How to cite this article:

Susilowardhani, Erna Mariana., & Wiastuti, Rachel Dyah. (2015). Membangun Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Studi pada Pemandu Wisata dalam Menghadapi Hambatan Komunikasi Antarbudaya). Prosiding Temu Ilmiah Nasional 2015. Fakultas Psikologi Universitas Pancasila. 21 Agustus 2015. Jakarta Indonesia.

Membangun Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

(Studi pada Pemandu Wisata Dalam Menghadapi Hambatan Komunikasi Antarbudaya)

 

ERNA MARIANA SUSILOWARDHANI

University of Persada Indonesia YAI, Jakarta-Indonesia

e-mail: ernams.erna@gmail.com

 

RACHEL DYAH WIASTUTI

Bina Nusantara University, Jakarta-Indonesia

e-mail: rachel.dyah.w@gmail.com

 

ABSTRACT

Tourism sector becomes the fifth largest contributor to Indonesia revenue. That puts development in this sector as a must, not only limited in tourism infrastructure, but also in tourism human resources such as tour guide. Develop the tour guide competencies are one solution to set for effective outcome. Tour guide involve many relationship between several parties that might came from diverse background. This indicates that tour guide play a special role in intercultural communication, where barrier are slightly to occur. This research focuses on tour guide experience dealing with intercultural communication barrier between tour guide itself and the tourist. This purpose of this paper is to (1) define variation in communication barrier faced by tour guide and (2) investigate strategy to enhance intercultural communication competencies to overcome those barriers. The methodology is qualitative-descriptive. Primary data collections are through in-depth interview and observation. Secondary data collection is through literature study. Informants in this research are tour guides. Authenticity method employed as data validity, meaning by allowing informant to deliver as many as possible information that will be pursue by researchers. The results indicate that due to communication barrier, thus development of intercultural communication competencies is absolutely crucial for tour guide. There are at least several ways to develop this competencies such as enhance self competencies, broaden cultural knowledge, able to communicate in several language, practice and get involve in communication with diverse people with diverse culture background, do willing to discuss and share with other tour guide, on continuing basis participate on training, class, seminar, workshop, either formal and informal.

Keywords: Intercultural communication competencies, tour guide, communication barrier.

 

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kekayaan dan keindahan alam yang potensial untuk dapat dimanfaatkan. Termasuk juga dalam bidang kepariwisataan. Industri pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang memiliki potensi besar dalam memberikan pendapatan negara. Karenanya, perlu ditata kelola dengan baik agar lebih optimal dalam hasil. Pengelolaan tidak hanya terkait dengan infrastruktur yang mendukung industri kepariwisataan itu sendiri, namun juga pengelolaan dalam hal peningkatan sumberdaya manusia. Termasuk juga peningkatan kompetensi yang harus dimiliki oleh orang-orang yang terlibat dalam industri pariwisata, di antaranya adalah pekerjaan sebagai pemandu wisata.

Kompetensi yang peneliti fokuskan dalam kajian ini adalah di bidang komunikasi. Sehingga, dalam studi ini, peneliti melihat dari sudut pandang komunikasi, khususnya komunikas antarbudaya. Pekerjaan sebagai pemandu wisata tidaklah mudah. Apalagi mereka harus berhadapan dengan berbagai karakter manusia dari berbagai daerah dan berbagai bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda. Tentu saja hambatan dalam berkomunikasi tidak dapat dihindari. Namun, hambatan tersebut harus dapat diatasi agar terjalin komunikasi yang efektif. Salah satu caranya adalah membangun dan meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya dari para pemandu wisata.

Penelitian ini memfokuskan pada pengalaman para pemandu wisata dalam mengatasi hambatan komunikasi antarbudaya, di antara pemandu wisata dengan para turisnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hambatan komunikasi apa saja yang ditemui oleh seorang pemandu wisata dan bagaimana meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya mereka dalam upaya mengatasi hambatan komunikasi tersebut.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, desain dapat disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Ketika desain tersebut sudah mulai digunakan, maka desain tersebut dapat dilengkapi dan disempurnakan. Adapun desain dapat senantiasa diubah dan disesuaikan dengan data yang diperoleh di lapangan dan disesuaikan pula dengan pengetahuan baru yang ditemukan (Moleong, 2004:20).

Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan interpretasi mereka dengan situasi dan kondisi di sekitarnya (Soeprapto dan Sumarah, 2007:2.5).

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian berjenis deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang berusaha untuk menjelaskan mengenai gambaran dari sebuah fenomena, tanpa mencoba menghubungkannya dengan fenomena lain (Soeprapto dan Sumarah, 2007:4.7). Sebagaimana yang dijelaskan pula oleh Kriyantono (2012:69), bahwa riset berjenis deskriptif adalah untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel. Dalam hal ini, peneliti memaparkan hasil temuan sehingga mendapatkan gambaran mengenai fenomena yang diteliti, yaitu bagaimana para pemandu wisata menghadapi hambatan komunikasi antarbudaya dalam menjalankan tugas mereka dan bagaimana kompetensi komunikasi yang harus mereka miliki serta bagaimana meningkatkan kompetensi tersebut agar dapat menunjang pekerjaan mereka.

