan yang tentunya sesuai dengan bidang usaha dan kebutuhan pengembangan dan pembangunan kepariwisataan di sebuah destinasi.

4. KESIMPULAN

Secara prinsipil tujuan dari penerapan kode etik kepariwisataan adalah demi tercapainya pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan serta dalam membentuk perilaku insan pariwisata ke arah yang lebih bertanggung jawab. Dalam konteks kepariwisataawan, berbagai aktivitas kepariwisataan sangat rentan terhadap isu-isu sosial mengingat kepariwisataan sangat bersentuhan dengan komunitas/masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Shaw dan Williams: “Tourism are deeply entangled with a socially-constructed nature” (Shaw dan Williams, 2004), sehingga perlu diatur dalam sebuah kode etik kepariwisataan tidak saja sebagai good conducts of tourism activities tetapi juga sebagai bentuk dalam upaya membentuk perilaku yang lebih bertanggung jawab. Konflik-konflik sosial yang sering terjadi dalam masyarakat di sebuah destinasi dapat dihindari jika terdapat pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai serta norma yang berlaku di dalam masyarakat dalam sebuah destinasi pariwisata.

Dengan demikian seperti yang telah disebutkan di awal tulisan apabila etika berpariwisata ini diterapkan secara terbuka akan menjadi faktor yang tidak tergantikan dalam mengedukasi diri melalui berbagai aktivitas pariwisata.

REFERENSI:

Cole, Stroma (2008) Tourism, Culture and Development, Channel View Publication, Great Britain

Fennel, David A. dan Malloy David C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practice, Theory, Synthesis, Channel View Publication, Great Britain

Honey, M dan Rome, A. (2001) Certification and Ecolabeling dalamFennel, David A. dan Malloy David C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practice, Theory, Synthesis, Channel View Publication, Great Britain

http://ethics.unwto.org/en/content/background-global-code-ethics-tourism

UNWTO (_______) Responsible Tourist and Traveller, Responsible Tourist Brochure, UNWTO

Parker, S (1999) Ecotourism, Environmental Policy and Development dalam Fennel, David A. dan Malloy David C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practice, Theory, Synthesis, Channel View Publication, Great Britain

Shaw, Gareth dan Williams, Allan M. (2004) Tourism and Tourism Spaces, Sage, Great Britain