Terdapat berbagai definisi dalam mengartikan makna komunitas dalam kepariwisataan. Berbagai pendapat dikemukakan oleh para ahli dalam memaknai komunitas dalam konteks kepariwisataaan. Ashley dalam Community Development through Tourism menyebutkan komunitas dalam kepariwisataan dengan: “Tourism [community] in which local residents (often rural, often poor and marginalized) are active participants as land-managers/users, entrepreneurs, employees, decision-makers and conservators(Ashley n.d.), Sedangkan Murphy menyebutkan komunitas sebagai sumber daya kepariwisataan: “An industry which uses the community as a resource, sells it as a product and, in the process, affects the lives of everyone” (Murphy, 1980).

Namun dalam konteks yang lebih halus komunitas dalam kepariwisataan dimaknai sebagai “tourism that involves and benefits local communities” (Mann, 2000:26). Namun dalam konteks kepariwisataan komunitas mempunyai makna yang sangat luas mengingat komunitas terbentuk berdasarkan beberapa hal. Komunitas dalam kepariwisataan dapat terbentuk karena:

(1)   Lokasi spesifik (a specific topographical location)

Komunitas dapat terbentuk karena kesamaan lokasi tempat tinggal baik secara geografis, maupun karena adanya batas-batas administrasi tertentu.

(2)   Sistem nilai sosial tertentu (a particular local social system)

Dalam suatu wilayah yang luas, masyarakat dikelompokan berdasarkan sistem nilai sosial tertentu atau dalam konteks etnografi masyarakat dikelompokan berdasarkan etnis, budaya, atau suku yang memiliki sistem nilai yang berlaku dalam komunitas tersebut.

(3)   Faktor kebersamaan (a feeling of ‘communitas’ or togetherness)

Faktor kebersamaan dalam hal tertentu seringkali mendorong individu-individu menjadi terikat atas perasaan atau memiliki kepentingan yang sama terhadap hal tertentu.

(4)   Menganut paham atau ideologi tertentu (an ideology)

Hal ini hampir sama dengan paham kebersamaan namun, komunitas terbentuk karena adanya kesamaaan terhadap paham tertentu, misalnya paham eco-tourism dan sejenisnya.

Mengapa pemberdayaan komunitas dalam kepariwisataan menjadi hal yang penting, hal ini disebabakan oleh beberapa makna penting komunitas dalam kepariwisataan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Komunitas dalam kepariwisataan menurut oleh Richard dan Hall (2000) antara lain:

  1. Communities represent both a primary resource upon which tourism depends
  2. Communities are a basic reason for tourists to travel, to experience the way of life and material products of different communities
  3. Communities also shape the ‘natural’ landscapes which many tourists consume
  4. The source of tourists

Pendapat tersebut di atas juga masih menempatkan komunitas sebagai sumber daya tarik wisata bukan sebagai aktor utama dalam pembangunan kepariwisataan tetapi sebagai objek semata. Di sinilah dituntut peran pelaku industri kepariwisataan dalam melakukan pemberdayaan terhadap komunitas lokal agar mereka dapat mengembangkan diri secara ekonomi dan turut mendapatkan manfaat secara signifikan dari sektor kepariwisataan. Di Indonesia komunitas sering menjadi objek daya tarik wisata atau dengan kata lain komunitas dijadikan salah satu sumber daya keuntungan secara ekonomi oleh operator kepariwisataan. Sebut saja beberapa komunitas masyarakat tradisional yang dijadikan sebagai daya tarik wisata dan menimbulkan dampak yang negatif di dalam komunitas tersebut. Selama ini masalah serta dilematika etika kepariwistaan muncul dari bagaimana para stakeholder kepariwisataan memanfaatkan sumber daya kepariwisatan secara berlebihan. Hal ini tidak saja berlaku bagi pengusaha, masyarakat lokal tetapi juga oleh wisatawan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Wisatawan seperti contoh yang terjadi di Ngadha Nusa Tenggara Timur. Penggunaan sumber daya yang berlebihan (uang) terhadap komunitas lokal terutama pemberian oleh-oleh menimbulkan konflik di antara masyarakat lokal. Pengunjung yang datang ke Ngadha pada umumnya seringkali memberi oleh-oleh kepada masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan norma adat masyarakat setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini hal tersebut menjadi dapat lebih diterima dan hal ini menimbulkan masalah baru karena menjadi kebiasaan di kalangan anak-anak untuk mengejar “hadiah” karena dianggap sebagai mengemis. Seiring dengan hal-hal tersebut muncul konflik ketika adat tradisional dipertemukan dengan modernitas. Selain itu juga muncul kritik ketika rumah-rumah adat dikomersialisasikan (dijual) kepada pengunjung. Menurut kaum wanita Ngadha, menjual sesuatu kepada orang luar menghilangkan nilai sakral dan status rumah (Cole, 2008). Untuk menghindari munculnya dampak-dampak negatif peran operator kepariwisataan (industri) dalam memberdayakan masyarakat lokal menjadi isu penting dalam upaya menciptakan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.

Referensi:

Ashley, C. (n.d.). Community tourism in Southern Africa: guidelines for Practitioners dalam Beeton, Sue (2006) Community Development Through Tourism, Landlinks Press, Australia

Buccholz , W.J. (2004) Deciphering Proffesional Codes of Ethics dalam Fennel, D.A. dan Malloy, D.C. (2007) Codes of Ethics in Tourism: Practicem Theory, Synthesis, Cromwell Press, Great Britain, p. 23

Cole, Stroma (2008) Tourism, Culture and Development, Channel View Publication, Great Britain

Hillery, G. (1955) Definitions of Community- Areas of Agreement dalam Richards, Greg dan Hall, Derek (2000), Tourism and Sustainable Community Development, Editors, Routledge, London, p. 2

Murphy, P.E. (1980). Tourism management in host communitiesdalamBeeton, Sue (2006) Community Development Through Tourism, Landlinks Press, Australia

Richards, Greg dan Hall, Derek (2000), Tourism and Sustainable Community Development, Editors, Routledge, London

(Hillery, 1955; John Urry, 1995; Bell dan Newby (1976) dalam Richards, Greg dan Hall, Derek (2000) Tourism and Sustainable Community Development