Untuk mendapatkan gambaran dari fenomena yang peneliti angkat, peneliti mencari sejumlah data. Peneliti untuk penelitian kualitatif biasanya mendapatkan data yang berasal dari wawancara, observasi, dan dokumentasi, daripada hanya mengandalkan satu sumber data. Lalu, peneliti me-review semua data tersebut, memahami, dan mengorganisasikan ke dalam kategori-kategori yang relevan dengan sumber data (Creswell, 2009:175).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara sebagai data primer. Peneliti melakukan wawancara ke sejumlah informan yang berprofesi sebagai pemandu wisata (tour guide). Dalam hal ini,wawancara sangat berharga ketika peneliti dapat menangkap ide-ide, pikiran, dan pengalaman dari seorang informan dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri (Dwyer, Gill, and Seetaram, 2012:365). Artinya, diperlukan interpretasi yang baik dari peneliti untuk menangkap fenomena yang dijelaskan oleh para informan tersebut. Sedangkan untuk data sekunder, peneliti menggunakan studi pustaka, yaitu dengan menggunakan literatur yang relevan dengan penelitian ini dan dapat menunjang peneliti dalam melakukan analisis.

Adapun informan yang peneliti tentukan adalah mereka yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Berikut profil singkat para informan dalam penelitian ini:

  1. Nama : Agung Suyono

Usia           : 56 tahun

Lama bekerja sebagai pemandu wisata: 10 tahun

  1. Nama : Ahmad Rizka

Usia           : 35 tahun

Lama bekerja sebagai pemandu wisata: 3 tahun

  1. Nama : Sari Abdinegari

Usia           : 34 th.

Lama bekerja sebagai pemandu wisata: 4 tahun

  1. Nama        : Delita Dwi Nurani

Usia           : 26 tahun

Lama bekerja sebagai pemandu wisata: 2 tahun

Setelah data didapat, peneliti melakukan pengolahan dan analisis data. Menurut Bogdan & Biklen (dalam Irawan, 2007:70), analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan di lapangan, dan bahan-bahan lain yang Anda dapatkan, yang kesemuanya itu Anda kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman Anda (terhadap suatu fenomena) dan membantu Anda untuk mempresentasikan penemuan Anda kepada orang lain.

Untuk mendapatkan kualitas hasil penelitian, peneliti menggunakan metode kesahihan data talam penelitian kualitatif, yaitu dengan menggunakan kompetensi subjek riset dan authenticity. Kompetensi subjek riset artinya subjek riset harus kredibel, caranya dengan menguji jawaban-jawaban pertanyaan berkait dengan pengalaman subjek (Kriyantono, 2012:71). Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa yang peneliti wawancara adalah para pemandu wisata yang telah memiliki pengalaman dalam menjalankan pekerjaannya dan tentunya hal tersebut sesuai dengan kebutuhan informasi dalam penelitian ini. Sementara untuk authenticity, yaitu memperluas konstruksi personal yang dia ungkapkan. Periset memberi kesempatan dan memfasilitasi pengungkapan konstruksi personal yang lebih detil sehingga mempengaruhi mudahnya pemahaman yang lebih mendalam (Kriyantono, 2012:72). Dalam hal ini, peneliti membiarkan para informan untuk menjelaskan seluas-luasnya berdasarkan pengalaman mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai pemandu wisata.

HASIL

Sebagaimana yang telah dipaparkan terkait dengan permasalahan dan tujuan dalam penelitian ini, peneliti berupaya menguraikan gambaran fenomena yang peneliti dapatkan dari para informan yang peneliti tetapkan sebelumnya. Pada bagian ini, peneliti memaparkan hasil penelitian sebagai berikut:

Hambatan Komunikasi Antarbudaya yang Dihadapi Pemandu Wisata Dalam Menjalankan Pekerjaannya

Kita hidup di tengah budaya yang berbeda-beda. Di antara kita juga pasti telah memiliki pengalaman saat berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda budaya. Kita pun seringkali menemui hambatan dalam berkomunikasi. Contoh yang paling sering kita temui, adalah perbedaan bahasa yang digunakan. Misalnya, jika kita bertemu dengan orang asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia, tentu akan menyulitkan kita dalam berkomunikasi dengannya. Terkait dengan hambatan komunikasi antarbudaya, LaRay M. Barna (dalam Jandt, 2007:71) membangun daftar hambatan komunikasi antarbudaya, yaitu: kecemasan, mengasumsikan kesamaan bukan perbedaan, etnosentris, stereotipe dan prasangka, salah penafsiran dalam pesan nonverbal, dan bahasa.Berdasarkan pemaparan tersebut, hambatan komunikasi antarbudaya yang biasa dijumpai oleh para pemandu wisata adalah terutama terkait dengan bahasa. Berikut kutipan hasil wawancara dengan Bapak Agung:

“Hambatan utama yang saya hadapi adalah kesulitan berkomunikasi, terutama dengan non English speaker karena sebagai tour guide saya hanya memahami bahasa Inggris di dalam memandu wisatawan.”

Sementara, pengalaman dari Bapak Ahmad Rizka yang berprofesi sebagai pemandu wisata untuk umroh, beliau memaparkan sebagai berikut:

“Setiap orang punya berbeda persepsi. Agak sulit menyatukannya, apa lagi dalam Islam ada ikhtilaf berbeda pendapat dari para ulama. Hambatan yang lain, ketika berada di daerah yang multikultural dan berbeda bahasa. Seperti di Makkah, banyak yang berbeda bahasa. Contohnya bahasa Urdu, Turki, Cina, dan lain-lain…  Jadi bahasa yang dipakai ya, bahasa dunia isyarat.”

Hal senada juga dirasakan oleh Mbak Delita, yang bekerja sebagai pemandu wisata perjalanan domestik selama dua tahun ini. Beliau menuturkan:

“Hambatan yang dihadapi adalah keterbatasan komunikasi, khususnya jika memasuki daerah atau masyarakat dengan budaya dan bahasa tradisional tertentu, contoh ketika memasuki Desa Segenter, Suku Sasak di Lombok. Tim kami membutuhkan seorang penghubung yang atau semacam translator agar saya dan teman-teman dapat berkomunikasi dengan masyarakat di Desa Segenter.”

Dari pemaparan di atas, dapat diidentifikasikan bahwa hambatan yang ditemui yang paling utama adalah hambatan bahasa. Apalagi jika berhadapan dengan wisatawan yang bukan orang Indonesia. Tentunya diperlukan kemampuan bahasa asing yang lebih, terutama bahasa Inggris. Namun, tak jarang mereka menemui wisatawan yang merupakan non English speaker. Tentu dapat dibayangkan betapa sulitnya melakukan aktivitas komunikasi. Menurut penjelasan Bapak Ahmad Rizka, jika beliau bertemu dengan orang-orang yang merupakan non English speaker, beliau menggunakan bahasa isyarat atau nonverbal. Sementara Mbak Delita, memiliki pengalaman dalam keterbatasan komunikasi saat memasuki daerah yang berbeda budaya dengannya. Apalagi ke daerah suku pedalaman. Bahasa yang tidak sama menjadikan salah satu sumber hambatan dalam komunikasi antarbudaya.

Selain hambatan yang terkait dengan bahasa yang digunakan, Bapak Ahmad Rizka menuturkan pula bahwa hambatan yang sering dijumpai adalah perbedaan dalam persepsi. Bapak Ahmad Rizka menyadari bahwa sangatlah wajar terdapat perbedaan, apalagi dengan latar belakang budaya yang berbeda. Menyadari bahwa manusia itu berbeda-beda membuat kita akan lebih sadar pula akan perbedaan tersebut. Meskipun justru dalam hambatan komunikasi antarbudaya, seringkali kita menempatkan diri kita sama dengan orang-orang yang beda budaya. Sehingga kita memberikan acuan standar menurut budaya kita yang belum tentu sama berlaku di budaya yang lain. Hal inilah yang menjadi sebuah hambatan, yaitu tidak menyadari akan adanya perbedaan. Meskipun dalam hal ini, ketidaksadaran akan perbedaan bukan dari sudut pandang pemandu wisatanya, tetapi justru dari peserta wisata yang memang asalnya sangat beragam.

Pengalaman ini juga dialami oleh Mbak Sari, yang telah menjadi pemandu wisata selama 4 tahun ini. Beliau menjelaskan terkait dengan hambatan komunikasi sebagai berikut:

“Bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter yang terkadang menimbulkan perbedaan pendapat dan keinginan. Terutama dengan orang-orang dari kalangan “atas” seperti para bos atau orang yang lebih tua. Agak susah mengatur orang-orang macam ini, jika diarahkan terkadang mereka “ngeyel” sehingga terkadang agak mengganggu peserta tour yang lain.”

Pengalaman yang dialami Mbak Sari dan Bapak Ahmad Rizka menurut peneliti dapat dikategorikan sebagai etnosentris, di mana ada pihak yang merasa “lebih” dari pihak lain sehingga keinginannya selalu ingin diwujudkan.

Dari hambatan komunikasi antarbudaya yang biasa ditemui oleh para pemandu wisata, tentu akan mendorong kita untuk mengatasi setiap hambatan tersebut, yaitu dengan meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Membangun Kompetensi Komunikasi Antarbudaya bagi Pemandu Wisata

Berbagai hambatan komunikasi antarbudaya yang telah dipaparkan sebelumnya menuntut kita untuk dapat mengatasinya, yaitu dengan meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya itu sendiri.

Menurut Samovar, Porter, dan Mc.Daniel (2010:461), kompetensi komunikasi antarbudaya meliputi: (1) motivasi untuk berkomunikasi; (2) pengetahuan yang cukup mengenai budaya; (3) kemampuan komunikasi yang sesuai; (4) sensitivitas, dan (5) karakter.

  1. Motivasi untuk berkomunikasi

Motivasi dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa Anda memiliki keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi Anda (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:461).

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Agung terkait dengan motivasi, beliau beliau meningkatkan kompetensi ini dengan cara berupaya untuk menambah pengetahuan dan informasi dengan membaca. Sebagaimana dipaparkan Bapak Agung sebagai berikut: “meningkatkan kompetensi dalam berkomunikasi antar budaya dan bangsa dengan cara membaca buku dan informasi dari berbagai sumber baik printed maupun online.”

Sementara Bapak Ahmad Rizka, menuturkan sebagai berikut:

“Hambatan komunikasi di jalan, menjadi pacuan untuk saya agar bisa memahami berbagai bahasa untuk tercapainya kemudahan-kemudahan dan kelancaran dalam membawa jamaah. Ditambah lagi motivasi pahala yang berlipat dalam melaksanakan tugas membantu tamu-tamu Allah.”

Sebagai pemandu wisata untuk umroh, motivasi dalam diri untuk mendapatkan pahala merupakan hal yang menjadi acuan untuknya dalam melaksanakan tugas sebagai pemandu wisata. Selain itu, motivasi ditingkatkannya dengan berupaya memahami berbagai bahasa agar mudah memahami jika berkomunikasi dengan orang lain.

Terkait dengan motivasi untuk berkomunikasi, Mbak Delita memilih untuk aktif berkomunikasi. Berikut penuturannya:

“Meningkatakan motivasi komunikasi saya salah satunya dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat di daerah tertentu yang saya kunjungi. Misalnya dengan mengunjungi rumah dan mengobrol langsung dengan salah satu warga dari Suku Baduy Luar, walaupun ada keterbatasan bahasa, namun dengan berinteraksi langsung dengan mereka, pengetahuan saya akan cara berkomunikasi mereka bertambah dan menumbuhkan keakraban yang memudahkan saya untuk masuk jadi bagian dari mereka.”

Mencoba untuk terus berinteraksi dan sekaligus mempelajari bahasa mereka justru akan meningkatkan kemampuan bahasa kita. Lebih lanjut, dengan mempelajari budaya dan bahasa mereka, Mbak Delita merasa akan lebih mudah masuk dan menjadi bagian dari mereka. Apalagi yang dikunjunginya adalah daerah-daerah pedalaman dan tentu saja tidak hanya sekali berkunjung.

  1. Pengetahuan yang cukup mengenai budaya

Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa Anda menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan dengan Anda (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:461).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agung, beliau menekankan untuk menambah pengetahuan melalui buku dan informasi secara online. Hal ini dilakukan agar pengetahuan tentang berbagai budaya menjadi bertambah luas dan tentunya akan meningkatkan kompetensinya. Berikut jawaban dari Bapak Agung: “Meningkatkan pengetahuan tentang berbagai budaya dan bangsa di dunia dengan cara membaca buku dan mencari informasi secara online.”

Bapak Agung menjadikan media online sebagai sumber informasinya selain dari buku-buku. Pemanfaatan Internet sebagai sumber informasi menjadikan sisi positif keberadaan Internet di tengah masyarakat, jika kita dapat menggunakannya dengan baik.

Senada dengan Bapak Agung, Bapak Ahmad Rizka menjelaskan bahwa penambahan pengalaman dan pengetahuan pun dilakukannya untuk meningkatkan kompetensi pengetahuannya. Sebagaimana dituturkannya sebagai berikut:

“Demi kelancaran perjalanan, saya berusaha mencari tahu dan menambah pengalaman dan juga belajar sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat ataupun daerah yang akan saya kunjungi agar saya tahu menempatkan diri saya sebagai seorang tour leader.”

Dari penjelasan Bapak Ahmad Rizka, bahwa menambah pengetahuan dan pengalaman, terutama terkait dengan sejarah dan kebudayaan masyarakat yang akan menjadi tempat kunjungan merupakan hal yang penting. Selain itu, dengan memahami budaya lain, akan memudahkan kita untuk menempatkan diri atau menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Hal ini pun juga dilakukan Mbak Sari. Beliau menjelaskan:

“Dengan banyak membaca dan menggali informasi sebanyak-banyaknya, bisa melalui media online atau media sosial atau bertanya-tanya langsung dengan orang yang lebih tahu.”

Begitu juga halnya dengan Mbak Delita, yang memaparkan secara detil bagaimana beliau meningkatkan pengetahuan mengenai suatu budaya. Berikut pemaparannya:

“Cara meningkatkan pengetahuan saya sebagai tour guide yang pertama adalah dengan membaca dari berbagai sumber, baik buku atau internet mengenai kebiasaan atau budaya di setiap tempat yang akan saya kunjungi. Kedua adalah dengan mewawancarai secara tidak langsung dengan cara mengobrol dengan ketua adat di daerah tersebut. Ketiga adalah dengan terjun langsung dan melihat keseharian mereka, membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran saya sehingga akan banyak informasi yang kami dapat dengan sendirinya. Contoh adalah ketika saya, kawan-kawan dari tempat saya bekerja, dan peserta tour yang merupakan anak Sekolah Menengah Atas, diberi kesempatan oleh masyarakat Dieng untuk dapat mengikuti ritual anak gimbal. Dari ritual tersebut dengan sendirinya kami menjadi tahu bahwa ada istilah anak gimbal di Dieng. Di mana setiap anak yang terlahir dengan rambut gimbal harus mengikuti ritual atau perayaan, di mana orangtua mereka harus memberikan apa yang diminta oleh si anak gimbal, jika tidak dituruti maka si anak bisa sakit. Permintaan mereka pun cukup unik, ada yang meminta kambing, ada yang meminta buah strawberry, dan meminta makanan manis yang banyak.”

Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan pengetahuan kita. Tidak hanya dari buku, tetapi juga dari sumber lainnya, seperti Internet, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini. Akses Internet yang semakin mudah dan terjangkau memungkinkan kita untuk mencari informasi melalui Internet. Selain itu, dengan banyak bertanya kepada orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih mengenai suatu budaya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Mbak Sari dan juga Mbak Delita. Bahkan, untuk mendapatkan pengetahuan lainnya, Mbak Delita juga melakukan observasi berkaitan dengan tindakan budaya dari orang-orang yang ada di dalam budaya tersebut. Seperti misalnya dalam melaksanakan suatu ritual ataupun perayaan dari suatu daerah tertentu.

  1. Kemampuan komunikasi yang sesuai

Sebagai komunikator antarbudaya yang kompeten, Anda harus dapat mendengar, mengamati, menganalisis, dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan Anda untuk mencapai tujuan Anda (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:462). Anda harus menyadari, bagaimana pun, bahwa kemampuan komunikasi yang sukses dengan suatu kelompok mungkin tidak pantas bagi budaya yang lain (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:462).

Dari konsep yang dipaparkan di atas, ternyata juga disadari oleh Bapak Ahmad Rizka, bahwa di antara manusia dengan manusia lain ataupun di antara kelompok satu dengan kelompok lain sangat mungkin terdapat perbedaan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya masing-masing. Karena itu, untuk meningkatkan kompetensi dalam hal kemampuan komunikasi yang sesuai dengan konteks budaya yang berlainan tersebut, yaitu dengan terus berbaur dan bersosialisasi dengan masyarakat ataupun orang-orang yang berbeda-beda. Semakin sering berbaur dan bersosialisasi, tentu akan semakin meningkatkan kepekaan kita terhadap perbedaan yang memang ada di antara orang-orang yang berinteraksi. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Mbak Sari. Beliau juga berpendapat bahwa beliau memperbanyak bergaul dan berinteraksi dengan berbagai latar belakang orang.

Mbak Delita memaparkan cukup panjang terkait dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi ini. Berikut penuturannya:

“Kebetulan saya adalah tour guide perjalanan tour domestik, jadi cara meningkatkan kemampuan komunikasi saya dengan berlatih bersama teman sesama tour guide. Kebetulan rekan-rekan tour guide saya ada yang berasal dari Jogja, Padang, Betawi, Batak, dan Manado. Jadi kami saling belajar bahasa daerah masing-masing, jadi secara umum kami memiliki modal apabila ditugaskan ke daerah-daerah tersebut. Setiap dua minggu sekali diadakan semacam diskusi bersama. Setiap orang mendapat kesempatan untuk mempresentasikan mengenai sebuah daerah. Misalkan saya mendapat giliran mempresentasikan daerah Jogjakarta, jadi saya harus mengetahui mengenai rute perjalanan dari Jakarta-Jogja dan sebaliknya, rumah makan yang dapat dikunjungi di sepanjang perjalanan menuju Jogja, waktu tempuhnya, tempat wisatanya, bahasanya, makanan khasnya, tempat oleh-oleh, serta karakter masyarakatnya. Saya harus mempresentasikan itu, dan nanti teman-teman saya akan bertanya atau menambahkan. Diskusi ini memang ditujukan untuk menambah pengetahuan akan daerah tertentu, menumbuhkan rasa percaya diri berhadapan dengan orang lain, membiasakan berkomunikasi dengan bahasa yang baik di hadapan banyak orang.”

Dengan bergaul dan bersosialisasi, kita dapat mempelajari hal-hal yang berbeda dari budaya asal kita. Apalagi jika bergaul dengan orang-orang yang berbeda budaya dengan kita. Selain itu, cara kita berkomunikasi pun pada akhirnya akan terasah juga jika sering berinteraksi dengan berbagai karakter orang dari berbagai tempat.

  1. Sensitivitas

Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang sensitif satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu interaksi (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:461). Sensitivitas menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Motoya (dalam Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:462), meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya yang lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain.

Untuk meningkatkan kompetensi dalam hal sensitivitas, Bapak Agung melakukannya dengan cara meningkatkan intensitas dan frekuensi komunikasi sebagaimana yang dijelaskan oleh beliau: “Rasa sensitivitas dapat ditingkatkan jika intensitas dan frekuensi komunikasi dengan orang yang berbeda budaya dan bangsa ditingkatkan.”

Sementara untuk Bapak Ahmad Rizka, sabar dan empati merupakan hal-hal yang terus-menerus dilakukan sebagai seorang pemandu wisata. Sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut:

“Dengan berusaha sabar dan mempelajari karakter tiap-tiap orang. Berusaha menempatkan diri sesuai dengan usia kita, berusaha terus mempelajari empati, mengendalikan kesabaran dan berusaha tetap tenang dalam segala tekanan, berusaha menguasai segala keadaan, kondisi fisik sangat mempengaruhi emosi dari jamaah sendiri dan juga pribadi kita. Berusaha menyesuaikan program dengan kondisi fisik jamaah.”

Dari penjelaskan Bapak Rizka dapat dipahami bahwa berusaha untuk bersabar dan berempati adalah hal yang baik untuk ditingkatkan sebagai seorang pemandu wisata. Juga tetap tenang dalam kondisi apapun. Apalagi untuk seorang pemandu wisata umroh. Niat utama perjalanan umroh adalah untuk ibadah. Pesertanya pun dari berbagai kalangan, berbagai suku, dan berbagai usia. Beragamnya perbedaan karakteristik dari setiap jamaah, mengharuskan sang pemandu wisata harus lebih sabar dan berempati. Dengan perjalanan yang sangat jauh, tentu saja akan mempengaruhi fisik masing-masing jamaah. Rasa lelah dapat saja mempengaruhi emosi mereka. Hal inilah yang harus dihadapi Bapak Ahmad Rizka sehingga beliau merasa memerlukan kesabaran dan empati yang tinggi untuk menghadapi jamaahnya selama perjalanan ibadah umroh.

Mbak Sari menuturkan pendapatnya terkait dengan sensitivitas sebagai berikut:

“Dengan mengamati kebiasaan/tingkah laku mereka, apa yang mereka suka/tidak. Dengan mengetahui hal itu, kita jadi bisa memperkirakan tindakan apa yang sebaiknya kita ambil. Jadi, kita bisa lebih berhati-hati dalam bertindak.”

Seperti halnya Bapak Ahmad Rizka, Mbak Sari pun melakukan hal yang sama, yaitu mencoba mengamati dan mempelajari perilaku orang. Hal ini menjadikan kita lebih paham dan dapat bersikap empati sehingga kita dapat lebih berhati-hati dalam bertindak.

  1. Karakter

Menurut P.B. Fitzwater (dalam Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:463), bahwa karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya, adalah bagaimana Anda melaksanakan pilihan tersebut ketika Anda berinteraksi dengan orang yang berbeda budayanya. Sifat yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau tidak (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:463). Sifat kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah kejujuran, penghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk mekakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain), ketulusan, dan niat baik (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:463).

Dari penjelasan di atas, tentu kita dapat memahami karakter yang bagaimana yang diperlukan oleh seorang pemandu wisata. Karakter yang baik tentu saja perlu terus-menerus digali dan dipahami serta diterapkan dalam kehidupan kita dengan berbagai cara. Seperti halnya yang dilakukan Bapak Agung, beliau memberikan pernyataan sebagai berikut: “Karakter yang baik akan terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang baik dan kebiasaan-kebiasaan yang baik akan kita lakukan dengan keinginan-keinginan yang baik.”

Sementara Mbak Sari menjelaskan bagaimana beliau meningkatkan karakter yang baik sebagai berikut:

“Bergaul dengan banyak orang dengan beragam karakter, secara otomatis akan meningkatkan/menimbulkan karakter baik pada diri kita karena kita akan semakin “aware” dan “sensitif” dengan lingkungan sekitar dan tentu saja dengan orang-orang di sekitar kita juga.”

Senada dengan Mbak Sari, Mbak Delita pun menyampaikan hal berikut ini:

“Karakter yang baik bisa dilatih dengan belajar, berlatih, dan jam terbang. Karakter yang baik sebagai seorang tour guide yang utama adalah berani berkomunikasi dengan orang lain, memiliki bahasa komunikasi yang baik, sopan, percaya diri, mudah beradaptasi, ramah, selalu ingin belajar, dan memiliki sensitivitas terhadap masyarakat di daerah yang dikunjungi.”

Dari pendapat Mbak Sari dan Mbak Delita, dapat disimpulkan bahwa karakter yang baik dapat terus tumbuh seiring dengan semakin seringnya kita berinteraksi dan bergaul dengan berbagai karakter manusia. Terlebih jika kita bergaul dengan orang-orang yang berkarakter baik pula. Karakter tersebut akan dapat kita pelajari dan terbawa kepada kita juga.

Sementara bagi Bapak Ahmad Rizka, untuk meningkatkan kompetensi karakter yang baik adalah dengan mencontohkan atau meneladani akhlak dan karakter Nabi Muhammad saw. Berikut penjelasannya:

“Salah satu cara yang paling ampuh adalah mempelajari cara hidup dan akhlakul karimah Nabi kita karena dalam diri Nabi terdapat contoh yang paling baik akhlak dan karakter seorang manusia. Jadi, dengan mempelajari dan mengamalkan karakter nabi atau segala sesuatu yang beliau contohkan (sunnah Nabi) adalah cara yang paling paling tepat untuk memperbaiki karakter kita.”

Karakter yang baik memang sangat diperlukan oleh seorang pemandu wisata. Sebagaimana pemaparan-pemaparan sebelumnya, bahwa seorang pemandu wisata akan selalu berhadapan dengan berbagai macam karakter dan kepribadian orang yang berbeda-beda. Jika karakter yang dimiliki seorang pemandu wisata sangat baik, tentu akan berimbas pula pada perlakuan orang-orang yang dipandunya terhadap dirinya. Apalagi jika dikaitkan dengan kepuasan pelayanan selama memandu para wisatawan. Jika kesan baik tertanam dalam diri para wisatawan, akan berakibat baik pula dampak yang akan timbul dan dirasakan baik oleh para pemandu wisata maupun para wisatawan itu sendiri.

Upaya yang Dilakukan Pemandu Wisata Dalam Meningkatkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

            Dalam meningkatkan kompetensi, setiap orang memiliki caranya masing-masing. Sebagaimana dipaparkan oleh para informan, mereka pun memiliki cara yang berbeda. Seperti halnya yang diutarakan oleh Bapak Agung, bahwa untuk meningkatkan kompetensi, beliau banyak mengikuti program pelatihan, terutama yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata. Berikut penjelasan beliau:

“Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata di seuruh daerah mempunyai program pelatihan tour guide mulai dari tingkat pemula, tingkat madya hingga tingkat lanjut (advance). saya mengikuti pelatihan tersebut atas dasar kemauan sendiri dan tanpa paksaan.”

            Pelatihan yang diikutinya tentu saja akan menambah lagi pemahaman dan pengetahuan dalam meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang pemandu wisata sehingga hambatan-hambatan komunikasi yang seringkali dijumpai, dapat sedikit demi sedikit diatasi dengan semakin meningkatnya kompetensi yang dimilikinya.

            Hal serupa juga diutarakan Mbak Delita sebagai berikut: “Cara meningkatkan kompetensi sebagai tour guide salah satunya dengan mengikuti seminar tour leader. Lalu, diskusi rutin yang dilakukan dikantor tempat saya bekerja.”

            Selain mengikuti seminar, untuk meningkatkan kompetensi komunikasi adalah dengan melakukan diskusi terutama dengan teman seprofesi. Sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Mbak Sari, yaitu dengan memperbanyak pergaulan dan melakukan diskusi. Berikut penjelasannya: “Dengan banyak bergaul, berusaha akrab dengan peserta tour, dan juga sharing dengan sesama tour guide, bagaimana cara menghadapi orang-orang yang “aneh”, sulit diatur dan sebagainya.”

            Sementara untuk Bapak Ahmad Rizka, peningkatan kompetensi komunikasi yang beliau soroti adalah dengan melatih kemampuan dan penguasaan berbagai bahasa, sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut: “Upaya saya berikutnya berusaha mempelajari dan menguasai berbagai bahasa yang saya perlukan untuk pengurusan jamaah.”

            Hal ini tentu saja juga dapat mengatasi salah satu hambatan komunikasi antarbudaya yang terkait dengan bahasa. Seorang pemandu wisata perlu memiliki wawasan yang luas dan juga penguasaan berbagai bahasa.

 

DISKUSI

Dari pemaparan hasil penelitian di atas, dapat dipahami bahwa profesi sebagai pemandu wisata adalah profesi yang selalu berhubungan atau berinteraksi dengan orang-orang dengan latar belakang yang beragam, baik dari usia, jenis kelamin, latar belakang status sosial ekonomi, latar belakang budaya, perbedaan bahasa, perbedaan negara, dan sebagainya. Dapat dibayangkan bagaimana harus berkomunikasi dengan mereka yang berlainan latar belakang tersebut, tetapi harus dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi pelayanan yang berkualitas dan mencapai kepuasan pelayanan. Namun, hal yang harus dipahami adalah bahwa komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk memahami satu sama lain (West dan Turner, 2008:3).

Berbagai hambatan yang sering ditemui, di antaranya adalah hambatan dalam kaitannya dengan menyamakan hal-hal yang berbeda atau tidak menyadari adanya perbedaan. Selain itu, hambatan komunikasi antarbudaya yang dirasakan oleh para pemandu wisata adalah hambatan bahasa. Tak jarang mereka bertemu atau berinteraksi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh pemandu wisata. Tentu saja ini akan menghambat proses komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hal ini tentu saja bertentangan dengan definisi komunikasi itu sendiri. Seperti diungkapkan Raymond S. Ross (dalam Wiryanto, 2006:6) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.

Jika respons yang ditangkap oleh pendengar atau penerima pesan tidak sesuai dengan yang dimaksud komunikator, berarti proses komunikasi tidak berjalan dengan baik dan tidak efektif. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Tubbs dan Moss (dalam Rakhmat, 2005:13), bahwa salah satu tanda komunikasi yang efektif adalah menimbulkan adanya pengertian. Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Ketidakefektifan komunikasi dapat ditemui saat kita berbicara dengan orang yang tidak memahami bahasa yang kita gunakan. Kita dapat membayangkan bagaimana proses komunikasi itu akan terjadi dan ini termasuk dalam hambatan komunikasi.

Dari hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang diuraikan tersebut, tentu langkah selanjutnya adalah mengatasi hambatan tersebut, yaitu membangun kompetensi komunikasi antarbudaya bagi seorang pemandu wisata.

Kompetensi komunikasi antarbudaya di antaranya adalah motivasi untuk berkomunikasi. Dalam hal ini adalah melakukan komunikasi dan belajar berkomunikasi dengan berbagai bahasa dan berbagai orang yang berbeda bahasa dan juga budaya. Hal ini didapat dengan terus berlatih dan berinteraksi, serta  menambah pengetahuan melalui sumber-sumber informasi, seperti buku dan Internet.

Pengetahuan yang cukup mengenai budaya juga merupakan kompetensi yang dimiliki oleh seorang pemandu wisata. Hal ini dapat diperoleh melalui sumber-sumber informasi, misalnya dari buku dan juga Internet. Selain itu, dengan banyak bertanya atauun berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang suatu budaya. Juga kita dapat melakukannya dengan mengamati orang-orang yang ada dalam suatu budaya. Pengetahuan ini tentu saja dapat menambah pemahaman kita dan dapat menempatkan diri sesuai tempat yang kita kunjungi.

Kemampuan komunikasi yang sesuai juga merupakan kompetensi komunikasi antarbudaya yang harus ditingkatkan. Jika pemahaman dan pengetahuan kita mengenai suatu budaya sangat baik, tentu kita akan mudah untuk menempatkan diri sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki. Kita perlu menerapkannya dalam berkomunikasi dan sesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh budaya tersebut. Artinya, penyesuaian diri dalam cara kita berkomunikasi menjadi satu hal yang penting, terlebih untuk seorang pemandu wisata.

Sensitivitas perlu dimiliki oleh seorang pemandu wisata. Dengan berbagai karakter dan latar belakang orang-orang yang akan dijumpainya, agar dapat melayani dengan baik, tentu kita harus lebih sensitif dan peka terhadap orang lain. Di antaranya adalah sifat sabar dan berempati dengan orang lain. Sensitivitas juga dapat ditingkatkan dengan memperbanyak berinteraksi dan bersosialisasi dengan berbagai karakter orang dari berbagai budaya.

Karakter yang baik perlu dibangun sebagai bagian dari kompetensi komunikasi antarbudaya. Karakter yang baik dapat ditingkatkan seiring dengan pemahaman diri dan niat yang baik dalam diri. Selain itu, dapat juga kita pelajari melalui interaksi kita dengan orang-orang yang beragam serta mencontoh pribadi-pribadi yang memiliki akhlak yang baik.

Upaya yang dapat kita lakukan dalam meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya adalah dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan seminar yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai pemandu wisata, berupaya terus belajar dan memahami budaya-budaya yang ada di dunia dan juga mempelajari berbagai bahasa.

Dari berbagai kompetensi komunikasi antarbudaya yang harus dibangun oleh seorang pemandu wisata, tentu dapat memberikan pemahaman bagi kita semua, terutama bagi para pemandu wisata untuk memperhatikan kompetensi-kompetensi tersebut dan bagaimana cara membangun kompetensi tersebut.

 

SIMPULAN

            Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya yang ditemui oleh para pemandu wisata adalah pemahaman yang minim mengenai perbedaan di antara para peserta tour sehingga terjadi perbedaan pendapat dan keinginan dari mereka; etnosentris karena para peserta tour berlatar belakang berbeda-beda, baik usia, status sosial, dan juga budaya sehingga mereka terkadang ingin lebih diprioritaskan; hambatan bahasa, yaitu terbatasnya penguasaan bahasa dari para pemandu wisata sehingga kadang menghambat proses komunikasi di antara peserta tour ataupun dengan orang-orang yang berada dalam tujuan wisata mereka.

            Dari hambatan yang ditemui tersebut, dapat diatasi dengan membangun kompetensi komunikasi antarbudaya dari para pemandu wisata tersebut. Yaitu dengan terus menumbuhkan keinginan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan beragam orang sehingga kemampuan berkomunikasi dan kemampuan bahasa dapat terus meningkat; senantiasa menambah pengetahuan mengenai berbagai budaya dari berbagai sumber informasi, seperti buku dan dari Internet, sering bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang suatu budaya yang akan dikunjungi, dan juga mengamati perilaku dan kebiasaan dari orang-orang yang berasal dari budaya yang sedang kita kunjungi; dengan mempelajari budaya dan kebiasaan orang-orang, akan menambah pengetahuan kita dalam bertindak komunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dengan kita agar kita dapat diterima oleh mereka; sensitivitas dapat terus ditumbuhkan dan ditingkatkan seiring dengan interaksi yang terus-menerus kita lakukan dengan banyak orang; karakter yang baik dapat kita tingkatkan dengan mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang dan juga berupaya mempelajari dan mencontoh karakter dari orang-orang yang dapat menjadi teladan; serta terus-menerus belajar, misalnya melalui pelatihan dan seminar terkait dengan pekerjaan sebagai pemandu wisata.

 

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. Third Edition. California: Sage Publications, Inc.

Dwyer, Larry, Alison Gill, and Neelu Seetaram. (2012). Handbook of Research Methods in Tourism: Quantitative and Qualitative Approaches. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited.

Irawan, Prasetya. (2007). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia.

Jandt, Fred E. (2007). An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community. Fifth Edition. California: Sage Publications, Inc.

Kriyantono, Rachmat. (2012). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-18. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soeprapto dan Sri Rahayu Sumarah. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

Samovar, Larry A., Richard E. Porter, and Edwin R. Mc.Daniel. (2010). Komunikasi Lintas Budaya. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

West, Richard dan Lynn H. Turner. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Wiryanto. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.